March 23, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Hukum Syara’ Tentang Melukis

بسم الله الرحمن الرحيم

Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:
Hukum Syara’ Tentang Melukis
Kepada Ahmad AlHashlamon

Soal:

As-Salamu ‘alaikum. Saya Ahmad Wasam al-Hashlamoon, salah seorang syabab Hizbut Tahrir. Saya punya pertanyaan dan ingin jawaban dari Anda: 1. Apa hukum melukis di dalam Islam? 2. Apa hukum melukis bagian dari organ manusia? 3. Apakah melukis itu juga berlaku padanya hukum mengukir (an-nahtu)? Terima kasih.

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Sebelumnya kami telah menjawab secara memadai tentang melukis “at-tashwîr”. Tampaknya Anda belum menelaah jawaban tersebut. Jawaban itu mencakup pertanyaan-pertanyaan yang Anda tanyakan dan masalah-masalah lain pada topik yang sama… Saya ulangi teks jawaban tersebut untuk Anda:

(Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang melukis maka kami tegaskan dua hal berikut:

Pertama, jawaban-jawaban di bawah ini adalah tentang hukum syara’ dalam masalah melukis, yaitu menggambar dengan tangan. Itulah makna yang dinyatakan di dalam hadits-hadits, bukan menggambar dengan alat “kamera”. Yang terakhir ini adalah mubah dan terhadapnya tidak berlaku hadits-hadits tersebut (tentang larangan melukis).

Kedua, jawaban-jawaban di bawah ini adalah tentang lukisan (gambar) datar dan rata yang tidak memiliki bayangan. Jawaban ini dirinci dengan semua cabangnya yang memiliki hubungan dengan pertanyaan.

Ketiga, Sedangkan lukisan yang memiliki bayangan, yaitu patung, yang Anda ungkapkan dengan kata an-nahtu (ukiran), maka itu adalah haram seperti yang dijelaskan di akhir jawaban…

Pertama, jawaban-jawaban pertanyaan tentang melukis yang tidak punya bayangan, yakni lukisan datar dengan berbagai cabangnya:

Terkait dua pertanyaan, yang pertama dan kedua:

  • Mengedit gambar dan memperbaikinya (yaitu menghilangkan kerutan, merubah warna mata dan sebagian karakteristik wajah dsb)
  • Menggambar orang dan hewan yang mirip dengan kenyataannya …

Dua pertanyaan ini berkaitan dengan gambar sesuatu yang memiliki nyawa, atau melakukan perubahan dengan coretan tangan terhadap gambar sesuatu yang bernyawa seperti menghilangkan kerut atau ciri wajah… Aktivitas ini berlaku atasnya pengharaman yang dinyatakan di dalam dalil-dalil, baik itu adalah coretan dengan pencil tangan atau menggunakan mouse pada komputer. Selama itu adalah coretan dengan tenaga manusia meniru sesuatu yang bernyawa maka pengharaman berlaku atasnya. Imam al-Bukhari mengeluarkan dari hadits Ibnu Abbas ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ صَوَّرَ صُورَةً فَإِنَّ اللَّهَ مُعَذِّبُهُ حَتَّى يَنْفُخَ فِيهَا الرُّوحَ وَلَيْسَ بِنَافِخٍ فِيهَا أَبَدًا»

“Siapa saja yang melukis gambar maka Allah akan menyiksanya hingga ia bisa meniupkan ruh di dalam gambar itu, padahal ia selamanya tidak bisa meniupkan ruh”.

Imam al-Bukhari juga mengeluarkan hadits dari jalur Ibn Umar ra., bahwa Rasulullah saw bersabda;

« إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ »

“Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar ini diazab pada Hari Kiamat kelak, dikatakan kepada mereka “hidupkan apa yang kamu ciptakan”.

Terkait dua pertanyaan, pertanyaan ketiga dan keempat:

  • Penggunaan gambar dan foto yang siap dalam bentuk cetakan.
  • Menggunakan gambar, foto atau logo desainer lainnya dari pada menggambar sendiri.

