July 27, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Derita Pekerja Migran Indonesia

Oleh: Khairani (Aktivis Muslimah Pontianak)

Memiliki penghidupan yang layak merupakan dambaan semua orang. Namun saat ini, kehidupan yang sejahtera menjadi sesuatu yang sangat langka. Faktanya, tidak sedikit yang merasa sulit meraih kesejahteraan di dalam negeri, sehingga memutuskan merantau ke negeri orang demi mendapatkan kehidupan yang lebih sejahtera untuk keluarga tercinta.

Kemiskinan akut dan lapangan pekerjaan yang sempit menjadikan pekerja migran kian hari kian banyak. Akan tetapi, bukannya berhasil memperbaiki ekonomi keluarga, nasib buruk justru mereka dapatkan. Siksaan tak manusia kerap kali menghantam mereka, seolah terpenjara di dalam neraka dunia.

Bukan Dongeng

Pekerja migran yang disiksa oleh majikannya adalah kisah nyata, bukan cerita dongeng. Seperti kisah seorang pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga (PRT), Meriance Kabu.

Wajah Meriance menghitam karena hampir setiap hari dipukul majikannya. Tubuhnya pernah ditempelkan setrika panas, alat vitalnya dijepit tang hingga memar, lebam, dan terluka, lidah dan telinganya sobek, tulang hidungnya pun patah. Sungguh malang, Meriance yang awalnya tinggal di sebuah Desa tanpa aliran listrik memutuskan menerima tawaran bekerja di Malaysia untuk membantu ekonomi keluarga.

Bekerja di negeri seberang bahkan sempat membuatnya berani bermimpi “untuk punya rumah sendiri” suatu saat setelah kembali. Nahas, impian itu pupus. Saat ini, meriance telah selamat dari siksaan, dan terus mencari keadilan karena majikan yang menyiksanya tidak mendapatkan hukuman berat. (BBC, 1/3/2023)

Ratusan Kasus Penganiayaan, Puluhan Ribu Permintaan

Berdasarkan data dari KBRI Malaysia, ribuan kasus menimpa PMI di Malaysia. Dari data rentang waktu 2018 s.d 2022, tercatat 2.361 kasus PMI tidak dibayar gajinya meski telah bekerja bertahun-tahun dan 470 PMI mengalami penyiksaan. Hermono, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia menyatakan, kasus ini hanya yang terdata di KBRI.

Ibarat Fenomena gunung es, jumlah kasus sesungguhnya jauh lebih banyak dari data. Belum lagi PRT yang masih terjebak dirumah majikannya dan tidak bisa melaporkan. Mirisnya, semua ini terjadi di tengah permintaan pekerja di sektor rumah tangga yang terus meningkat, bahkan mencapai lebih dari 66.000 pekerja. (Data KBRI Malaysia, Februari 2023).

Menakar Solusi dari Pemerintah

Berdasarkan hal ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 4 Tahun 2023 sebagai pengganti Permenaker No. 18 Tahun 2018. Dan ada penambahan manfaat jaminan sosial untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi PMI dari risiko sosial, baik karena kecelakaan kerja, kematian, maupun hari tua.

Menaker menjelaskan, iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) tidak ada kenaikan (tetap) yakni sebesar Rp370.000 dengan perjanjian kerja 24 bulan. Adapun iuran Jaminan Hari Tua (JHT) berkisar antara Rp50.000 sampai dengan Rp600.000. (antaranews.com, 3/3/2023)

Adanya jaminan sosial ini, para pekerja migran akan mendapatkan pelayanan kesehatan, santunan berupa uang, pendampingan, pelatihan vokasi bagi PMI yang cacat, santunan kematian, biaya pemakaman, beasiswa pendidikan, pelatihan perlindungan selama kerja, dan lain-lain. Dengan begitu, perlindungan sebelum, saat, dan setelah bekerja para PMI di klaim akan terjamin. Menaker juga menyebutkan, hadirnya Permenaker ini adalah wujud kehadiran negara untuk para PMI di mana iuran tetap, manfaat meningkat.

Namun, benarkah Permenaker ini solusi hakiki atas derita yang menimpa PMI? Jika ini jaminan perlindungan, mengapa untuk mendapatkan perlindungan PMI mesti membayar. Bukankah jika disebut jaminan mestinya gratis?

Melihat Akar Permasalahan

Maraknya Pekerja Migran Indonesia (PMI) sebenarnya merupakan buah dari kemiskinan dan sempitnya lapangan  kerja di dalam negeri. Semakin naiknya beban kehidupan yang harus ditanggung, tetapi tidak disertai dengan meningkatnya pemasukan, ditambah sulitnya mencari pekerjaan, menjadi suatu kewajaran jika warga negara rela untuk merantau jauh meninggalkan kampung halaman, agar bisa mencari penghidupan yang lebih layak.

