March 23, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Ketidakadilan Hukum Ada Demokrasi-Oligarki

Oleh : W. Irvandi (Direktur ANSPI)

Indonesia berada pada peringkat 3 sebagai Negara Terkorup di Asia. Hal ini disampaikan oleh Lembaga pemantau indeks korupsi global, Transparency International ketika merilis laporan bertajuk ‘Global Corruption Barometer-Asia‘ dan Indonesia masuk menjadi negara nomor tiga paling korup di Asia. Posisi pertama ditempati India diikuti Kamboja di peringkat kedua. (Merdeka.com, 30/11/2020). Di sisi lain organisasi Transparency International juga telah merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Pada rilis tersebut disebutkan skor IPK Indonesia naik jadi 40. Hari ini indeks persepsi korupsi Indonesia ada di skor 40 dan ranking 85 dari 180 negara. (CNNIndonesia.com, 23/1/2020)

Beberapa pengamat menyatakan kenapa hal itu bisa terjadi diantaranya adalah dikarenakan lemahnya hukuman di Indonesia. Selain itu, aturan terkait korupsi kerap berubah-ubah dan partai politik menjalankan sistem ‘mahar politik’. Sebagaimana kita ketahui UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31 Tahun 1999 dan No 20 Tahun 2001 terus mengalami perubahan-perubahan untuk mencari celah agar tidak menjadi penghalang bagi para koruptor. Hukuman bagi para pelaku juga kerap diringankan. Kebijakan-kebijakan dengan program asimilasi dan pengurangan hukuman atau remisi merupakan bentuk keringanan hukuman.

Permasalahan hukum dan peradilan hari ini merupakan dampak dari penerapan sistem politik demokrasi. Demokrasi telah menciptakan peluang korupsi yang begitu besar. Korupsi terjadi dimana-mana dan dalam berbagai bidang kementrian. Korupsi juga terjadi dalam berbagai bentuk diantaranya kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Demokrasi menciptakan peluang untuk membuat aturan main sendiri yang akhirnya dapat menyebabkan trejadi korupsi, ketidakadilan hukum atuapun masalah-masalah lainnya.

Dalam buku How Democracies Die telah dijelaskan bahwa bagaimana demokrasi mati secara perlahan. Menurut penulis buku tersebut yaitu Levitsky dan Ziblatt, kematian demokrasi dikarenakan tangan pejabat terpilih atau presiden, “kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara.

Ada empat indikator utama yang harus diperhatikan adalah dalam pelaksanaan demokrasi, yaitu penolakan (atau komitmen yang lemah terhadap) aturan main yang demokratis; penolakan legitimasi lawan politik; toleransi atau dorongan kekerasan; kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. Apabila keempat indikator tersebut tidak diperhatikan maka demokrasi yang diterapkan meniscayakan kehancuran.

Selain melalui kotak suara, terdapat satu bab di dalam buku tersebut yang membahas tentang “Fateful Alliances“. Levitsky dan Ziblatt menulis dalam bukunya bahwa terdapat cara lain yang digunakan untuk berkuasa, selain melalui pemilu yakni bersekutu dengan politikus mapan. Hal ini dapat kita lihat khususnya di Indonesia, persekutuan-persekutuan politik telah terjadi, bahkan cenderung membentuk oligarki kekuasaan.

Kedua penulis juga memperingatkan bahwa demokrasi di Amerika Serikat dalam “masalah”. Selain itu, politikus di Amerika juga membuang norma lama yang telah menjaga keseimbangan politik Amerika dan mencegah jenis konflik yang dapat mengarah pada situasi negara yang represif.

Dalam wawancara khusus dengan Dave Daview dari NPR, Steven Levitsky mengatakan demokrasi telah mati sejak 30 tahun yang lalu usai Perang Dingin. “Pemerintah terpilih menggunakan lembaga demokrasi untuk melemahkan dan menghancurkan demokrasi. Kami berharap lembaga demokrasi Amerika akan selamat dalam proses ini,” kata Levitsky.

Penggunaan kekuasaan dan lembaga demokrasi untuk menghancurkan demokrasi bukanlah produk satu atau dua hari, tetapi bertahun-tahun dan dilakukan secara bertahap. “Itulah salah satu hal yang membuatnya sangat sulit, baik untuk pelajari maupun sebagai warga negara untuk mengenali apa yang terjadi,” kata Daniel Ziblatt.

Lemahnya demokrasi juga membuat pelaksanaan hukum dan ketimpangan peradilan terjadi. Beberapa sebab kebobrokan hukum diantaranya adalah landasan hukum yang lemah, materi dan sanksi hukum yang tidak jelas, sistem peradilan yang berjenjang hingga perilaku para pejabat dan aparat yang memang “semau perut sendiri”.

Terkait landasan hukum, landasan hukum Indonesia adalah sistem hukum dan peradilan Barat yang sekular. Sumber pokok hukum perdata di Indonesia berasal dari hukum perdata Perancis. Sedangkan hukum pidana merupakan copy–an dari hukum KUHP untuk golongan Eropa (hukum pidana di Perancis zaman Napoleon.

Berkenaan dnegan materi dan sanksi hukum, materi dan sanksi hukum tidak lengkap. Misalnya seputar perzinaan, batasan aurat (pornografi), dan kerumunan. Patut dipertanyakan apa yang dimaksud dnegan perzinaan? Karena apabila ada yang berzina namun atas dasar suka, maka tidak dianggap melanggar hukum. Sanksi hukum yang diberlakukan juga tidak menimbulkan efek jera. Bahkan tidak sedikit mementingkan kepastian hukum untuk golongan  tertentu dan mengabaikan keadilan dengan kekuatan uang dan jabatan. Materi hukum juga tidak mengikuti perkembangan zaman – karena ada peluang berubah-ubahnya hukum.

Masalah berikutnya adalah sistem peradilan yang berjenjang, pembuktian yang lemah dan tidak meyakinkan, serta tidak ada persamaan hukum. peradilan yang berjenjang menyebbakan proses peradilan butuh waktu yang sangat lama. Bahkan ada peluang pembatalan hkum yang sudah diputuskan sejak awal. Pembuktian dalam pengadilan juga sangat lemah, kita bisa lihat kasus persekusi terhadap ulama dan ormas Islam, tanpa alat bukti pun bisa dihukum.

Ditambah lagi dengan perilaku para pejabat dan aparat penegak hukum. Komisi Yudisial menyebutkan 2.440 hakim atau sekitar 40% dari total 6.100 hakim bermasalah. Wajar saja ketidakadilan hukum semakin fatamorgana. Dan sistem demokrasi dengan oligarki kekuasaan membuat peluang itu terjadi yaitu aturan yang dibuat dari akal manusia yang bisa berubah-ubah dan demi kepentingan tertentu. Hanya aturan islam saja yang murni tanpa ada kepentingan manusia didalamya. []

Wallahualam bis showwab