July 24, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Makna Hukum Syar’i Perintah dan Larangan

Oleh : Yoyok Rudianto

دَلَالَةُ الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ عَلَى الْحُكْمِ الشَّرْعِيْ

Redaksi perintah yang dinyatakan di dalam nas-nas syariah memberikan faedah makna yang banyak. Ada belasan makna yang ditunjukkan oleh redaksi perintah. Di antaranya: wajib, sunnah, mubah, irsyâd (arahan), tahdîd (ancaman) atau takhwîf (menanamkan rasa takut), al-imtinân ‘alâ al-‘ibâd (menyatakan nikmat bagi hamba), al-ikrâm bi al-ma`mûr (memuliakan yang diperintah), at-taskhîr (merendahkan), at-ta’jîz (menyatakan ketidakmampuan lawan), at-taswiyah (penyamaan), doa, al-ihânah (penghinaan), al-ihtiqâr (memandang rendah), at-takwîn (penciptaan), al-khabar (informasi).

Redaksi larangan juga dinyatakan di dalam nas syariah dengan banyak makna. Redaksi larangan dinyatakan di dalam nas memberikan faedah makna: at-tahrîm (pengharaman), al-karâhah (kemakruhan), at-tahqîr (merendahkan), bayânu al-‘aqibah (menjelaskan akibat), doa, al-ya`su (keputusasaan), al-irsyâd (arahan), at-tasliyah (penghiburan), atau as-syafaqah (belas kasihan).

Penunjukkan redaksi perintah atau larangan itu bukan dari sisi isytirâk, yakni satu lafal redaksi perintah atau larangan menunjukkan banyak makna itu sekaligus, melainkan hanya menunjukkan pada salah satu dari makna-makna itu. Penunjukkan terhadap makna-makna itu tidak dengan sendirinya hanya dinyatakan oleh redaksi perintah atau larangan. Akan tetapi, makna itu ditunjukkan oleh redaksi perintah atau larangan yang dikaitkan dengan qarînah (indikasi) yang menyertainya. Redaksi perintah atau larangan itu sendiri asalnya hanya menunjukkan tuntutan (ath-thalab).

Perintah dan larangan juga tidak dengan sendirinya menunjukkan makna hukum tertentu. Perintah atau larangan ada kalanya dinyatakan secara sharîh, yakni secara gamblang menyatakan perintah (menggunakan lafal amara atau redaksi perintah) atau menunjukkan larangan (mengunakan redaksi larangan). Ada kalanya perintah atau larangan itu dinyatakan tidak secara gamblang (ghayru sharîh), yakni bahwa kalimat yang dinyatakan di dalam nas mengandung makna perintah atau larangan; atau perintah atau larangan itu ditunjukkan oleh makna yang terkandung dalam kalimat yang dinyatakan di dalam nas.

Perintah (al-amru) dan larangan (an-nahyu) di dalam nas syariah, baik yang dinyatakan secara sharîh atau ghayru sharîh, tidak otomatis atau tidak dengan sendirinya menunjukkan suatu hukum syariah tertentu. Artinya, asal perintah bukan untuk wajib, juga bukan untuk sunnah atau mubah. Sebaliknya, asal larangan juga bukan untuk haram atau makruh. Akan tetapi, perintah itu asalnya menunjukkan tuntutan untuk melakukan sesuatu (thalab al-fi’li), dan asal larangan menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (thalab at-tarki).

Berikutnya perintah (thalab al-fi’li) atau larangan (thalab at-tarki) itu dikaitkan dengan qarînah yang menyertainya yang menunjukkan jenis thalab al-fi’li atau thalab at-tarki itu. Al-Qarînah dalam hal ini, seperti dijelaskan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam bukunya Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, adalah semua yang menjelaskan jenis ath-thalab (tuntutan) dan menentukan maknanya jika al-qarînah itu dihimpun atau digabungkan pada ath-thalab itu dan menyertainya.

