March 16, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Pentingnya Pangkalan Militer Bagi Negara-negara Kolonial di Negeri-negeri Islam

“Laki-laki, bukan batu yang menyusun tembok kota.” Ini adalah ungkapan seorang filsuf Yunani, Plato, yang berbicara tentang perlindungan peradaban tidak terjadi hanya dengan membangun tembok di sekelilingnya. Tetapi, dengan perginya prajurit-prajurit yang melintasi perbatasan negara mereka ke tempat-tempat musuh, atau lokasi yang dekat dengan musuh mereka, atau tanah sekutu tempat mereka berlindung. Mereka mencegah lawan dari sekadar berpikir untuk menyerang tanah mereka.

Besar kemungkinan bahwa inilah ide yang mendasari para ahli strategi dan militer menggagas pangkalan militer. Ini bukan gagasan yang baru, karena pernah digunakan oleh Kekaisaran Romawi. Sejarawan Inggris Arnold Toynbee menegaskan bahwa pendirian pangkalan militer menciptakan sebuah metodologi dasar yang memungkinkan Roma untuk memaksakan pengaruh politiknya pada dunia. Membuat Roma mengusulkan kepada sekutunya untuk berkontribusi dalam menyediakan perlindungan bagi mereka, dengan imbalan menyerahkan wilayah berbenteng dari tanah mereka untuk membangun pangkalan militer.

Di era modern, terutama di masa Perang Dingin, pangkalan militer telah menyebar dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya, guna mencapai tujuan militer dan strategi. Peneliti Morgan Olaya mengatakan bahwa kekuatan besar bergantung pada pangkalan militer untuk mencapai tujuan-tujuan utama, di antaranya:

1. Intervensi wilayah yang dikuasai untuk mempertahankan kepentingannya.

2. Memastikan keamanan sekutunya.

3. Mengontrol tanah lawan.

4. Menyebarkan ide, metode, dan apa yang dijanjikannya, seperti kebebasan, demokrasi, dan lain-lain.

Serta dapat berjalan melalui (pangkalan militer) sebuah kekuatan besar untuk mencapai kepentingan komersial mereka dan untuk menguasai wilayah strategis dan tujuan-tujuan lainnya.

Dalam tiga dekade terakhir, gagasan pangkalan militer menyebar secara intensif. Pada tahun 1990 M, Dick Cheney, yang merupakan Menteri Pertahanan pada masa pemerintahan George H.W Bush (ayahnya Bush Jr.) mengembangkan sebuah doktrin baru yang menyerukan untuk mengamankan hegemoni Amerika Serikat atas dunia selama abad kedua puluh satu. Strategi ini telah berkembang dan dikenal sebagai Proyek Abad Baru Amerika, yaitu pendirian pangkalan militer di Asia Tengah dan Timur Tengah, yang saat ini kita saksikan di lapangan.

Adapun Rusia, setelah Putin naik ke tampuk kekuasaan, ia menetapkan tujuan strategis, yaitu mengembalikan kejayaan Uni Soviet yang lama. Ia mulai membangun pangkalan militer di daerah strategis di sekitar Eurasia dan Laut Hitam, dan memperkuat kehadirannya di Eropa timur, serta kehadirannya di Mediterania Timur di Suriah melalui pangkalannya di Tartus dan Hmeimim. Saat ini, ia juga memiliki (pangkalan militer) di Libya di pangkalan Sirte dan sedang berusaha untuk membangun pangkalannya di sana. Baru-baru ini menandatangani perjanjian dengan pemerintah Sudan untuk membangun pangkalan untuknya di Laut Merah.

Pada Kamis, 23 November 2018, muncul berita bahwa Presiden Al-Bashir selama pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Hotel Sochi telah menawarkan untuk mendirikan pangkalan Rusia di Laut Merah. Setelah penggulingan al-Bashir, otoritas baru Sudan mengonfirmasi kepatuhan Khartoum pada perjanjian politik, ekonomi dan militer dengan Rusia.

Pada Mei 2019, persetujuan masuknya kapal-kapal perang ke pelabuhan-pelabuhan kedua negara tersebut telah diaktifkan.

Pada Oktober 2019, Putin mengumumkan, dalam pertemuannya dengan ketua dewan kedaulatan, Abdul Fatah Al-Burhan, di sela-sela KTT Rusia-Afrika di Sochi, dukungan Sudan untuk normalisasi situasi politik internal.

Begitupun dengan pertemuan yang terjadi antara perdana menteri Sudan, Abdullah Hamdok, dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, di sela-sela sidang ke-74. Sidang umum perserikatan bangsa-bangsa di New York, menekankan hal yang sama.

