July 22, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

EVALUASI KEBIJAKAN PPKM


Oleh : Abu Yasna (Intelektual Muslim)

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM sudah diberlakukan kurang lebih tiga minggu. Kebijakan ini dianggap belum membawa perubahan dalam menekan laju penyebaran virus corona. Pertambahan kasus positif Covid-19 dan kematian harian terus meningkat. Fasilitas kesehatan dan rumah sakit rujukan nyaris penuh. Tenaga kesehatan pun banyak yang berguguran.

Banyak pengamat meminta pemerintah agar melakukan evaluasi kebijakan tersebut. Diantaranya adalah Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu mengatakan setelah sepekan penerapan PPKM darurat, pemerintah harus berani mengevaluasi kebijakan tersebut.
Sedangkan untuk mengukur efektivitas PPKM darurat bisa dilihat dari angka positivity rate dan jumlah keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR). Positivity rate alias rasio kasus adalah persentase dari jumlah orang yang dinyatakan positif dibagi jumlah orang yang diperiksa kemudian dikali 100 persen. (CNNIndonesia.com, 9/7/2021)

Data Satuan Tugas (Satgas) Covid-19, positivity rate Indonesia sejak sebelum diterapkan PPKM Darurat sampai saat ini masih menunjukan persentase yang tinggi. Pada 2 April, positivity rate Indonesia mencapai 43,79 persen. Lalu pada hari pertama PPKM darurat 3 Juli, positivity rate mengalami penurunan menjadi 36,69 persen.
Namun, satu hari berikutnya, positivity rate Indonesia kembali melambung menjadi 44,61 persen. Sejak saat itu positivity rate Indonesia konsisten di atas 30 persen. Terbaru, pada 8 Juli, positivity rate mencapai 40,02 persen. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas positivity rate 5 persen.

Sementara itu, BOR di sejumlah daerah di Indonesia rerata di atas 60 persen. Kalimantan Barat misalnya, BOR isolasi mencapai 68,09 persen. Lalu BOR ICU 82,48 persen. Di Lampung, BOR isolasi mencapai 77,91 persen dan ICU 73,43 persen.

Kebocoran juga terjadi pada kebijakan PPKM ini. kebocoran tersebut yaitu dengan menambah kapasitas tempat tidur di RS atau menambah tempat isolasi dengan alih fungsi bangunan, padahal hal ini tidak menyentuh akar permasalahan, malah menambah masalah baru. Karena pasien dan orang terpapar terus bertambah lebih cepat dan banyak dibandingkan kemampuan penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan. Apalagi jika dikaitkan penambahan fasilitas dengan penambahan SDM yang tidak bisa dilakukan dengan cepat.

Sedangkan menurut Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman menyebut pelaksanaan PPKM Darurat selama ini masih belum berhasil mengatasi pandemi virus Corona (COVID-19). Dicky menyampaikan beberapa perkembangan data pertumbuhan kasus Corona hingga jumlah testing selama PPKM darurat. Selain itu, data kematian pun menunjukkan peningkatan. Hitungan data kematian adalah per satu juta penduduk.

Data kematian mengalami peningkatan per satu juta dari 3 Juli, 219 kematian per 1 juta dikaitkan dengan COVID, meningkat dengan 236 kematian per satu juta penduduk. Sedangkan terkait testing, memang ada upaya dari pemerintah untuk menaikkan tes per 100 orang. Namun, hal ini belum berarti karena jika dikaitkan dengan positivity rate nya pada 3 Juli 24,1% dan per 9 Juli 26,6%, menandakan belum memadainya tes dan belum bisa menjangkau untuk menemukan kasus-kasus infeksi. (news.detik.com, 11/7/2021)

Namun alih-alih untuk mengevaluasi kebijkan PPKM ini justru Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, berencana melakukan perpanjangan masa PPKM. Meskipun dengan adanya perpanjangan PPKM Darurat ini, akan ada beberapa risiko. Di antaranya terkait bantuan sosial atau bansos. (news.detik.com, 16/9/2021).