Al-Qarînah itu adakalanya terdapat di dalam nas yang menyatakan perintah atau larangan itu sendiri; adakalanya terdapat di dalam nas yang lain baik nas al-Quran atau as-Sunnah. Jadi, penunjukkan perintah atau larangan atas suatu hukum datang dari penggabungan atau pengaitan perintah atau larangan itu dengan qarianah yang menyertainya.

Makna Hukum Syar’i Perintah

Ketika dinyatakan perintah dalam satu nas, maka harus dicari qariinah yang menyertainya untuk dapat dipahami atau ditentukan hukum yang ditunjukkannya. Qarînah yang menyertai itulah yang menunjukkan maksud perintah atau thalab al-fi’li itu apakah bersifat tegas (jâzim), tidak tegas (ghayru jâzim), merupakan pilihan (thalab at-takhyîr) atau sebagai irsyâd.

Pertama: Jika perintah dan qariinah yang menyertainya menunjukkan bahwa perintah atau thalab al-fi’li itu bersifat tegas (jâzim) maka hukum apa yang diperintahkan itu adalah fardhu. Qarînah yang menunjukkan ketegasan (jâzim) ada dua belas macam. Ini telah dijelaskan dalam pembahasan qarînah.

Contoh perintah yang bersifat tegas adalah firman Allah SWT:

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ ٤٣

Dirikanlah oleh kalian shalat (TQS al-Baqarah [2]: 43).

Di antara qariinah yang menyertai perintah dalam ayat di atas adalah firman Allah SWT:

مَا سَلَكَكُمۡ فِي سَقَرَ  ٤٢ قَالُواْ لَمۡ نَكُ مِنَ ٱلۡمُصَلِّينَ  ٤٣

“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam Neraka Saqar?” Mereka menjawab, “Kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS al-Muddatsir [74]: 42-43).

Qarînah ini menunjukkan perintah menunaikan shalat itu bersifat tegas. Karena itu shalat (lima waktu) itu hukumnya fardhu.

Kedua: Jika perintah dan qariinah yang menyertainya menunjukkan bahwa perintah atau thalab al-fi’li itu bersifat tidak tegas (ghayru jâzim); disertai penekanan atas pelaksanaannya. Dalam hal ini hukum perkara yang diperintahkan adalah sunnah. Qarînah yang menunjukkan sifat tidak tegas (ghayru jâzim) disertai tarjîh pelaksanaannya ada tiga macam. Ini pun telah dijelaskan dalam pembahasan tentang qarînah.

Contoh perintah yang tidak tegas dan ada penguatan (tarjiih) atas pelaksanaannya adalah sabda Rasul saw. berikut:

تَبَسُّمُكَ فِيْ وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ

Senyummu kepada saudaramu adalah (laksana) sedekah (HR at-Tirmidzi).

Ini adalah kalimat informatif yang mengandung makna perintah untuk tersenyum. Lafal shadaqah itu menjadi qariinah penguatan (tarjiih) atas pelaksanaannya, Dengan demikian tersenyum kepada sesama Muslim hukumnya sunnah.

Ketiga jJika perintah dan qariinah yang menyertainya menunjukkan bahwa perintah atau thalab al-fi’li itu bersifat pilihan (takhyîr), atau setara antara pelaksanaan dan tidaknya. Dalam hal ini hukum apa yang diperintahkan itu adalah mubah atau jâ‘iz (boleh). Qarînah yang menunjukkan sifat pilihan (takhyîr) atau kesetaraan antara melaksanakan dan meninggalkan ada tiga macam qarînah. Ini juga telah dijelaskan dalam pembahasan qarînah.

Contohnya dalam firman Allah SWT:

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ ١٠

Jika telah ditunaikan shalat (Jumat) maka bertebaranlah kalian di muka bumi (QS al-Jumu’ah [62]: 10).

Perintah bertebaran itu, termasuk untuk melakukan jual-beli, menunjukkan kemubahan. Qariinah-nya adalah hilangnya sebab pengharamannya sehingga kembali ke hukum awalnya, yaitu mubah.

