July 27, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

RUSAKNYA GAMBUT ULAH DARI KAPITALISASI LAHAN

Oleh : Fitri Khoirunisa, A.Md ( Aktivis Muslimah Kubu Raya )

Siapa sangka, 83,4% lahan gambut di seluruh wilayah Indonesia telah rusak. Menurut data inventarisasi pada 2022 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hanya 16,61% atau 4.024.285 hektare (ha) lahan gambut yang tidak rusak, dan semua ini diperparah oleh kebakaran hutan yang terjadi.

Kepala BRGM, Hartono menyatakan perlu kesiapsiagaan dari semua pihak. KemenkoPolhukam dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah melakukan rakor kesiap siagaan karhutla pada 2023.

Target 1,2 juta hektar yang diberikan Presiden kepada BRGM, dilaksanakan khusus di gambut rusak di areal non konsesi (lahan milik masarakat dan hutan negara). Sampai akhir tahun 2022, sudah terealisir 586.000 hektar. Tahun 2023 ini memiliki target tambahan luas 300.000 hektar bisa direstorasi.

Hartono menjelaskan, di areal gambut yang dikelola konsesi pemegang ijin konsesi (HGU dan HTI) melaksanakan restorasi gambut rusak di areal kerja masing-masing. Sampai dengan tahun 2022 area gambut konsesi yang telah direstorasi lebih dari 3,6 juta hektar. (mediaindonesia.com, 4/3/2023)

Anggaran untuk restorasi gambut pada tahun 2023 sebesar 304 Miliar. BRGM bersama dengan KLHK dan Satgas Karhutla di 7 provinsi prioritas membuat persiapan lapangan mengantisipasi terjadinya karhutla gambut.

Restorasi gambut bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut. Restorasi gambut pada umumnya didukung dengan kegiatan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat untuk memastikan keberhasilan restorasi dalam jangka panjang.

Gambut yang sudah terdegradasi sejatinya tidak bisa kembali ke kondisi asalnya tanpa proses formasi ulang gambut yang bisa memakan waktu ratusan tahun lamanya. Upaya restorasi gambut yang terdiri dari pembasahan atau rewetting, revegetasi, dan revitalisasi dilakukan untuk mencapai kondisi gambut yang hampir seperti kondisi alaminya (near natural).

Berdasarkan kriteria kondisi fisik lahan gambut, upaya restorasi gambut dapat dikelompokan menjadi tiga macam, 1) Restorasi penuh (fully restored). Yaitu kedalaman muka air tanah hampir sama dengan keadaaan alami, tambahan revegetasi di area yang membutuhkan; 2) Restorasi parsial (partially restored), yakni kedalaman muka air tanah meningkat secara bertahap (sampai -40 cm) dengan sebagian revegetasi jika dibutuhkan; dan 3) Tidak ada restorasi (not restored), kedalaman muka air tanah jauh dibawah -40cm, tidak ada tutupan vegetasi.

Banyak faktor yang bisa menyebabkan rusaknya gambut. Namun faktor yang fundamental adanya kapitalisasi lahan seperti pemberian hak konsesi lahan sehingga menjadi salah satu penyebab utama terjadinya kerusakan gambut yang semakin parah.

Kelalaian negara dalam bentuk memberikan hak konsesi kepada korporasi perkebunan adalah faktor penting penyebab rusaknya lahan gambut sehingga menyebabkan salah satunya terjadi karhutla yang berulang selama puluhan tahun. Titik api terbanyak kembali ditemukan di lahan perkebunan pemilik hak konsesi, khususnya perkebunan sawit. Jadi, bukan di lahan milik masyarakat kebanyakan sebagaimana diklaim oleh pemerintah.

Diakui ahli dan pengamat lingkungan, pemberian hak konsesi menjadi penyebab kerusakan gambut yang semakin parah. Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi menyatakan, ekosistem gambut di Riau dan Kalimantan Tengah rusak sejak pemerintah memberikan konsesi lahan kepada para pengusaha. Sebab, para pengusaha kerap mengeringkan kanal di lahan gambut. Kanal yang berisi air tersebut sedianya dibutuhkan untuk menjaga lahan gambut tetap basah agar tak mudah terbakar. Karena sekarang sebagian besar kanal mengering, maka karhutla mudah terjadi dan terus meluas.

Di saat yang bersamaan pula, korporasi diberi kewenangan yang begitu luas. Tidak saja menghalangi individu lain memanfaatkan lahan dan hutan yang berada dalam kawasan konsesi, namun juga negara tidak dibenarkan melakukan intervensi apapun sekalipun demi kemaslahatan publik.