Kalau dipikir-pikir, semua orang pasti menginginkan tinggal bersama keluarga tercinta, para ibu ingin merawat dan mendidik anak-anaknya, namun apalah daya kondisi yang mengharuskan mereka untuk banting tulang ke negeri orang.

Kemiskinan juga membuat rendahnya keterampilan  masyarakat. Sehingga lapangan kerja yang tidak perlu memiliki terampilan khusus, misalnya menjadi pembantu rumah tangga akhirnya menjadi salah satu pilihan. Kondisi ini membuat  para  PMI  rentan  dengan kekerasan.

Rendahnya posisi tawar (bargaining position) Indonesia di negeri lain bisa menyebabkan PMI rentan teraniaya. Lihat saja, peradilan Malaysia dengan mudahnya membebaskan para majikan meski telah terbukti menganiaya pekerja Indonesia.

Mirisnya pemerintah  hanya mengupayakan perbaikan perlindungan PMI tanpa berusaha menyelesaikan akar persoalan yang membuat warga negaranya memutuskan untuk menjadi pekerja migran. Dimana akar persoalannya terletak pada masalah kemiskinan.

Paradoks di negeri gemah ripah loh jinawi

Ditengah keberlimpahan SDA, rakyat malah banyak yang menderita. Kekayaan sumber daya alam negeri ini nyatanya tidak mampu mensejahterakan rakyat, buktinya nadi ekonomi negara masih bertumpu pada pajak yang dipungut dari rakyat, termasuk rakyat miskin.

Wajar saja akhirnya di dalam negeri kejahatan semakin marak, sedangkan masyarakat yang bertaruh nasib di luar negeri mendapatkan nasib yang buruk. Jika saja negara mampu mensejahterakan rakyat, tentu kasus-kasus ini tidak mungkin ada. Jikapun ada, sangat minim angkanya. SDA bukan membawa berkah, namun seolah seperti kutukan.

Kemiskinan  di Indonesia terjadi karena kesalahan sistem ekonomi yang diterapkan.  Sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini nyatanya membolehkan perampasan SDA. Dalam perspektif kapitalisme, sumber daya alam diperebutkan lewat free fight liberalism (kebebasan yang tidak terkendali). Akhirnya, kemakmuran SDA hanya dinikmati 1% kelompok yang menguasainya, sedangkan 99% kelompok sisanya harus berebut sisa-sisa sumber daya yang telah dirampas tadi.

Walhasil, pengolahan SDA yang  seharusnya mampu  membuka lapangan kerja  dan mensejahterakan rakyat hanya mimpi belaka. Pengolahan SDA justru diberikan kepada tenaga kerja asing, dan hasil dari pengolahannya sebagian besar dinikmati oleh para kapitalis yang berkuasa.

Solusi Islam

Islam memiliki sistem ekonomi yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan rakyat dan juga membuka lapangan kerja yang luas. Didalam konsep ekonominya, negara di dalam Islam memiliki pemasukan tetap, yaitu dari fai, kharaj, zakat, seperlima harta rikaz, dan jizyah.

Demikian juga dengan penerapan konsep kepemilikan sesuai syariat. Sumber daya alam seperti hutan, laut, sumber air, barang tambang seperti minyak bumi dan batu bara, merupakan milik umum sehingga tidak dibolehkan adanya privatisasi. Setiap individu boleh mengambil sesuai keperluannya dan negara wajib mengelolanya, kemudian hasilnya dibagikan merata untuk rakyat.

Banyaknya sumber pemasukan negara ini akan menjamin terselesaikannya masalah kemiskinan. Hingga ke ranah teknis pun, negara akan menjamin tersedianya mata pencarian bagi rakyatnya. Oleh sebab itu, rakyat tak perlu menjadi PMI untuk mencari sesuap nasi karena di negeri sendiri tersedia banyak lapangan pekerjaan.

Kesejahteraan bagi setiap individu pasti terjamin di dalam Islam, karena Islam sangat memperhatikan individu per individu warga negaranya (baik muslim maupun non muslim). Penerapan aturan sang Khaliq pasti akan membawa rahmat bagi seluruh makhluk-Nya.

Tinggal kita saja, apakah mau diatur dengan aturan Allah (Islam) atau masih ingin bertahan dibawah aturan buatan akal manusia yang lemah dan menjerumuskan.[]

Wallahu a’lam bish-shawab