July 20, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Disintegrasi, Mungkinkah Solusi Hakiki?

Oleh: Intan H.A (Pegiat Literasi Tangerang)

Tepat pada tanggal 1 Desember 2020, publik dibuat heboh dengan pernyataan yang disampaikan oleh Benny Wenda, pimpinan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Ia mengumumkan pendeklarasian pemerintahan sementara atas Papua Barat. Hal ini disampaikannya di akun Twitternya, selasa (1/12/2020). Benny Wenda memanfaatkan momen 1 Desember, yang diklaim Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebagai hari kemerdekaan Papua.

Dikutip dari detiknews.com (3/12), Benny Wenda bercuit, “Today, we announce the formation of our Provisional Government of #WestPapua. From today, December 1, 2020, we begin implementing our own constitution and reclaiming our sovereign land,” tulis Benny Wenda seperti dilihat pada Rabu (2/12). (detiknews.com, 3/12/2020)

Atas deklarasi Benny Wenda tersebut, pemerintah angkat bicara. Penjelasan pemerintah disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (3/12/2020).

“Menghadapi kasus Wenda yang pertama, dia telah mengajak melakukan makar, bahkan juga tadi MPR menyebut sudah mempunyai niat dan sudah melakukan makar dan pemerintah menanggapi dengan meminta Polri melakukan penegakan hukum,” kata Mahfud MD. (Tribunnews.com, 4/12/2020)

Gaung disintegrasi tiada henti-hentinya berbunyi nyaring di tanah yang terkenal akan sumber daya alamnya yang melimpah ini. Sayangnya, SDA yang melimpah ruah tidak mampu menjamin rakyatnya bisa hidup berkecukupan. Hal inilah yang memicu rakyat Papua gerah  hidup di bawah bayang-bayang pemerintah Indonesia.

Belum hilang diingatan kita akan kejadian 21 tahun silam, saat Timor Timur resmi berpisah dari Indonesia. Pada bulan Oktober 1999, Presiden RI Habibie yang menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) resmi menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET atas pemerintahan transisi di Timor Timur. Sejak saat itu, bendera merah putih pun diturunkan dan Timor Timur resmi keluar dari Indonesia.

Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste dengan sokongan luar biasa dari PBB. Latar belakang Timor Timur lepas dari Indonesia salah satunya, yakni ingin mewujudkan negara yang berdaulat. Namun pada faktanya, sampai detik ini kesejahteraan yang didamba belum jua dirasakan oleh mereka.

Laporan resmi Bank Dunia tahun 2020, menyebutkan pertumbuhan ekonomi Timor Timur masih lambat dibanding negara-negara Asia Tenggara. Negara berjuluk ‘Bumi Lorosae’ ini masih menjadi salah satu negara paling miskin di dunia. Timor Leste kini masih menjadi salah satu negara paling miskin di dunia. Kondisi tersebut masih dimiliki Timor Leste setelah 21 tahun merdeka dan membentuk negara bernama resmi Republik Demokratik Timor Leste.

Dikutip dari  Kompas.com (3/9) yang melansir laman Heritage, skor kebebasan ekonomi Timor-Leste adalah 45,9. Hal ini menjadikan Timor Leste menduduki peringkat ke-171 negara di dunia dalam indeks 2020. Sungguh pencapaian yang memilukan. Di balik kekayaan alamnya yang melimpah ruah, ternyata Timor Timur tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Bahkan ia menduduki peringkat sebagai negara termiskin di dunia.

Maka perlu dipertanyakan, mungkinkah ketika Papua lepas dari Indonesia, akan merasakan nasib yang sama dengan apa yang dirasakan Timor Timur saat ini? Itulah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Sehingga, rakyat Papua tidak bertubi-tubi menjadi korban ketamakan dan kelalaian para penguasa.

Dilema Papua, Urusan Kita Bersama

Permasalahan yang menimpa Papua saat ini, tidak terlepas dari peran negara yang terkesan abai dalam mengelola SDA di bumi Cenderawasih ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Papua merupakan salah satu provinsi negara Indonesia yang memiliki luas wilayah yang besar. Selain wilayahnya yang besar, bumi Papua juga merupakan salah satu provinsi yang memiliki sumber daya alam melimpah ruah. Tidak hanya hutan yang begitu lebat namun juga kekayaan bahari yang sangat melimpah dan juga indah. Terlepas dari itu pula bumi Papua merupakan tambang emas, karena kandungan berbagai tambang yang sangat melimpah seolah tidak akan pernah habis.

Nasib yang dialami rakyat Papua tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan rakyat Timor Timur. Mereka hidup di tanah yang mengandung SDA yang melimpah, tapi rakyatnya jauh dari kata sejahtera. Penerapan sistem kapitalisme-liberal yang diadopsi dari negeri Barat ke negeri-negeri kaum muslimin,  menjadikan para penguasa negeri abai terhadap tugasnya dan lebih memilih menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta asing.

