March 28, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Sengketa Laut China Selatan dalam Perspektif Konstruktivisme (1)

Oleh: Ong Hwei Fang (Penulis dan Pemerhati Isu Politik)

-Bagian pertama –

Klaim China atas wilayah yang tersebar di sepanjang Laut China Selatan telah berlangsung lama, menjadi semakin intensif dalam beberapa pekan terakhir. Hal ini terjadi karena pertumbuhan industrialisasi yang berlangsung cepat di China sejak digulirkan pada akhir tahun 1980-an. Proses industrialisasi ini telah menciptakan kebutuhan energi yang luar biasa bagi China untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Maka dari itu, Laut China Selatan yang diprediksi oleh banyak pihak menyimpan cadangan energi yang besar menjadi alternatif bagi China untuk memenuhi pasokan kebutuhan energi di masa datang, sehingga perlu untuk dikuasai.

Seiring berkembangnya industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi, China mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kemampuan militernya secara signifikan. Laporan yang dirilis oleh globalsecurity.org menyebutkan bahwa pada tahun 2015 pemerintah China akan meningkatkan anggaran militer sebesar 10% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 12,2%. Dengan demikian, masih menurut laporan tersebut, China secara berturut-turut selama 5 tahun menaikkan anggaran militernya sebanyak 2 digit. Dengan kemampuan militer yang saat ini dimiliki oleh China, menjadi sangat masuk akal jika China lebih agresif dalam mendefinisikan kepentingan nasionalnya di kawasan laut China Selatan. (Global Security, 2020).[1]  

Laut China selatan bukan satu-satunya konflik yang terjadi di antara negara dalam memperebutkan suatu wilayah. Namun, konflik di Laut China Selatan barangkali yang paling banyak melibatkan persinggungan banyak negara. Setidaknya, ada 6 negara yang menyatakan klaim atas Laut China Selatan, dan melibatkan diri dalam konflik tersebut.  Keenam negara tersebut adalah China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei  Darussalam. Keenam negara ini mengajukan klaim kepemilikan atas kedaulatan teritorial di Laut China Selatan. Bateman dan Emmers (2009:1), mengemukakan, The South China Sea has long been regarded as a major source of tension and instability in East Asia.  Terkait besaran konflik di kawasan ini dan potensinya, bisa dikatakan sebagai berikut:

Despite their seeming insignificance physically these features have been subject to intense competition between rival claimants among the South China Seas coastel states. In terms of the number and complexity of overlapping jurisdictional and sovereignty claims made to it, the South China See id among the world  most disputed areas. Competing claims to maritime space on the part of the littoral states are complicated by the presence of two disputed archipelagos of islands and reefs generally known as the Spratly and Paracel Islands, as well as other outlying islands and islets. Sovereignty over these islands is disputed and maritime jurisdictional disputes related to the maritime claims that they may, or may not, be able to sustain also appear to exist (Schofield, 2009: 8).

China, Taiwan, dan Vietnam mengklaim hampir semua fitur geografis yang membentuk kelompok pulau-pulau Laut China Selatan atas dasar penemuan, sejarah dan pendudukan. Filipina dan Malaysia atas dasar kedekatan dan ciri-ciri tertentu yang mereka klaim terletak pada ambalan kontinen mereka. Brunei mengklaim hanya satu fitur, yang juga didasarkan bahwa fitur tersebut terletak di landas kontinen Brunei Darussalam (Schofield,2009: 11). Jika dilihat pulau-pulau yang menjadi sengketa, maka sangat masuk akal bagaimana negara-negara mengajukan klaim atas wilayah yang ada. 

Klaim negara-negara yang terlibat konflik pada umumnya didasarkan pada penemuan (discovery), dudukan (occupation), yurisdiksi administratif (administrative jurisdiction), pencantuman secara resmi ke dalam wilayah (official incorporation into the territory), konfirmasi dari perjanjian internasional (confirmation of title by internasional agreement), pengakuan internasional (foreign recognition), pelaksanaan wewenang secara damai dan kesinambungan (peacefull continuous display of authority), perkembangan sejarah (historical development), penyerahan hak dari negara lain (succession right from foreign government), hak kedaulatan atas landas kontinen (sovereign rights over continental shelf), dan hak berdaulat atas zona ekonomi eksklusif (ZEE). Dari ke-6 negara pantai tersebut, China merupakan negara yang pertama kali mengajukan tuntutan kepemilikan (Harini Styasih, 2011).[2]

