March 23, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Kenaikan Anggaran Covid, Bukan Jaminan Penyelesaian

Oleh: Agustina (Aktivis Back To Muslim Identity)

Kita memang sedang tidak baik-baik saja. Kurang lebih satu tahun telah berlalu pandemi belum juga teratasi. Semakin hari data yang positif Covid-19 cukup tinggi dan sangat mengkhawatirkan. Sudah seharusnya Covid-19 diatasi dengan serius, sekaligus didukung oleh rakyat yang mentaati semua arahan pemerintah. Sehingga wabah bisa terminimalisir dan segera berakhir.

Pada awal tahun 2021 ini, pemerintah sudah merancang berbagai kebijakan. Berbagai rumusan strategi dilakukan untuk penanggulangan pandemi baik dari sisi masalah kesehatan hingga ekonomi. Diantaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menaikkan alokasi anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021. Kali ini, pemerintah merumuskan Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN) yang berbeda. Alokasi yang semula senilai Rp619 trilliun kini mejadi Rp627,9 trilliun.

Namun Ekonom Senior Indef Faisal Basri menyoroti anggaran kesehatan dalam APBN 2021 yang turun dibandingkan dengan anggaran tahun anggaran 2021. Faisal menyayangkan anggaran kesehatan yang dipangkas dari Rp212,5 triliun di 2020 menjadi Rp169,7 triliun pada 2021. Padahal, Indonesia harus menghadapi situasi pandemi yang masih berlanjut tahun depan. “Mengapa pemerintah akhirnya menurunkan anggaran kesehatan buat 2021? Anggaran kesehatan itu turun dr Rp212,5 triliun jadi Rp169,7 triliun di tengah primary health masih babak belur,” katanya, Jumat (18/12/2021). (ekonomi.bisnis.com, 18/12/2020).

Menurut Faisal juga bahwa anggaran kesehatan yang dulunya Rp87,5 triliun kini tinggal Rp25,4 triliun, sedangkan anggaran infrastruktur naik dari Rp281,1 triliun menjadi Rp414 triliun. Hal tersebut dibenarkan oleh Staff Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo. Anggaran kesehatan, lanjut dia, secara nominal memang turun, dari Rp212,5 triliun sesuai Perpres 72/2020 menjadi Rp169,5 triliun. Alokasi anggaran itu, imbuhnya, setara 6,2 persen produk domestik bruto (PDB) atau berada di atas mandat UU sebesar lima persen. Anggaran yang turun, adalah alokasi belanja kesehatan non kementerian dan lembaga. Sedangkan anggaran Kementerian Kesehatan naik dari Rp78,5 triliun jadi Rp84 triliun tahun 2021. (ekonomi.bisnis.com, 19/09/2020).

Disaat pandemi masih bergejolak pada saat yang sama juga terjadi pada Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang naik mencapai Rp627,9 triliun bukannya pada anggaran kesehatan. Dilansir dari CNN (7/2) bahwa anggaran PEN ini akan dialokasikan pada beberapa pos. Di antaranya, kesehatan (Rp133,07 triliun), perlindungan sosial (148,66 triliun), dukungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi (Rp157,57 triliun), insentif usaha dan pajak (Rp47,27 triliun) dan program prioritas (Rp141,36 triliun). (CNNIndonesia.com, 07/02/21).

Wajar saja dari kenaikan anggaran ini menimbulkan pro dan kontra mengenai anggaran kesehatan yang diajukan pemerintah saat ini tentu melahirkan tanda tanya. Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa anggaran infrastruktur jauh lebih besar daripada anggaran kesehatan? Bukankah saat ini kita berada pada masa pandemi? Apakah infrastruktur jauh lebih penting daripada keselamatan rakyat? Jika kita analisis dari kebijakan yang diputuskan bukan merupakan jaminan dalam penyelesaian masalah pandemi. Padahal untuk menuntaskan suatu permasalahan, haruslah melihat akar masalahnya. Salah mendiagnosis masalah, bisa berakibat salah memberi solusi.

