Smart City Tapi Akses Dibatasi

Oleh : Euis L (Pontianak-Kalbar)

Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyebutkan, di era digital ini tidak hanya kota yang menjadi smart city, sumber daya manusianya (SDM) juga harus smart. Oleh karenanya, untuk mewujudkan sebuah kota yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya, konsep smart city harus ditunjang dengan teknologi informasi (IT) dan SDM. Enam dimensi smart city adalah Smart Government, Smart Economy, Smart Live, Smart Living, Smart People dan Smart Mobility. Penerapan smart city adalah bagaimana mengubah pola pikir masyarakat atau birokrasi yang tidak atau belum mau berubah (kalbaronline.com, 24/02/22).

Secara konsep, smart city diharapkan mampu memudahkan akses masyarakat dalam segala hal berikut sarana dan prasarana yang canggih dan memadai. Hanya saja, untuk menjangkau akses dan sapras tersebut, sangat tergantung dari cara pandang negara tentang tata kelola kehidupan masyarakat.

Membentuk SDM smart tentu butuh sarana penunjang yang memadai. Hanya saja, hal tersebut sering berkebalikan pada fakta yang ada di tengah masyarakat. Negara sering gagap ketika dihadapkan pada masalah yang tak terduga, semisal adanya pandemi seperti sekarang yang meniscayakan semua beralih ke dunia digital. Namun banyak masyarakat yang tidak bisa menjadi “smart” karena kurangnya daya jangkau terhadap sarpras yang ada.

Negara penganut sistem kapitalisme meyakini konsep mekanisme pasar yakni memposisikan pemerintah sebagai regulator semata dalam pengambilan kebijakan untuk kepentingan swasta. Sementara di sisi lain swasta yang berperan untuk membangun kehidupan tersebut. Swasta akan terus bergerak memperbaiki pelayanan dan teknologi penunjangnya apabila terdapat keuntungan bisnis, objeknya tentu saja ditujukan kepada orang yang berduit saja.

Jika demikian adanya, tentu segala fasilitas lengkap smart city bukan ditujukan untuk masyarakat secara luas. Lantas, bagaimana bisa membentuk SDM smart jika tidak semua masyarakat dapat mengakses berbagai sarpras yang ada?[]

Wallahu’alam