April 19, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

UU TPKS: Kado Manis Atau Racun Berbalut Madu?

Oleh: Ummu Nabila (Komunitas Revowriter)

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya menemukan titik final setelah diketok palu menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pengesahan UU TPKS dilakukan pada Rapat Paripurna DPR ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2021-2022 pada 12 April 2022 yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani.

Sahnya UU TPKS disambut riuh gembira banyak pihak terutama kaum hawa. Hal ini dikarenakan kaum perempuanlah yang paling sering menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual. Namun, akankah UU TPKS menjadi kado manis bagi terlindunginya harga diri dan kehormatan perempuan? Atau justru racun berbalut madu.

Perjalanan Panjang RUU TPKS

Dikutip dari Kompas.com, RUU TPKS pertama kali disuarakan oleh Komnas Perempuan pada 2012. RUU TPKS pada awalnya bernama RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). RUU ini pertama kali dibahas di DPR pada Rabu (25/5/2016) silam.

RUU TPKS saat masih bernama RUU PKS beberapa kali keluar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR. Namun, RUU ini mengalami maju mundur di Prolegnas sejak 2016.

Pada Juni 2016, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan RUU PKS bersama 9 RUU lain ke Prolegnas Prioritas. RUU kemudian sempat pula disahkan di Badan Legislasi (Baleg) DPR agar dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai usul inisiatif DPR pada Januari 2017.

Selanjutnya pada 6 April 2017, RUU PKS disepakati sebagai inisiatif DPR dan dibahas pada rapat paripurna. Saat itu, disepakati bahwa RUU ini akan dibahas oleh panitia khusus Komisi III. Akan tetapi, akhirnya diputuskan bahwa RUU akan dibahas oleh Komisi VIII.

Pembahasan RUU ini kemudian berjalan pada 2018. Pada awal 2019, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyebut bahwa RUU PKS akan diselesaikan sebelum berganti periode. Namun setelah itu, pada Juli 2020, RUU PKS justru ditarik dari Prolegnas Prioritas Baleg DPR dimana Baleg memutuskan hal ini karena menilai pembahasan RUU sulit dilakukan.

Pada 2021 kemudian RUU PKS kembali masuk daftar Prolegnas Prioritas 2021 yang disepakati oleh Menkumham Yasonna Laoly. RUU PKS kemudian berganti nama menjadi RUU TPKS pada Agustus 2021. RUU TPKS seanjutnya masuk Prolegnas Prioritas 2022 pada Senin 6 Desember 2021. Pada akhirnya disahkan jadi UU pada 2022.

Sekilas, UU ini memang menjadi kado manis ditengah kenyataan pahit kekerasan seksual yang menyasar kaum perempuan. Kasus pemerkosaan dan pencabulan dalam lima tahun terakhir selama 2016 sampai 2021, meningkat mencapai 31%. Tahun 2021, kasus perkosaan terhadap perempuan mendominasi hingga 25% dari total kasus (katadata.co.id, 15/12/2021).

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) Kementerian PPPA, sepanjang periode Januari hingga 21 Februari 2022, ada 1411 kasus kekerasan terhadap perempuan. Artinya, di awal tahun saja sudah lebih dari 1000 kasus (kompas.tv, 08/03/2022).

Permasalahan ini tentu saja memerlukan solusi yang cepat dan tepat. Akan tetapi mampukah UU TPKS menjadi obatnya?. Setidaknya ada beberapa poin yang perlu dikritisi karena berpotensi menimbulkan persoalan baru.

Pertama, UU TPKS ini tidak menyinggung hubungan perzinaan yang sering kali menjadi pemicu kekerasan seksual pada perempuan. Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa perbuatan-perbuatan termasuk kekerasan seksual ketika bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan ia tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.

Kata persetujuan mengindikasi bahwa jika ada persetujuan, tidak termasuk kekerasan seksual. Kata persetujuan menggantikan kata sexual consent yang sebelumnya tercantum dalam RUU TPKS. Sexual consent akhirnya dihapus setelah menuai kontra banyak pihak. Namun, kata persetujuan tetap menyiratkan bahwa hubungan di luar nikah yang didasarkan kerelaan kedua belah pihak, tidak akan dijerat oleh UU ini.

Implikasinya sangat berbahaya karena hubungan bebas tetap diberi ruang. Persetujuan dijadikan standar kebolehan dalam melakukan hubungan yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan sah dalam ikatan pernikahan.

Agama tidak ditempatkan sebagai standar dalam mengatur interaksi laki-laki dan perempuan. Padahal, angka aborsi, hamil diluar nikah hingga bunuh diri akibat persoalan cinta sangat fantastis dan lebih mencengangkan lagi kebanyakan pelakunya adalah generasi muda.

Seperti kasus yang menimpa Novia Widyasari, yang melakukan aborsi hingga dua kali. Hubungan terlarang atas dasar suka sama suka, berakhir tragis. Novia bunuh diri karena diduga depresi akibat tekanan dari pacarnya untuk kembali melakukan aborsi.

Kedua, UU TPKS ini sangat kental dengan ruh feminisme. Di pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender menjadi penyebab dari kekerasan seksual. Sebuah istilah yang juga termaktub dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Peraturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

Ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban. Lantas dari sini muncul istilah marital rape atau perkosaan dalam rumah tangga. Seorang istri bisa melaporkan suaminya yang telah memaksakan persetubuhan, sementara istri tidak dalam keadaan ikhlas melayani.