Bahkan khusus untuk bansos, pemerintah mengakui tidak bisa memikulnya sendiri. Perlu semua pihak saling gotong royong. Termasuk pihak universitas juga diminta untuk membantu. Pemerintah juga ingin agar masyarakat bisa memupuk kesadaran untuk saling jaga dan membantu sesama. Di sisi lain justru negara banyak menghabiskan anggaran yang tidak efektif di dalam menangani wabah pandemi ini.

Sebenarnya rakyat tidak butuh perubahan istilah maupun perpanjangan PPKM. Rakyat memerlukan kebijakan tegas dan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan pokok yang mendasar.

Di dalam Islam, negara dalam hal ini adalah penguasa punya tanggung jawab yang besar di dalam mengurusi urusan rakyat. Negara juga wajib menyediakan alokasi anggaran untuk menghadapi bencana, bisa dari zakat, kekayaan milik umum, maupun yang lain. Dengan begitu, negara bisa bertindak cepat, tanpa harus menunggu uluran tangan masyarakat. Kebijakan ini tidak saja didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga oleh nash syariah. Yaitu kewajiban negara memenuhi kebutuhan mendasar bagi rakyat.

Kebijakan ketika pandemi adalah dengan memberlakukan lockdown, dan menjaga ketat aktivitas rakyat. Namun negara juga wajib memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Penyediaan kebutuhan warga sebenarnya sangat sederhana, seberapa besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Misalkan dihitung 2 juta per keluarga per bulan. Jika ada 100 juta kepala keluarga, maka perbulan dana yang diperlukan adalah sebesar 200 T (simulasi ini untuk memudahkan perhitungan), dan untuk 3 bulan memerlukan dana 600 T.

Sedangkan untuk kesehatan berdasarkan data dari Kemenkeu yang dibutuhkan sekitar 200 T. Anggaran ini digunakan untuk membiayai diagnostik untuk testing dan tracing, therapeutic untuk biaya perawatan pasien, insentif tenaga kesehatan, santunan kematian, dan pembelian berbagai obat dan alat pelindung diri (APD). Dan ini juga sudah cukup untuk pengadaan 53,9 juta dosis vaksin dan bantuan untuk iuran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) untuk 19,15 juta orang. Termasuk insentif untuk perpajakan bagi sektor kesehatan.
Maka total dibutuhkan dana 1200 T selama 3 bulan. Ini cukup untuk melakukan lockdown dan menjamin kebutuhan rakyat. Bandingkan selama 2 tahun ini sudah berapa banyak yang dianggarkan tetapi tidak menunjukkan adanya perubahan. Pada tahun 2020 saja total dana yang digunakan untuk penanggulangan Corona sebesar 800 T (CNNIndonesia, 29/9/2020). Sayangnya dana sebesar itu juga untuk penanganan perekonomian. Dan kemungkinan tahun 2021 masih di angka yang sama.

Pemberlakuan lockdown dapat dilakukan pada pasien atau wilayah. Isolasi total kepada pasien yang terdampak dan isolasi wilayah apabila sudah terlalu meluas. Pelaksanaan contoh kedua kebijakan ini sudah dilakukan oleh Korea Selatan yang segera mengisolasi orang sakit secara total, sehingga yang sehat tetap beraktivitas. Sedangkan China memberlakukan lockdown total di Wuhan, sehingga saat ini sudah bisa kembali beraktivitas normal dengan tingkat kematian karena virus masih ada tetapi cukup rendah. Ini hanya sekedar contoh meskipun tidak menutup kemungkinan musibah akan datang kembali.

Oleh karena itu, melakukan tes massal, mengisolasi total, dan memberlakukan lockdown wilayah yang sudah terpapar parah adalah hal yang harus dilakukan berdasarkan pertimbangan syariah dan rasional. Memberikan kesempatan bagi yang sehat tetap beraktivitas, wilayah yang aman tetap meningkatkan produktivitas dan membantu wilayah yang terdampak, serta negara menanggung bagi wilayah dan pasien yang di isolasi, dan ini cukup mengefektifkan dana yang diperlukan. Hal ini akan dapat dicapai apabila negara memiliki kesadaran dan kebijakan politik yang berasaskan kepada syariah bukan asas manfaat.[]

Wallahu’alam BIsshowwab