Hitung saja sudah berapa banyak kekayaan alam yang dikeruk oleh PT. Freeport di tanah Papua. Sehingga rakyat Papua hidup menderita. Akan tetapi,  negara seakan membiarkan bahkan mengizinkan hal tersebut dilakukan. Padahal, jika kekayaan alam ini dikelola oleh negara dengan benar, maka akan mampu mensejahterakan rakyat Papua dan penduduk Indonesia lainnya.

Betapa buruknya pengelolaan sumber daya alam di bawah sistem rusak ini. Sehingga, karena kezaliman penguasa maupun ketidakadilan yang dirasakan para penduduk di wilayah yang merasa terugikan, mereka lebih memilih untuk memisahkan diri demi tercapainya hidup yang berdaulat dan sejahtera. Namun sayangnya, hal tersebut tidak akan mampu terwujud. Sebab, ketika sebuah wilayah terpisah menjadi bagian yang kecil, maka semakin mudah untuk para penjajah menjarah kekayaan alam mereka. Sebagaimana yang saat ini terjadi di Timor Leste.

Inilah dampak buruk tatkala tata kelola tidak lagi berpatokan pada hukum-hukum Allah SWT. Sifat manusia yang lemah dan terbatas, telah terbukti gagal mewujudkan kehidupan sebagaimana mestinya dengan aturan hidup yang ia ciptakan sendiri. Ketika hal tersebut dipaksakan hanya akan melahirkan problema baru yang terus menghimpit kehidupan seperti sekarang ini.

Peran Negara Dalam Mempertahankan Keutuhan Wilayah

Peradaban Islam telah memberikan contoh yang luar biasa dalam menjaga kesatuan dan persatuan wilayahnya. Di dalam Islam tidak mengenal kasta, meski mereka berbeda suku, bangsa, dan bahasa, semuanya disatukan oleh satu ikatan yang kokoh, yakni akidah Islam. Mereka hidup berabad-abad lamanya dalam satu negara yang dipimpin oleh seorang Khalifah.

Persatuan dan kesatuan negara dijaga oleh Islam, antara lain dengan ditetapkannya larangan makar (bughat) untuk memisahkan diri dari Daulah keKhilafahan. Islam memandang bahwa masalah separatisme atau upaya pemisahan diri dari negara kaum muslim dianggap sebagai dosa besar. Sehingga ketika ada orang yang melakuakan makar, maka sang Khalifah akan mengambil tindakan tegas. Sanksi yang diberikan jika hal tersebut dilakukan oleh rakyat yang berada dalam wilayah Daulah Khilafah adalah dengan diperangi.

Namun, bukan berarti diperangi untuk dihabisi, akan tetapi perang dalam konteks ini hanya sebatas sebagi efek jera dalam rangka memberikan pelajaran (qital ta’dib). Adapun sanksi yang diberikan kepada orang-orang non muslim yang melakukan bughot, Khilafah akan memerintahkan  untuk melakukan jihad kepada mereka, yakni diperangi untuk dihabisi (qital harb).

Hukum memerangi mereka statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena kelompok yang diperangi adalah orang-orang kafir, meski awalnya mereka ahli dzimmah. Dengan tindakan mereka ini, otomatis mereka kehilangan dzimmahnya dari negara Khilafah. Dengan kata lain, masalah separatisme ini merupakan qadhiyah mashiriyyah (persoalan utama) yang bisa diselesaikan dengan taruhan hidup dan mati.

Meski demikian, Islam juga mengajarkan bahwa sebelum melakukan tindakan dengan pendekatan militer, maka Khalifah akan melakukan pendekatan politik terlebih dahulu, yakni membongkar rencana jahat kaum kafir terhadap penduduk setempat dan mempropagandakan bahasa separatisme kepada mereka. Inilah cara Islam dalam menjaga keutuhan wilayah.

Di samping itu, kecakapan sang Khalifah dalam mengelola SDA pun menjadi faktor pemersatu mereka. Islam mengatur bahwa kepemilikan umum adalah seluruh kekayaan yang telah Allah tetapkan kepemilikannya bagi kaum muslim. Walhasil, kekayaan tersebut menjadi milik bersama bagi kaum muslim. Individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang untuk memilikinya secara pribadi.

Rasulullah SAW, bersabda: “Kaum muslim sama-sama berserikat pada tiga perkara, padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Oleh sebab itu, negara tidak akan membiarkan sumber daya alam dimiliki oleh kelompok tertentu untuk dikuasai. Kekayaan alam yang berlimpah baik yang terkandung di dalam hutan maupun  tersimpan di dalam perut bumi, seperti minyak bumi, gas alam dan sebagainya, merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum muslimin. Maka Khalifah selaku pemimpin negara akan mendistribusikan harta tersebut kepada kaum muslim demi kemaslahatan Islam dan rakyatnya. Dengan demikian, selama 14 abad lamanya, Daulah Khilafah berhasil menyatukan bangsa-bangsa yang heterogen dalam satu kepemimpinan. Pencapaian ini belum pernah terjadi dalam sejarah bangsa dan negara manapun di muka bumi. Wallahu a’lam. []