Ini konsep yang bertentangan dengan hukum Islam yang mengatur hak kewajiban suami istri. Sebagai sebuah institusi yang melahirkan generasi, Islam memberikan gambaran, baik istri maupun suami untuk sama-sama memelihara ketaatan kepada Allah SWT. Penjagaan suami kepada istri, pemberian nafkah, pengabdian istri kepada suami, meski secara kasat mata adalah interaksi sesama manusia, namun terbingkai sebagai ibadah yang bernilai pahala di sisi Allah.

Syariat inilah yang dipandang oleh kaum feminis sebagai aturan yang membelenggu kebebasan perempuan. Seorang istri seolah-olah tertindas karena dipaksa melayani suami.

UU TPKS ini berbahaya karena disusupi pemikiran feminisme dan menjadi gerbang liberalisme dalam hubungan laki-laki perempuan. UU ini akan menjadi wasilah bagi perilaku seks bebas dan LGBT semakin menggila.

Kekerasan seksual akan terus terjadi selama pendekatannya masih secara parsial. Terlebih UU TPKS lahir dari kesalahan pendeteksian terhadap akar persoalan. Sehingga hanya akan menjadi racun berbalut madu.

Akibat Penerapan Sekulerisme Liberal dan Islam Solusi Hakiki

Tindakan kekerasan seksual sejatinya akibat penerapan jalan hidup sekulerisme liberal yang memisahkan pengaturan kehidupan agama dari kehidupan. Sehingga, hidup hanya memperturutkan hawa nafsu bukan dibimbing wahyu. Jalan hidup inipun menjunjung tinggi kebebasan tanpa boleh dibatasi oleh yang lain.

Gaya hidup permisif , hedonis dan maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah kehidupan ini telah mendorong generasi muda muslim terjerumus dalam aktivitas khalwat, ikhtilat, dan tidak malu membuka aurat, bahkan sempat trending twitter “need sugar daddy” agar dapat membeli tiket konser Justin Bieber.

Perempuan dalam sistem sekuler hanya akan menuai harapan semu Ketika berharap akan dilindungi dan dijaga harkat dan martabatnya sebagi seorang perempuan. Karena, sistem inilah yang memberikan peluang terjadinya kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Maka mustahil berharap akan ada solusi tuntas.

Berbeda dengan islam. Islam bukan sekedar agama ritual namun juga aturan kehidupan. Islam mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan dengan dirinya sendiri termasuk hubungan dengan sesama manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Islam sangat memuliakan perempuan. Bahkan islam memiliki seperangkat aturan untuk itu. Diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. Hukum asal kehidupan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram adalah terpisah. Apabila tidak ada suatu keperluan yang dibenarkan oleh syariah maka hukumnya akan kembali ke asalnya, yaitu terpisah (infishal). Aturan ini berlaku umum, baik dalam kehidupan umum seperti di sekolah, jalan umum, kendaraan umum, maupun di dalam kehidupan khusus (wilayah pribadi) seperti rumah, kendaraan pribadi dan lain sebagainya.

Hal ini  disandarkan pada perbuatan Rasulullah saw, beliau memisahkan kaum laki-laki dari kaum perempuan, menjadikan shaf-shaf perempuan terpisah dibelakang shaf laki-laki dalam sholat, serta memerintahkan perempuan keluar terlebih dahulu setelah selesai shalat berjamaah di dalam masjid lalu di susul oleh jamaah laki-laki.

  • Syariat islam mengecualikan infishal dalam perkara-perkara tertentu yang telah diatur di dalam islam. Seperti jual beli, akad perburuhan, menuntut ilmu, kasus peradilan, pelayanan kesehatan, dll. Akan tetapi kebolehan tersebut hanya berlaku bagi interaksi yang di izinkan syara’, sedangkan untuk aktifitas selain itu hukumnya kembali ke asal yaitu harus terpisah.
  • Islam mengatur lingkungan kehidupan dengan pemisahan antara kehidupan umum dan kehidupan khusus. Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT dalam QS. An-Nur ayat 27.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu , agar kamu (selalu) ingat.”

  • Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup auratnya secara sempurna dan menundukkan pandangan serta bertaqwa kepada Allah SWT.
  • Interaksi laki-laki dan perempuan yang lebih khusus hanya dalam ikatan pernikahan.
  • Perempuan dilarang untuk bertabarruj di hadapan laki-laki bukan mahram.
  • Melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali disertai mahram.

Diriwayatkan dari ibnu Abbas ra: Aku pernah mendengar Nabi saw bersabda: “Jangan sekali-kali seorang pria berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali bersama mahramnya.” (HR. Bukhari, No 1729)

  • Islam melarang perempuan untuk keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya
  1. Islam melarang kaum perempuan untuk safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain lebih dari tiga hari, kecuali jika disertai dengan mahramnya

Diriwayatkan dari Abu Said al-Khidri ra: rasulullah saw bersabda: “Haram bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat berpergian lebih dari tiga hari kecuali bersama ayah, anak pria, suami, saudara lelaki atau siapa saja yang termasuk mahramnya.” (HR. Bukhari No 1731)

Selain hal tersebut diatas, islam juga mengatur negara untuk menjaga interaksi masyarakatnya dan menjauhkan dari berbagai kondisi yang merangsang seksualitas seperti tayangan media yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi. Islam juga menetapkan sistem sanksi yang tegas pagi pelaku zina yang akan dilaksanakan oleh negara.

Adapun sanksinya jika pelaku zina telah menikah maka akan dihukum rajam yaitu dilempar dengan batu hingga meninggal dan disaksikan di tengah khalayak umum agar memberikan efek jera. Sedangkan yang belum menikah akan dicambuk sebanyak serratus kali sebagaimana Firman Allah SWT

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur : 2).[]

Wallahu’alam Bii Showab