March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

SKB 3 Menteri terindikasi Islamophobia? (Bagian 2)

Oleh : Farhan – Intelektual Muslim

Sejarah Panjang Jilbab di Indonesia

Munculnya SKB ini seolah memutar balik sejarah. Jilbab yang dulunya diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa, kini mulai disingkirkan. Di Sumatera Barat sendiri, perjuangan agar masyarakat berjilbab itu dimulai sejak abad ke-19. Gerakan Paderi di Minangkabau, seperti ditulis Andi Ryansyah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), turut memperjuangkan pemakaian jilbab di masyarakat. Kondisi yang sama terjadi di Aceh dan Sulawesi Selatan.

Di pulau Jawa,banyak Muslimah yang tidak menutup kepala, mendorong Gerakan reformis Muslim menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara bertahap. Hal serupa diserukan oleh organisasi Al Irsyad dan Persatuan Islam (Persis).

Di era Orde Baru awal, dominasi militer sangat kuat. Islam serasa dipinggirkan dan tidak diberi ruang untuk berkembang. Termasuk di dalamnya soal berjilbab dikalangan para pelajar putri. Ada kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982. Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar Muslimah di SMA-SMA negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar putri di sekolah memakai jilbab.

Kebijakan itu terkesan longgar tapi sebenarnya sulit terwujud alias mustahil. Sementara keinginan siswi untuk menjalankan keyakinan dalam berbusana mulai tumbuh. Sayangnya, rezim tak mengizinkan. Bahkan berbagai pendekatan militer dilakukan menyelesaikan masalah ini.

Berbagai aksi pembelaan terhadap siswi berjilbab terjadi di era 80-an di berbagai kota. Militer pun turun tangan untuk mengatasi masalah ini. Terkadang ancaman harus dihadapi mereka yang berjilbab dan keluarganya serta para aktivis penggerak aksi pada masa itu.

Depdikbud sendiri pada masa itu, berpandangan negatif terhadap siswi yang berjilbab. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.

Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052.

Sikap kelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis pakaian yang menyimpang/tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi jilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik.

Tak heran, SK ini segera memakan korban. Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap sebagai gerakan laten PKI, diinterogasi diruang BP, dan sebagainya.

Kondisi ini terus berlangusng cukup lama. Hingga kemudian berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Organisasi itu berhasil mengubah Haluan pemerintah yang lebih akomodatif terhadap Islam.

Akhir 1989 atau awal 1990. MUI mengadakan Munas dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau Kembali peraturan tentang seragam sekolah. Akhirnya, pada 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, Menpan, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN.

Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam yang khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan “Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana Muslimah dengan jilbab atau jilbabnya.