Keterlibatan AS di Laut China Selatan

Konflik di kawasan Laut China Selatan yang melibatkan banyak negara tersebut bukanlah hal baru. hal ini dilatarbelakangi oleh keberadaan sumber daya alam yang melimpah di kawasan laut China Selatan, meskipun belum ada rincian yang lebih detail. Menurut bbc.com (21/07/2011), para pejabat China memiliki perkiraan yang paling optimistik atas sumber mineral di sana. Inilah barangkali yang membuat China menjadi salah satu negara paling agresif dalam mengajukan klaim atas kepulauan Paracel dan Spratly di Laut China Selatan.

Menurut data yang dikutip oleh Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), China memperkirakan cadangan minyak disana sebesar 213 miliar barel atau 10 kali lipat dari cadangan milik Amerika Serikat (AS). Namun, para ilmuwan AS memperkirakan jumlah minyak di sana mencapai 28 miliar barel. Menurut EIA, cadangan terbesar kemungkinan adalah gas alam. Perkiraannya sekitar 900 triliun kaki kubik, sama dengan cadangan yang dimiliki oleh Qatar. Selain minyak dan gas alam, kawasan ini juga dikenal sebagai jalur utama pelayaran laut, serta area penangkapan ikan dan makhluk laut lainnya, yang menopang hidup ribuan tahun penduduk di sekitar kawasan tersebut. (bbc.com, 21/07/2011)

Meskipun angka-angka sumber daya alam yang berada di kawasan itu masih berupa perkiraan, tetapi cukup menjadi alasan bagi negara-negara dikawasan itu untuk mengajukan klaim. Hal ini tentu saja belum termasuk keuntungan-keuntungan lain, terutama terkait dengan posisi  strategis Laut China Selatan dalam sistem perdagangan global. Posisi strategis China di kawasan Laut China Selatan dalam konteks perdagangan inilah yang mendorong Amerika Serikat untuk terlibat dalam konflik. Melalui berbagai faktor dan dinamika yang terjadi di dalam konflik Laut China Selatan, AS beranggapan bahwa memang penting untuk melibatkan dirinya dalam penyelesaian konflik tersebut. Selain untuk menjaga pengaruh dan kekuatannya di kawasan Asia tenggara, AS bagaimanapun bisa dikatakan akan memperoleh keuntungan sumber daya alam jika bisa mempertahankan posisinya di kawasan tersebut.

AS sendiri cenderung mendukung klaim Filipina. Hal tersebut bisa dilihat melalui pengiriman kapal perang terbesarnya untuk menjaga stabilitas di kawasan perairan Filipina dan Laut China Selatan menurut CNN yang dikutip kontan.co.id, Rabu (12/08/2020). Selain itu, AS juga bergerak secara unilateral, di luar gerakan bilateralnya dengan Filipina. Kepentingan AS ditunjukkan dengan beberapa tindakan , diantaranya adalah latihan bersama militer Filipina dan AS, rencana pemindahan markas AS di Okinawa, pernyataan dukungan Hillary Clinton tentang Laut China Selatan dan mendesak Senat supaya meratifikasi hukum Laut UNCLOS (Reuters.com, 24/5/2012). [3]

Ekskalasi konflik di kawasan laut China Selatan semakin meningkat karena dalam pandangan banyak pihak tengah terjadi provokasi militer China di kawasan. Provokasi itu dianggap mengganggu status quo di kawasan tersebut. Seperti disiarkan dw.de, dengan menggelar latihan militer di kawasan konflik tersebut, China juga mengambil resiko konflik dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Thailand, dan Brunei yang ikut mengklaim kedaulatannya di sebagian wilayah laut China Selatan. Beijing sendiri sejak lama mendeklarasikan laut di utara Indonesia tersebut sebagai bagian dari wilayahnya. Menurut laporan tersebut, sejauh ini ada tiga negara yakni China, Vietnam, dan Filipina yang aktif secara militer di kawasan tersebut. ketiganya secara rutin mengirimkan kapal patroli bahkan membangun pos militer serta landasan pesawat di sejumlah pulau dalam hal ini Indonesia tidak secara langsung terlibat dalam konflik laut China Selatan.[4]