Artinya, mengutipnya dari orang lain tanpa si penanya menggambarnya sendiri, maka terhadap hal itu berlaku hukum mengambil (menggunakan) gambar, dan itu ada tiga jenis:

  1. Jika Anda memindahkannya untuk Anda tempatkan di sesuatu yang digunakan di tempat-tempat ibadah seperti sajadah shalat atau tabir masjid atau poster atau pengumuman untuk masjid dan semisalnya … maka hal itu haram, tidak boleh. Diantara dalil-dalilnya adalah:

Hadits Ibnu Abbas bahwa Rasul saw tidak mau masuk ke Ka’bah hingga gambar yang ada di Ka’bah itu dihapus. Penolakan Rasul saw untuk masuk ke dalam Ka’bah kecuali setelah gambar yang ada dihapus merupakan indikasi (qarinah) yang menunjukkan tarku jâzim (tuntutan meninggalkan secara tegas) atas penempatan gambar di tempat-tempat ibadah. Jadi hadits ini menjadi dalil atas pengharaman gambar di masjid-masjid:

Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Ibnu Abbas ra.:

«أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ يَعْنِي الْكَعْبَةَ لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ »

“Bahwa Nabi saw ketika melihat gambar di rumah yakni di Ka’bah, Beliau tidak masuk ke dalamnya dan memerintahkan agar gambar itu dihapus”.

  1. Adapun jika si penanya memindahkan gambar lukisan dari hasil lukisan orang lain, ia pindah untuk digunakan bukan di tempat-tempat ibadah, maka dalil-dalil yang ada menjelaskan bahwa hal itu boleh, dengan rincian berikut:
  • Disertai ketidaksukaan (karahah) jika pemindahan gambar untuk digunakan di tempat-tempat untuk penghormatan atau penghargaan seperti korden atau papan penunjuk lembaga tsaqafiyah atau baju yang dipakai atau di jubah … atau di sekolah, kantor, pengumuman yang tidak ada kaitannya dengan ibadah, atau tergantung di dalam kamar atau dipakai untuk mempercantik tampilan atau semacam itu … maka semua itu makruh.
  • Mubah jika pemindahan gambar itu untuk digunakan di selain tempat ibadah dan selain tempat-tempat yang dihormati seperti di lantai yang diduduki, di kasur yang ditiduri, di bantal yang disandari atau gambar di tanah yang diinjak atau semacamnya … maka semua itu mubah.

Diantara dalil-dalil untuk itu adalah:

  • Hadits Abu Thalhah dalam riwayat imam Muslim dengan lafazh: aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتاً فِيْهِ كَلْبٌ وَلاَ صُوْرَةٌ»

“Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing, dan tidak pula rumah yang di dalamnya terdapat gambar”.

Dan di dalam riwayat dari jalur lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim bahwa Nabi saw juga bersabda:

«إِلاَّ رَقْماً فِيْ ثَوْبٍ»

“Kecuali gambar di pakaian”.

Ini menunjukkan atas pengecualian gambar yang digambar di pakaian. Mafhumnya adalah bahwa Malaikat memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar di pakaian yaitu gambar yang dilukis.

Ini artinya bahwa gambar rata “gambar di atas pakaian” adalah boleh karena Malaikat memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar rata. Akan tetapi terdapat hadits-hadits lainnya yang menjelaskan jenis kebolehan itu:

  • Hadits Aisyah ra., yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari, ia berkata:

«دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي الْبَيْتِ قِرَامٌ فِيهِ صُوَرٌ فَتَلَوَّنَ وَجْهُهُ ثُمَّ تَنَاوَلَ السِّتْرَ فَهَتَكَهُ»

“Nabi saw masuk menemuiku dan di dalam rumah terdapat Qiram yang ada gambarnya maka Beliau memalingkan wajah dan mengambil kelambu itu dan merobeknya”.