Dilansir dari Kompas (15/2) Sri Mulyani menjelaskan, hampir seluruh klaster mengalami kenaikan anggaran. Namun, kenaikan anggaran terbesar terjadi pada klaster kesehatan. Tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 173 triliun untuk bidang kesehatan. Sementara tahun lalu hanya Rp 63,51 triliun. Anggaran tersebut untuk vaksinasi Covid-19, tracing serta testing, biaya klaim perawatan, insentif tenaga kesehatan, serta insentif pajak. Dari peningkatan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 yang tidak signifikan memberi harapan baru masyarakat dalam penuntasan masalah covid-19. (Kompas.com, 15/02/2021)

Dikutip dari Kontan (28/1) Menteri Keuangan mengatakan ada indikasi belanja penangan pandemi virus corona bertambah Rp 76,7 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan untuk kebutuhan mendesak seiring dengan peningkatan jumlah kasus virus covid. Meski anggaran bertambah, Bendahara Negara itu menyampaikan hal tersebut tidak akan memperlebar defisit sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) tetang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 yang dipatok 5,7% terhadap produk domestik bruto (PDB). Dana-dana yang banyak dikeluarkan apabila tanpa beradasarkan pada kebijakan yang benar dalam penanganan pandemi maka hanya akan memperpanjang pandemi saja dan kesangsaran rakyat saja. (Kontan.co.id, 28/01/2021)

Dengan demikian di dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini, kenaikan anggaran Covid-19 tidak mengutamakan kesehatan dan juga apabila naik bukanlah jaminan penyelesaian, karena pengeluaran yang lebih besar dikeluarkan negara selalu ditutupi dengan hutang. Besarnya anggaran Covid-19 yang diluncurkan untuk menekan mundur penyebaran Covid-19 cenderung menjadi dasar pemerintah untuk terus meningkatkan hutang.

Penyelesaian yang utuh dalam persoalan Covid-19, tidak akan mampu berdiri sendiri. Demi kemajuan dan kelancaran layanan kesehatan diperlukan pembiayaan. Pembiayaan ini pun tak dapat diperoleh secara tiba-tiba. Apalagi bila mengandalkan pada utang luar negeri. Berbeda halnya penanganan dalam sistem Islam di dalam naungan Khilafah. Khilafah tidak menyandarkan pemasukan negara pada utang luar negeri saja.

Negara perlu memiliki pemasukan yang independen, seperti pemasukan dari pengelolaan sumber daya alam. Dalam Islam, ada pemasukan lain seperti jizyah, kharaj, ghanimah, dan lain-lain. Pengelolaan seperti ini tidak akan diperoleh dalam sistem ekonomi kapitalis. Pemasukan ini hanya dapat dikelola dengan sistem ekonomi Islam.

Kebijakan sistem kesehatan dan sistem ekonomi ini saling berhubungan. Diperlukan sistem pemerintahan yang akan mengatur seluruh subsistem di bawahnya. Tidak mungkin subsistem Islam diatur dengan sistem pemerintahan selain Islam. Maka dari itu, seluruh subsistem tadi menjadi sempurna jika diatur sistem Islam.

Sebagaimana perintah Allah Swt.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Oleh karenanya, jika kita menginginkan solusi yang nyata yang mampu melindungi nyawa rakyatnya, maka kembalikan pengaturan kehidupan ini pada syariat Islam. Di dalam naungan Daulah pemimpin negeri pasti akan serius dan berusaha maksimal dalam menyelesaikan masalah pandemi. Masalah Pandemi pasti akan teratasi karena negara menyikapi masalah dengan tepat dalam penanganan Covid-19 dan ekonomi tidak terpuruk seperti sekarang ini karena SDA di kelola dengan baik.[]

Wallahu’alam Bis Showwab