Amerika Serikat mempunyai kepentingan strategis di Laut China Selatan. Ada 2 prinsip kepentingan AS terkait kawasan ini, yakni akses dan stabilitas. Pertama, AS mempunyai kepentingan yang kuat dalam menjaga akses pelayaran yang tanpa hambatan di Laut China Selatan. Dalam pandangan Washington, semua negara sangat membutuhkan dan akan menikmati adanya kebebasan kelautan yang tinggi, termasuk kebebasan pelayaran. Akses terhadap pelayaran yang bebas ini penting karena dilatarbelakangi oleh suatu alasan terkait dinamika ekonomi di kawasan. Bagi AS, Laut China Selatan penting karena pada satu sisi mendukung dinamika kawasan yang didominasi oleh perdagangan intraregional. Sementara di sisi lain, akses bebas terhadap laut China Selatan akan memudahkan AS dalam menyediakan jaminan keamanan dan kekuatan militer tidak hanya di kawasan Asia tapi juga seluruh belahan dunia.

AS adalah salah satu negara dengan total perdagangan terbesar di dunia. Boleh dikatakan bahwa 90% perdagangan dunia berpindah melalui kapal dan 45% dari seluruh jalur perkapalan tersebut adalah dari perairan Asia yang tidak memiliki batas yurisdiksi (lawless). Laut China Selatan sendiri dilewati oleh hampir 50% lalu lintas perdagangan dunia dan sebagai rute dari 80% total angkutan minyak mentah dunia yang menuju Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Mengamankan kawasan-kawasan Laut China Selatan berarti AS melakukan kontrol langsung terhadap beberapa jalur perairan penting di dunia. Kontrol AS bisa memastikan keamanan jalur terjamin sehingga AS bisa memperoleh keuntungan akses pasarnya ke pasar Asia (aa.com.tr, 28/8/2018). [5]

Sedari dulu Pihak China secara tegas menentang negara mana pun, organisasi, atau individu yang menggunakan arbitrasi tidak sah untuk merugikan kepentingan China. Maka,  gesekan antara Amerika dengan China soal perairan di Laut China Selatan ini jika tak segera menemukan solusi yang komprehensif, konflik ini akan tereskalasi menjadi sebuah konfrontasi fisik.

Di sisi lain, apa mau dikata, Indonesia sendiri  tidak mampu menghimpun negara ASEAN lantaran dalam cengkeraman hutang yang tinggi, jangankan membela penegakan hukum yang telah terjadi di kawasan Laut China Selatan, mengamankan kedaulatan negaranya sendiri pun kini hampir tak mampu dan cenderung di setir oleh para penjajah yang hendak meguras kekayaan dalam negeri.

Demikianlah, masalah kedaulatan wilayah merupakan masalah sensitif. Tidak ada negara yang rela kehilangan sejengkal wilayahnya. Karena itu, problematika  perbatasan tidak bisa didiamkan. Masalah perbatasan berpotensi besar menimbulkan konflik. Hal ini sebisa mungkin harus dihilangkan dengan menyelesaikan sengketa perbatasan. Hilangnya sengketa perbatasan membuat kedaulatan lebih terjamin. Bagaimana menyelesaikannya? Dibutuhkan upaya terkoordinasi dengan mekanisme lebih sederhana dan bisa diterima semua pihak. Tanpa ini, penyelesaian masalah perbatasan tak pernah kunjung usai hingga tak mampu mengambil sikap tegas untuk melindungi kedaulatan negaranya sendiri.

Wallahu alam

Bersambung….

Sumber :

 [1] Global Security. 2020. China’s defense Budget”, http://www.globalsecurity.org/military/world/china/budget.htm   

[2] Harini Styasih. 2011. “Kepentingan Nasional dalam Konflik Laut China Selatan”. http://ejurnal.unisri.ac.id/index.php/Transformasi/article/view/214/179 ,hlm 44.

[3] lihat juga : http://www.thejakrtglobe.com/international/obaam-officials-press-senate-to-ratify-sea-treaty/519894

[4] http://www.dw.de/kirim-kapal-induk-China-bibit-ketegangan-baru-di-laut-China-selatan/a-17254460

[5] lihat juga : https://www.aa.com.tr/id/ekonomi/laut-china-selatan-rute-utama-perdagangan-minyak-mentah/1240838 dan  http://hir.harvard.edu/26/5/12