Qiram adalah satu jenis pakaian/kain, dimana ditempatkan sebagai penutup pintu rumah. Nabi saw memalingkan wajah dan menanggalkan tirai itu berkedudukan sebagai tuntutan untuk ditinggalkan (thalab at-tarki) terhadap meletakkan tirai di pintu jika tirai itu ada gambarnya. Jika ini digabungkan dengan kebolehan masuknya Malaikat ke satu rumah yang di dalamnya terdapat gambar di kain, maka itu menunjukkan tuntutan meninggalkan itu tidak bersifat tegas, yaitu makruh. Dan karena tempat gambar itu ada di tirai yang ditempelkan di pintu, dan itu adalah tempat yang dihormati, maka menempatkan gambar di tempat yang dihormati adalah makruh.

  • Hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh imam Ahmad dari perkataan Jibril as kepada Rasul saw:

«وَمُرْ بِالسِّتْرِ يُقْطَعْ فَيُجْعَلَ مِنْهُ وِسَادَتَانِ تُوطَآَنِ»

“Dan perintahkan agar tirai itu dipotong dan dijadikan dua buah bantal untuk di duduki”.

Jibril menyuruh Rasul saw menghilangkan tirai dari tempat yang dihormati dan digunakan menjadi dua buah bantal untuk diduduki. Ini artinya bahwa penggunaan gambar lukisan berasal dari pihak lain digunakan di tempat-tempat yang bukan tempat terhormat (dihormati/penghormatan) adalah mubah.

Terkait dengan dua pertanyaan, pertanyaan kelima dan keenam:

  • Menggambar ikon orang atau hewan (misalnya rambu-rambu jalan seperti “penyeberangan pejalan kaki” atau “pintu keluar saat terjadi kebakaran” atau “dilarang berjalan membawa anjing”).
  • Menggambar anggota tubuh manusia atau hewan (misalnya, gambar jabat tangan atau jari telunjuk atau kepala kuda …sebagai sebuah simbol).

Jawaban atas dua pertanyaan ini adalah:

Jika tanda yang digambar itu menunjukkan gambar sesuatu yang memiliki ruh maka haram. Sebab hadits-hadits tersebut mendeskripsikan pengharaman sesuatu yang bernyawa. Deskripsi tersebut berlaku atas gambar penuh, setengah, kepala yang berhubungan dengan bagian-bagian yang jelas termasuk anggota tubuh seperti dua tangan atau semacamnya.

Adapun jika simbol itu tidak menunjukkan gambar sesuatu yang memiliki nyawa misal gambar tangan saja, atau gambar jari yang menunjuk sesuatu atau gambar dua tangan berjabat tangan atau semacam itu … maka pengharaman itu tidak berlaku terhadapnya.

Sedangkan menggambar kepala saja tanpa bersambung dengan bagian-bagian yang jelas merupakan bagian dari tubuh maka di situ terdapat perbedaan fiqhiyah. Yang saya kuatkan adalah tidak ada pengharaman (menggambar) kepala saja tanpa berhubungan dengan bagian tubuh apapun. Hal itu karena hadits-hadits yang memperbolehkan memotong kepala patung agar tinggal laksana pohon seperti hadits Abu Hurairah yang di dalamnya Jibril as. mengatakan kepada Rasul saw. bahwa patung tidak dinilai haram jika dipotong kepalanya …

«فَمَرَّ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِيْ فِيْ بَابِ الْبَيْتِ فَلْيَقْطَعُ لِيَصِيْرَ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ»

“Lalu Rasul melewati kepala patung yang ada di pintu Ka’bah maka Rasul memotongnya supaya menjadi seperti sebatang pohon” (HR Ahmad).

«… فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ يُقْطَعْ فَيُصَيَّرَ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ…»

“… maka perintahkan kepala patung agar dipotong sehigga menjadi seperti bentuk pohon” (HR Ahmad).

Hadits ini artinya bahwa kepala saja dan bagian patung lainnya saja, masing-masingnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan bahwa ketidakharaman itu adalah untuk tubuh patung yang dipotong kepalanya, sedangkan kepala yang dipotong maka haram. Tidak bisa dikatakan demikian, sebab perintah Jibril kepada Rasul saw untuk memotong kepala patung berarti bahwa pemotongan itu boleh. Dan berikutnya maka implikasi (akibat) dari pemotongan itu adalah boleh.

