March 23, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Tawar Menawar dalam Politik Demokrasi

Oleh : Ade Farkah (Anggota Forum Muslimah Peduli Umat – Kab. Indramayu)

“Lo jual, gue beli”, begitulah gambaran transaksi politik yang lazim terjadi menjelang pemilihan dalam sistem demokrasi. Dari level kepala desa hingga kepala negara. Ketua Bawaslu kabupaten Indramayu, Nurhadi mengatakan bahwa adanya potensi untuk memanfaatkan kondisi pandemi bagi para peserta dalam meraih suara sebanyak-banyaknya (tribunnesw.com, 6/8/2020).

Masih dari laman yang sama, Toto Izul Fatah sebagai direktur eksekutif lembaga survey Cikom-LSI Network Denny JA, mengungkapkan data bahwa masyarakat Indramayu memiliki kecenderungan pragmatis perilaku yang menganggap bahwa money politic itu sebagai hal yang sangat wajar (6,8%) dan cukup wajar (50,0%). Penelitian tersebut diambil dari 440 responden.

Fakta diatas menunjukan adanya relasi yang kuat dalam praktik money politic baik saat pandemi ataupun tidak. Hal serupa juga bisa saja terjadi di daerah yang lain. Dilansir dari laman detik.com (23/6/2020), bahwa peserta yang akan mengikuti pilkada serentak 2020 adalah sebanyak 270 daerah.

Jika dicermati, cara-cara yang dilakukan oleh para kontestan pemilu (termasuk pilkada) dalam meraih simpati masyarakat, sangat beragam. Tak hanya money politic, bahkan di era digital seperti saat ini, kampanye via media sosial menjadi makin massiv. Bahkan, sebagian kalangan menyebutnya. sebagai pencitraan.

Dalam tulisan Verdy Firmantoro (dosen komunikasi politik FISIP UHAMKA) di laman republika.co.id (18/2/2020), disebutkan bahwa efek pencitraan berlebihan dikhawatirkan akan melahirkan pemimpin yang tidak sesuai dengan harapan. Menang dalam wacana, namun lemah dalam karya. Demikian halnya dengan money politic, dampaknya sangat berbahaya bagi masyarakat di segala dimensi kehidupan. Mulai dari aspek ekonomi, sosial-budaya, pendidikan dan sebagainya.

Peserta pilkada yang menang melalui praktik money politic, tentu akan berpikir untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya. Baik dengan cara yang legal maupun ilegal. Tidak hanya itu, praktik suap-menyuap hingga jual beli jabatan menjadi hal yang lumrah. Bahkan setiap kebijakan dan keputusan yang ditetapkan akan cenderung menguntungkan pribadi dan kelompok tertentu. Tak terkecuali para pemilik modal.

Tingginya biaya politik dalam sistem sekuler demokrasi, menjadikan para penguasa abai terhadap kesejahteraan rakyat. Tamak dan hanya mementingkan diri sendiri. Begitu juga sulitnya menjalani kehidupan di dalam sistem sekuler kapitalis, menjadikan masyarakat berperilaku pragmatis. Inilah mata rantai yang harus segera diakhiri untuk menciptakan kehidupan yang gemah ripah loh jinawi.

Gemah ripah loh jinawi memiliki arti kehidupan yang tentram dan makmur. Serta memiliki tanah yang subur. Hal ini hanya akan tercipta jika para penguasa mengurus urusan rakyatnya dengan baik dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Begitu pula, rakyat harus mampu memberikan masukan kepada pemerintah, mengkritik bila ada hal-hal yang dianggap suatu kesalahan.

Keadaan demikian tentu tidak ditemukan di dalam sistem sekuler demokrasi. Karena dalam sistem demokrasi menyandarkan segala sesuatunya berdasarkan atas suara terbanyak. Bahkan pameo “suara rakyat adalah suara Tuhan” menjadi pembenar atas kerusakan sistem ini. Sedangkan rakyat yang dimaksud tidaklah mewakili rakyat secara keseluruhan dalam makna yang hakiki. Oleh karena itu, negeri yang gemah ripah loh jinawi akan sulit terwujud.

Fakta, suara rakyat bukanlah suara Tuhan, bahwa rakyat adalah manusia, sedangkan Tuhan adalah pencipta manusia. Jelas, ini adalah hal yang sangat fundamental. Sehingga untuk mewujudkan kehidupan yang tentram dan makmur, maka wajib untuk mengembalikan segala sesuatunya sesuai dengan kehendak Tuhan sebagai pencipta manusia, dunia dan seisinya.

Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas muslim. Tidaklah berlebihan rasanya, jika menjadikan sistem Islam yang merupakan tuntunan Tuhan semesta alam, sebagai panduan untuk mengelola negeri ini.

Dalam Islam, politik dimaknai sebagai aktivitas untuk mengurus urusan umat secara keseluruhan. Baik urusan dunia maupun akhirat. Sehingga, orang yang memegang amanah “politik” akan sangat berhati-hati dalam menjalankannya. Lebih dari itu, politik tidak dimaknai sebagai kekuasaan, melainkan sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Baik di dunia, maupun akhirat.

Oleh karena itu, dalam sistem pemilihan Islam, tidak ada pencitraan apalagi money politic. Bahkan, ketika seseorang mendapatkan amanah sebagai pemimpin (penguasa), maka ia akan mengucapkan kalimat istirja’. Sebagai tanda, bahwa hal itu merupakan ujian terberat. Sebagaimana hadits Rasulullaah saw. berikut ini:

Barangsiapa yang diamanahi Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak dapat merasakan bau surga” (HR. Bukhori dan Muslim).

Demikianlah beratnya tanggung jawab seorang pemimpin. Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. pernah bersumpah untuk tidak memberikan jabatan kepada seseorang yang meminta dan berambisi terhadapnya.

Seorang pemimpin dipilih karena ketaatannya kepada Allah Swt. Ada kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan untuk seorang pemimpin, yakni haruslah seorang laki-laki, adil, menguasai ilmu agama dan memiliki kecakapan dalam hal kepemimpinan.

Begitu pula, sebagai rakyat, ada kewajiban yang mengikat terhadapnya. Selain wajib mematuhi pemimpin, rakyat juga memiliki kewajiban untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Salah satunya melalui muhasabah lil hukam. Yakni, menasehati penguasa jika kedapatan melanggar hukum Allah SWT. Inilah sejatinya, hubungan antara penguasa dengan rakyat. Menjadi mitra dalam rangka menegakkan hukum Allah SWT. Bukan hubungan antara penjual dan pembeli. Tidak ada tawar menawar politik. Sehingga, kehidupan suatu negeri menjadi baldatun thoyyibatun warabbun ghafur. Rakyat dan pemimpinnya senantiasa hidup dalam kesejahteraan, dibawah naungan ridho Allah SWT.

Waallahu a’lam