Tidak saja menjadi sumber kesengsaraan bagi jutaan orang, negara sebagai regulator, pemberian hak konsesi berikut program moratorium, jelas kelalaian negara ini adalah sesuatu yang diharamkan dalam pandangan Islam. Sehingga, konsep-konsep batil ini harus diakhiri segera. Tentu saja dengan keseluruhan sistem kehidupan sekularisme pendukungnya, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme.

Ironisnya, mereka yang seharusnya bertanggung jawab nyatanya sangat sulit tersentuh hukum. Kalaupun ada, sifatnya hanya administratif, seperti pencabutan izin atau denda. Itu pun tidak mampu membuat kasus-kasus pelanggaran hukum berkurang, apalagi hilang.

Tidak sedikit kasus yang sudah sampai ke pengadilan, ujungnya tidak pernah jelas. Usut punya usut, salah satu penyebabnya adalah karena ada kongkalikong antara pengusaha dan rezim penguasa. Bahkan, tidak sedikit penguasa yang terjun jadi pengusaha, atau sebaliknya.

Memang ada yang tidak lolos hukum, misalnya kasus PT Putra Lirik Domas di Kalimantan Barat yang baru saja diputus oleh MA untuk membayar kerugian materiel lingkungan hidup sebanyak hampir Rp200 miliar karena terbukti terlibat dalam karhutla. Namun, untuk memutus satu kasus ini saja nyatanya membutuhkan waktu lebih dari lima tahun. Di luar itu, banyak kasus yang menguap tidak tentu rimbanya.

Mirisnya lagi, pada saat hukum negara mandul menyolusi kasus di dalam negeri, negara pun tidak bisa menghindar dari tekanan internasional. Di bawah isu perubahan iklim dan pemanasan global, Indonesia juga terkena berbagai kewajiban.

Setidaknya, negara harus menganggarkan triliunan rupiah untuk mengatasi berbagai kasus karhutla dan dampaknya, serta mengejar target zero burning. Namun, pada praktiknya, target ini sulit diwujudkan karena berbenturan dengan UU.

Misalnya, aturan yang masih memberi celah pembukaan lahan hutan di bawah dua hektare dengan cara dibakar. Aturan ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai dalih untuk menghindari jerat hukum ketika pembakaran itu dilakukan dan berdampak kebakaran besar.

Itulah sebab negara seolah ada pada posisi dilema. Negara jelas tidak berdaya tekan kepada pihak korporasi pengguna lahan hutan. Sementara itu, pada saat yang sama, negara harus menanggung beban tekanan internasional terkait penjagaan iklim atau isu pemanasan global dengan bertanggung jawab secara moral, politik, dan finansial.

Mencermati apa yang telah terjadi, sungguh sangat jelas bahwa akar persoalan berlarut-larutnya problem ini adalah karena sistem kehidupan Islam tidak diterapkan. Itu artinya, hanya dengan kembali pada kehidupan Islam, Khilafah Islam terwujud zero karhutla, sehingga tidak akan ada lagi keganasan kabut asap karhutla. Ini di satu sisi, di sisi lain tersedia secara sempurna ruang untuk normalisasi fungsi ekologi dan hidrologi gambut yang dibutuhkan dunia.

Adapun prinsip-prinsip terpenting Islam yang wajib diterapkan dalam pengelolaan hutan gambut antara lain, pertama, hutan gambut tropis Indonesia terluas di dunia memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Karenanya, pada hutan dan lahan gambut –sebagaimana hutan pada umumnya– melekat karakter harta milik umum.

Dituturkan lisan mulia Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang artinya, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air, dan api.” (HR. Abu Dawud).

Kedua, negara adalah pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan dan lahan gambut. Rasulullah (saw.) menegaskan, artinya, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim).

Artinya, apapun alasannya, negara haram sebagai regulator bagi kepentingan korporasi perkebunan sawit. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan dan dan lahan gambut. Termasuk pemulihan fungsi gambut yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar.

Ketiga, selain sumber bencana bagi jutaan orang, yang diharamkan Islam, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Hak konsesi tidak dikenal dalam Islam karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara, dengan tujuan untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud).

Keempat, agenda hegemoni Climate Change biofuel sawit wajib diakhiri, sebab Islam mengharamkan penjajahan apapun bentuknya. Allah swt berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 141, artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.

Kelima, program restorasi gambut termasuk rewetting dan revegetasi dalam rangka pengembalian fungsi ekologi gambut yang terbakar wajib dilakukan dalam bingkai syariat Islam kafah, dengan anggaran yang bersifat mutlak dari kas negara. Semua prinsip syariat ini aspek yang terintegrasi dengan sistem kehidupan Islam. Sehingga hanya compatible (serasi) dengan sistem kehidupan Islam, sistem politik Islam, Khilafah Islam.[]

Wallahu’alam bisshowwab