Perlu diketahui bahwa mazhab hanbalilah dan malikiyah memperbolehkan kepala saja. Sedangkan syafi’iyah maka ada perbedaan pendapat diantara mereka … Mayoritas fukaha syafi’iyah berpendapat mengharamkan kepala saja, sedangkan yang lainnya memperbolehkannya.

Adapun dua pertanyaan terakhir, pertanyaan ketujuh dan kedelapan:

  • Menggambar foto seseorang atau hewan yang tidak mirip dengan kenyataan (yakni berupa gambar karikatur).
  • Menggambar karakter dongeng yang tidak ada dalam tataran kenyataan.

Maka jawabnya adalah bahwa gambar ini, selama menunjukkan sebagai makhluk yang memiliki ruh (nyawa), hingga sekalipun tidak mirip dengan kenyataan, maka adalah haram karena nas-nas sesuai berlaku terhadapnya. Rasul saw dalam hadits yang dikeluarkan oleh imam Muslim, beliau memerintahkan Aisyah ra., untuk menanggalkan tirai yang tergantung di pintu karena terdapat gambar kuda betina yang memiliki sayap dan tentu saja dalam kenyataan tidak ada kuda yang memiliki sayap. Imam Muslim mengeluarkan hadits dari Aisyah ra., ia berkata:

«قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَّرْتُ عَلَى بَابِي دُرْنُوكًا فِيهِ الْخَيْلُ ذَوَاتُ الْأَجْنِحَةِ فَأَمَرَنِي فَنَزَعْتُه»

“Rasulullah saw datang dari sebuah perjalanan, dan aku telah menutupkan di pintuku durnuk –satu jenis pakaian/kain- bergambar kuda yang memiliki sayap, maka Rasul menyuruhku dan aku tanggalkan”.

Saya ulangi apa yang saya katakan di bagian awal pertanyaan bahwa lukisan yang haram adalah lukisan yang bukan untuk anak-anak. Sedangkan jika untuk anak-anak seperti gambar karikatur untuk anak-anak atau gambar imajinativ untuk anak-anak, atau di dalam rangka mengalihkan perhatian mereka, menghibur atau mendidik mereka … Semua itu boleh sesuai dengan dalil-dalil yang ada dalam hal itu, diantaranya:

Abu Dawud mengeluarkan hadits dari Aisyah ra., ia berkata:

«قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ قَالَتْ بَنَاتِي »

Rasulullah datang dari perang Tabuk atau Khaybar dan di rak Aisyah terdapat tirai lalu angin bertiup sehingga menyingkap tirai itu dan terlihat salah satu boneka dalam bentuk anak perempuan milik Aisyah untuk mainan maka Rasul bertanya : “apa ini wahai Aisyah?” Aisyah menjawab: “anak perempuanku”.

Ad-Durnuk adalah satu jenis pakaian.

Kedua: jawaban gambar yang memiliki bayangan: yakni patung (an-nahtu-ukiran):

Patung-patung yang memiliki ruh adalah haram, dikecualikan mainan anak-anak. Diantara dalil-dalil hal itu adalah sebagai berikut:

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ: إِنِّيْ كُنْتُ أَتَيْتُكَ اللَّيْلَةَ فَلَمْ يَمْنَعُنِيْ أَنْ أَدْخُلَ عَلَيْكَ الْبَيْتَ الَّذِيْ أَنْتَ فِيْهِ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ فِيْ الْبَيْتِ تِمْثَالُ رَجُلٍ… فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ يُقْطَعْ فَيُصَيِّرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ… فَفَعِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

“Jibril mendatangiku dan berkata: “aku tadi malam datang kepadamu, tidak menghalangiku untuk masuk rumah di mana engkau berada kecuali di dalam rumah itu ada patung seorang laki-laki… maka suruhkan agar kepala patung itu dipotong sehingga menjadi seperti sebatang pohon… maka Rasulullah pun melakukannya”.

