April 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Simpul Khilafah dan Istana Kadriah (1)

Oleh : Sri Suarni, A.Md

Pendahuluan

Terletak di pinggir sungai Kapuas, kesultanan Kadriah membawa pengaruh agama yang  kental. Adanya kaidah jika sultan memeluk Islam, maka Islam lah seluruh rakyatnya, pentingnya kedudukan sultan di tengah masyarakat juga membuat kaidah tersebut berlaku di tanah Borneo, menjadikan masyarakat di sekitar kesultanan berada, mayoritas beragama Islam.

Keraton Kadriah merupakan salah satu bentuk peradaban Islam di Pontianak. Sejak berdiri kesultanan Pontianak telah memiliki ikatan kuat dengan kesultanan Banjar dan Kesultanan lain di Nusantara. Keraton Kadriah menjadi peradaban pertama yang melambangkan bahwa Islam sudah berkembang di Pontianak.

Didirikan pada 23 Oktober 1771 bersamaan 12 Rajab 1185, Kesultanan Pontianak merupakan satu-satunya kesultanan termuda di kawasan Kalimantan Barat, dibandingkan kesultanan lain di Nusantara. Karena tidak ada kesultanan lainnya, yang berdiri pada periode/tarikh yang sama dengan atau lebih akhir dari kesultanan Pontianak. Selain terakhir, keberlangsungannya pun relatif singkat, yakni 179 rahun, dan hanya di perintah oleh 8 (delapan) generasi sultan dari dinasti Al-Qadrie, sejak kelahirannya tahun 1771 sampai dengan Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945.

Bicara sejarah di negeri Borneo tak lepas dari sejarah agama Islam di Nusantara, demikian juga mustahil rasanya mengenal dan memeluk agama Islam, tanpa adanya aktifitas dakwah yang diemban oleh Khilafah. Karena tugas Khilafah adalah mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, dan Nusantara bagian dari target dakwah tersebut.

Kesultanan Pontianak dikenal dengan nama Kesultanan Qadriah, karena ia didirikan oleh dinasti Al-Qadrie. Pendiri kesultanan ini adalah Syarif Abdurrahman Al-Qadrie, putera Sayyed Hussein Al-Qadrie, atau Habib Hussein Al-Qadrie. Kesultanan ini pada khususnya dan kesultanan-kesultanan lainnya di kawasan Kalbar tidak dapat dipisahkan dari dua figur tersebut. Menurut catatan sejarah  Habib Hussein bin Habib Ahmad Al-Qadrie dilahirkan dan berasal dari kota kecil bernama Trim, Hadralmaut, yang sekarang dikenal dengan Yaman Selatan pada tahun 1706 yang merupakan wilayah bagian dari Khilafah Turki Utsmaniyah.

Perjalanan Dakwah Habib Hussein

Habib Hussein dibesarkan dan dididik orang tuanya dengan berlandaskan Islam sampai berumur 18 tahun. Ia melanjutkan memperdalam tidak saja ilmu Islam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, dari gurunya Sayyid Muhammad Hamid di Kulandi, Al-Mukalla, salah satu kota besar di Yaman Selatan, selama lebih dari empat tahun, sehingga ia memiliki pengetahuan agama dan pengetahuan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam. Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan, dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampai ke Kalkuta dan di pantai Barat Afrika. (Kalbariana.web.id, 22/2/2012)

Dari pengalamannya tersebut, Hussein muda terdorong untuk menambah pengalamannya dengan berlayar lebih jauh lagi ke negeri Timur dimana terdapat banyak kerajaan Islam. Keinginannya itu diperkuat oleh 3 (tiga) orang rekan satu perguruan yaitu Sayid Abubakar Alaydrus, Sayid Umar Assegaf dan Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Qudsi. (Kalbariana.web.id, 22/2/2012)

Keinginan mereka untuk melakukan perjalanan bukan saja untuk berdagang sepanjang pelayaran yang dapat digunakan untuk biaya perantauan mereka. Namun, terlebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam (ukhuwah Islamiyah) dengan menjadi mubalig dan penyebar agama Islam.

Setelah hampir satu tahun berlayar, sampailah mereka di Aceh dan bermukim di daerah ini hampir satu tahun. Berdasarkan kesepakatan mereka, Sayid Abu Bakar Al-aydrus tetap tinggal di Aceh sampai akhir hayatnya, sebagai guru agama, imam besar dan diberi gelar Tuan Besar Aceh. Sayid Umar Bachsan As-segaf meneruskan perjalanan ke Kesultanan Siak dan menetap di sana sampai ia wafat, juga diangkat sebagai seorang ulama ulung dan mendapat gelar Tuan Besar Siak. Sayid Muhammad Ibnu Ahmad Al-Qudsi melanjutkan perjalanan ke kawasan Semenanjung Malaka dan akhirnya menetap di Kesultanan Trengganu sampai akhir hayatnya, diberi gelar Datuk Marang. (Kalbariana.web.id, 22/2/2012)

Sesuai dengan petunjuk gurunya agar ia mencari tempat pemukiman di sebelah timur negeri yang subur penuh dengan pepohonan menghijau, Hussein Al-Qadrie meninggalkan Aceh menyelusuri Pantai Timur Sumatera melalui beberapa kerajaan Islam yang didengarnya dari para pedagang lainnya. Kerajaan dimaksud adalah kesultanan Islam di Semenanjung Malaka, Siak, Riau, Palembang, Banten, Cirebon, Demak, Mataram dan di Jawa Timur, serta negeri Betawi atau Batavia yang menjadi pusat perdagangan VOC. (Kalbariana.web.id, 22/2/2012)

Akhirnya ia sampai di Betawi dan berada di sana lebih dari 7 (tujuh) bulan untuk melakukan syiar Islam bersama dengan para sayyid, pedagang yang berada di situ. Selama di Batavia Habib Hussein sering mengikuti pelayaran pulang pergi ke Cirebon, Pekalongan dan Semarang. Ia menyaksikan perkembangan Agama Islam di kawasan pantai utara Pulau Jawa, lalu memutuskan untuk menetap di Semarang bersama dengan Syech Salam Hambal — seorang pedagang dan ulama yang mengajaknya menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk setempat. (Kalbariana.web.id, 22/2/2012)

Wallahu’alam

Bersambung Bagian kedua