Keempat: Perintah bermakna irsyâd. Ini bukanlah jenis hukum tersendiri, melainkan bagian dari hukum mubah atau jâ‘iz (boleh). Makna irsyâd itu jika perintah atau thalab al-fi’li menunjukkan hukum mubah atau jâ‘iz (boleh), tetapi pelaksanaannya dikuatkan karena atau untuk kemaslahatan duniawi. Dengan demikian perintah itu bermakna irsyâd (arahan). Contohnya firman Allah SWT:

وَٱسۡتَشۡهِدُواْ شَهِيدَيۡنِ مِن رِّجَالِكُمۡۖ … هِدُوٓاْ إِذَا تَبَايَعۡتُمۡۚ ٢٨٢

Persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kalian… Persaksikanlah jika kalian berjual-beli (QS al-Baqarah [2]: 282).

Semua ini hukumnya mubah, tetapi pelaksanaannya dikuatkan untuk kemaslahatan duniawi karena “aqwamu li asy-syahâdati wa adnâ an lâ tartâbû (lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat pada tidak menimbulkan keraguanmu), artinya lebih menjauhkan perselisihan dan memudahkan penyelesaiannya ketika terjadi. Begitu pula perintah untuk menuliskan muamalah tidak tunai yang kedua pihak saling percaya dan muamalah tidak tunai tanpa batas waktu pembayaran yang jelas yang disepakati. Ini hukumnya juga mubah, tetapi pelaksanaannya dikuatkan untuk kemaslahatan duniawi.

Makna Hukum Syar’i Larangan

Ketika dinyatakan larangan dalam satu nas, maka harus dicari qariinah yang menyertainya untuk dapat dipahami atau ditentukan hukum yang ditunjukkan oleh larangan tersebut. Qarînah yang menyertai itulah yang menunjukkan maksud larangan atau thalab at-tarki itu, apakah bersifat tegas (jâzim), tidak tegas (ghayru jâzim) atau thalabnya merupakan pilihan (thalab at-takhyîr) disertai irsyâd.

Pertama: Jika larangan dan qariinah yang menyertainya menunjukkan bahwa larangan atau thalab at-tarki itu bersifat tegas (jâzim) maka hukum apa yang dilarang itu adalah haram. Contohnya, larangan minum khamr, berjudi (al-maysir), berkurban untuk berhala (al-anshâbu) dan mengundi nasib dengan anak panah (al-azlâmu) adalah haram; dengan qariinah bahwa itu adalah rizsun dan perbuatan setan (Lihat: QS al-Maidah [5]: 90).

Kedua: Jika larangan dan qariinah yang menyertainya menunjukkan larangan itu tidak tegas maka hukumnya adalah makruh. Contohnya larangan berobat dengan yang haram atau najis. Ini hukumnya makruh. Qariinah-nya adalah bahwa Nabi saw. membolehkan orang Urainah berobat dengan air kencing unta, padahal itu adalah najis; Nabi saw mengijinkan Abdurrahman bin Auf memakai sutera karena sakit kulit, padahal sutera adalah haram bagi laki-laki; dll.

Ketiga: Larangan bermakna irsyâd. Ini bukanlah jenis hukum tersendiri, melainkan bagian dari hukum mubah atau jâ‘iz (boleh). Artinya, perbuatan itu adalah mubah, tetapi terdapat larangan atau thalab at-tarki atasnya karena atau untuk kemaslahatan duniawi maka larangan itu bermakna irsyâd (arahan). Artinya, perkara itu dikuatkan untuk ditinggalkan karena kemaslahatan duniawi. Contohnya larangan menolak hadiah. Ini dikuatkan untuk ditinggalkan untuk kemaslahatan duniawi.[]

WalLâh a’lam wa ahkam.  

Sumber : https://al-waie.id/takrifat/makna-hukum-syari-perintah-dan-larangan/