– Dan dari Ibnu Abbas ra., dan seorang laki-laki datang kepadanya lalu dia berkata: “aku melukis gambar ini dan aku membuat patung ini, maka berilah fatwa kepadaku tentangnya.” Maka Ibnu Abbas bekata: “mendekatlah kepadaku!” Maka laki-laki itu pun mendekat sampai Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepala laki-laki itu. Lalu Ibnu Abbas berkata: “saya beritahukan apa yang aku dengar dari Rasulullah saw, aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«كُلُّ مُصَوِّرٍ فِيْ النَّارِ، يُجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسٌ تُعَذِّبُهُ فِيْ جَهَنَّمَ، فَإِنْ كُنْتَ لاَ بُدَ فَاعِلاً فَاجْعَلِ الشَّجَرَ وَمَا لاَ نَفْسً لَهُ»

“Setiap pelukis di neraka, dijadikan untuknya dengan setiap lukisan yang dia lukis jiwa yang menyiksanya di Jahannam. Dan jika engkau harus melukis maka buatlah pohon dan apa yang tidak punya jiwa”.

At-tashwîr (melukis) adalah menggambar gambar sesuatu. Dan bagian dari tashwîr adalah membuat patung dan juga mencakup an-nahtu (ukiran). Lukisan itu sendiri atau patung adalah ash-shûrah (lukisan), bentuk jamaknya shuwar, dan juga dikatakan dalam bahasa tashâwîr, dan itu mencakup tamâtsîl (patung-patung).

– Diriwayatkan bahwa Nabi saw mengirim Ali dalam sebuah sariyah (detasemen), Beliau bersabda kepada Ali:

«لاَ تَذَرْ تِمْثَالاً إِلاَّ هَدَمْتَهُ…» رواه مسلم

“Jangan engkau biarkan patung kecuali engkau hancurkan…” (HR Muslim).

Begitulah, semua lukisan makhluk yang punya nyawa baik lukisan yang memiliki bayangan yakni “patung” atau lukisan yang tidak punya bayangan yakni gambar adalah haram.

Dikecualikan dari gambar yang haram itu jika gambar tersebut untuk anak-anak seperti gambar karikatur untuk anak-anak atau gambar imajinatif untuk anak-anak, atau dalam rangka membuat anak-anak itu lupa dan menghibur atau dalam rangka mengajar mereka… semua ini adalah boleh karena dalil-dalil yang dinyatakan dalam hal itu, diantaranya:

Abu Dawud telah mengeluarkan dari Aisyah ra, ia berkata:

«قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ قَالَتْ بَنَاتِي…»

“Rasulullah saw datang dari perang Tabuk atau Khaybar dan di laci Aisyah ada tirai, lalu angin berhembus dan menyingkap tirai itu dari satu sisi menampakkan boneka anak perempuan milik Aisyah untuk mainan, maka Rasul bersabda: “apa ini ya Aisyah?” Aisyah menjawab: “anak perempuanku…”

Dan hadits Ar-Rubayi’ binti Mu’awidz al-Anshariyah ra., yang dikeluarkan oleh imam al-Bukhari:

«…وَنَجْعَلُ – وفي رواية مسلم ونصنع – لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ»

… dan kami jadikan – di dalam riwayat Muslim: “dan kami buatkan” – untuk mereka (anak-anak) mainan dari kain wool, jika salah seorang dari mereka menangis karena ingin makanan maka kami beri ia mainan itu sampai tiba saat berbuka”.

Semua hadits-hadits ini memperbolehkan mainan anak-anak hingga meskipun dalam bentuk makhluk bernyawa. Dengan demikian boneka itu boleh dan lebih utama lagi lukisan dalam bentuk lukisan datar (dua dimensi), apapun bentuknya (jika untuk mainan anak-anak). Selesai.

Saya berharap Anda temukan di dalam jawaban ini, jawaban pertanyaan Anda di samping aspek-aspek lainnya yang berhubungan.

Saudaramu

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

20 Jumaduts Tsaniyah 1438 H
19 Maret 2017 M