Baru-baru ini pemerintahan Rusia mengungkapkan, bahwa ia telah mencapai kesepakatan awal dengan Sudan untuk membangun pangkalan armada Angkatan Laut Rusia di kota Port Sudan. Perdana Menteri Rusia, Mikhail Mishustin, mengumumkan bahwa pemerintah sudah menyetujui kesepakatan tersebut pada tanggal 6 November. Oleh karena itu Rusia dapat menemukan pijakan untuknya, setelah berusaha sejak satu abad yang lalu untuk menempatkan orangnya di tanah Afrika. Pada tahun 1960-an, Presiden Pikita gagal dalam mendapatkan tanah Mesir untuk membangun pangkalan militer, meskipun ia memiliki hubungan dengan Presiden Gamal Abdul Nasser –sebagaimana kegagalan Rusia dalam seluruh usahanya untuk mendapatkan tanah di Afrika. Dikatakan bahwa berbagai republik (Angola, Demokratik Kongo, dan Algeria) menolak untuk membangun pangkalan Rusia di atas tanah mereka. Selain itu, sempat ada usaha Rusia di Libya selama pemerintahan Al-Khadafi, akan tetapi dia juga menolak permintaan tersebut.

Sekarang, pemerintahan transisi Sudan telah menyelesaikan usaha presiden sebelumnya, Umar Al-Bashir, dan memberikan pijakan kepada Rusia, di kota yang paling penting di Sudan, di pelabuhan Port Sudan. Pensiunan Admiral Rusia, Victor Kravchenko memujinya dalam sebuah komentar kepada perwakilan Interfax. Ia mengatakan, “Keberadaan Rusia di Afrika akan bertambah kuat dengan didirikannya pangkalan angkatan laut di Sudan, dan akan memperluas kemampuan operasional armadanya,” ia menambahkan, “pada faktanya, Rusia akan memiliki pangkalan di laut merah. Ini adalah wilayah yang tegang [sering terjadi konflik], kehadiran Angkatan Laut Rusia di sana sangat diperlukan.” Ia juga menambahkan, “Adanya pusat logistik di Sudan itu penting,” kemudian ia menggambarkan, “di masa yang akan datang, mungkin pusat logistik di Sudan akan menjadi pangkalan angkatan laut yang lengkap.”

Berdasarkan teks perjanjian yang dipublikasikan di situs Al-Araby Al-Jadid, jangka waktu perjanjian adalah 25 tahun, yang kemudian bisa diperpanjang lagi secara otomatis sampai 10 tahun berturut-turut, ketika tidak ada pihak yang memberitahukan secara tertulis tentang niatnya untuk mengakhiri perjanjian. Berdasarkan perjanjian tersebut, jumlah kapal perang Rusia di pangkalan tidak boleh lebih dari 4 kapal, termasuk kapal kapal bertenaga nuklir. Berdasarkan perjanjian tersebut, jumlah pasukan militer tidak boleh lebih dari 300 tentara, namun boleh menambah jumlah dengan kesepakatan dari kedua belah pihak. Draf perjanjian menununjukkan, pembukaan pangkalan dukungan teknis Angkatan Laut Rusia ditujukan untuk memenuhi tujuan perdamaian dan stabilitas di wilayah serta memiliki karakter defensif. Tentara Rusia dan keluarganya menikmati kekebalan diplomatik, sesuai dengan perjanjian Wina. Dalam perjanjian tidak ditentukan syarat materil untuk menyewa wilayah darat ataupun laut, tetapi menetapkan bahwa Rusia akan memberi Sudan senjata dan peralatan militer secara gratis, dengan tujuan mengatur pertahanan udara dari pusat logistik yang diusulkan. Berdasarkan perjanjian tersebut, Rusia dapat memperoleh area tambahan yang ditentukan oleh protokol tambahan! Maka jelas, bahwa pangkalan logistik militer Rusia di Sudan ini bisa berkembang menjadi pangkalan yang lengkap, sebagaimana yang terjadi pada pangkalan militer Rusia di Tartus di Suriah.

Sebagian dari para pengamat telah menyebut istilah “penjajahan secara halus” pada pangkalan militer. Istilah itu memang sesuai dengan fakta. Pangkalan ini benar-benar merupakan salah satu bentuk penjajahan. Sungguh kita telah menyaksikan bagaimana pangkalan militer Amerika menguasai Irak dan Negara-negara Teluk. Begitu pula pangkalan militer Prancis juga menguasai negara bagian Barat Afrika: Pantai Gading, Mali, Chad serta yang lainnya. Mereka memicu peperangan, mengatur kudeta militer, serta benar-benar mendominasi berbagai negara.

Setelah semua itu, bagaimana bisa para penguasa ruwaibidhah (yang hina) di Sudan mendatangkan penjajahan atas rakyat mereka, setelah lebih dari enam dekade tentara Britania keluar dari Sudan?! Sungguh itu merupakan kehinaan dan kerendahan. Benarlah, barangsiapa yang mengharapkan kemuliaan pada selain Islam, maka Allah SWT akan menghinakannya. Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 318, terbit pada Rabu, 8 Jumadil Ula 1442 H/23 Desember 2020 M