March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Sertifikasi Ulama, Perlukah?

Oleh: Sri Yulia Sulistyorini, S. Si (Anggota Forum Muslimah Peduli Ummat Indramayu)

Wacana sertifikasi ulama oleh Kemenag menuai pro kontra di berbagai kalangan di masyarakat. Tak sedikit yang menolak wacana tersebut, karena dinilai syarat kepentingan dan berpotensi disalahgunakan.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyiddin Junaidi bersikap tegas terhadap wacana sertifikasi ulama yang digaungkan pemerintah. Muhyiddin menyatakan, MUI tak setuju dengan pemerintah dengan kebijakan itu. MUI menolak tegas rencana Kemenag tentang rencana sertifikasi para da’i/penceramah guna menghindari paham radikal,  “tegas Muhyiddin pada Republika, Senin (7/9/2020). Muhyiddin memandang kebijakan sertifikasi ulama tergolong kontra produktif. Ia khawatir, kebijakan tersebut berpeluang dimanfaatkan demi kepentingan pemerintah guna meredam ulama yang tak sejalan.

Sementara itu, wakil menteri agama Zainut Tauhid Saadi menegaskan bahwa program sertifikasi penceramah bertujuan untuk menyaring dari da’i yang berpaham radikal, salah satu cirinya adalah mengkafirkan pihak lain. Paham radikal, menurut Zainut adalah yang memenuhi tiga unsur. Pertama, paham yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, paham yang mengingkari kesepakatan Nasional, misalnya Pancasila dan UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga, paham yang menolak kebenaran paham orang lain, menganggap hanya kelompoknya yang paling benar sementara orang lain sesat atau kafir/takfiri. (Gelora News, selasa, 8/9/2020).

Lebih tegas lagi, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia(MUI) Anwar Abbas menolak rencana kebijakan pemerintah soal sertifikasi 8200 penceramah atau dai.  Menurutnya, kebijakan itu cenderung mendiskreditkan Islam.  “Melihat sikap dan cara pandang menteri agama  yang selalu bicara tentang radikalisme yang ujung-ujungnya mendiskreditkan dan menyudutkan ummat Islam,  saya secara pribadi menolak tegas rencana ini”, kata Anwar melalui pesan teks kepada Republika, Sabtu, (5/9/2020). Bahkan apabila program ini terus dilaksanakan dan diterima oleh MUI, maka dia akan mengundurkan diri tanpa kompromi. Pernyataan sikap ini disampaikan sebagai pertanggungjawaban dirinya kepada Allah SWT dan kepada ummat Islam di Indonesia untuk diketahui.

Lagi-lagi radikalisme menjadi alasan munculnya sertifikasi ulama, seperti yang dikemukakan Zainut Tauhid. Jika dilihat dari unsur-unsur yang terkait paham radikal, yang pertama paham yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran terkait penistaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan memungkinkan adanya justifikasi terhadap pihak-pihak tertentu yang dianggap bersalah dan dicap radikal. Hal ini tergantung opini umum yang akan dimunculkan.

Sebagai contoh, ketika seorang ulama menyampaikan bahwa kita harus peduli terhadap kondisi umat Islam di Rohingya yang mengalami penyiksaan dan wajib memberikan bantuan, karena mereka adalah saudara kita. Lantas siapa nanti yang dibilang radikal? Pemerintahan Myanmar, Muslim Rohingya atau ulama yang menyampaikan ajakan tadi?. Saat ini kata radikal itu hampir selalu dikaitkan dengan Islam, umat Islamlah pelakunya. Sebaliknya jika yang mengalami penistaan itu umat Islam tidak muncul istilah radikal.

Yang kedua, paham yang mengingkari kesepakatan Nasional misalnya Pancasila dan UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Sepertinya tidak elok ketika alasan ini digunakan untuk menerbitkan sertifikasi ulama. Ketika ulama menyampaikan kritik terkait dengan kedzaliman yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bisa saja dianggap tidak layak menjadi da’i, padahal sejatinya da’i adalah menyampaikan kebenaran bukan menyampaikan kesukaan (“asal bapak suka”).  Sehingga dengan dalih anti Pancasila atau kebhinekaan, ulama tadi tidak dapat sertifikat.

Yang ketiga, paham yang menolak kebenaran paham orang lain, menganggap hanya kelompoknya yang paling benar sementara orang lain sesat atau kafir/takfiri. Alasan ini juga berbahaya jika dijadikan penyebab terbitnya sertifikasi ulama. Karena bisa jadi ulama tadi menyampaikan ajaran Islam yang sebenarnya untuk menjelaskan mana yang haq dan mana yang batil agar umat paham.

Bahkan di Al-Qur’an sendiri, Allah SWT seringkali menyebut kata-kata kafir untuk menyebut orang-orang non Muslim. Contoh dalam QS. A- Baqarah ayat 6, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir sama saja atas mereka kamu beri peringatan atau tidak, mereka tidaklah beriman”. Ini adalah bahasa Al-Qur’an. Apakah lantas dengan menyampaikan Al-Qur’an ulama bisa dianggap menganut paham radikal? Sungguh tidak layak apabila kata radikal disematkan kepada para ulama yang mukhlis, yang menyampaikan kebenaran dengan tegas. Ulama yang tak bisa dibeli, karena keridhoan Allah adalah harga mati.

Lagi pula, berdakwah itu adalah kewajiban dari Allah SWT kepada setiap muslim, tidak perlu lagi adanya sertifikasi atau pelegalan  dari manusia. Sebagaimana firman Allah SWT:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16]:125)

Sebagaimana juga di ayat yang lain Allah SWT berfirman :

إِنَّ ٱلَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ قُل رَّبِّىٓ أَعْلَمُ مَن جَآءَ بِٱلْهُدَىٰ وَمَنْ هُوَ فِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. Al-Qashash [28]: 87).

Masih banyak ayat-ayat yang lain serta hadist yang menunjukkan wajibnya berdakwah bagi setiap Muslim. Walhasil, program sertifikasi ulama patut diduga untuk menjegal dakwah yang berlawanan dengan kepentingan penguasa maka dari program ini hanya untuk kepentingan segelintir orang saja.

Wallahu A’lam bil Asshowwab.