April 20, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Sejarah Peradaban dan Kesultanan Islam di Sintang

Oleh : Ummu Abdilla (Muslimah Ideologi Khatulistiwa)

Awal-awal perkembangan islam di Nusantara selalu saja menarik perhatian. Hal ini karena erat kaitannya dengan masa-masa Kekhilafahan yang berkuasa di muka bumi hingga 13 abad lamanya dan telah menjadi peradaban gemilang dengan menyumbangkan berbagai ilmu pengetahuan. Sehingga Islam menjadi sumber peradaban negara adidaya pada masa itu. 

Perjalanan Islam masuk ke Indonesia dimulai dari kota Aceh yang di bawa oleh para pedagang muslim dari negara Khilafah. Dan kini biasa kita sebut dengan Kota Serambi Mekkah. Bahkan hingga saat ini pula Aceh masih menerapkan sebagian hukum-hukum Islam. 

Islam yang masuk dari kota Aceh akhir nya sampai pula ke kota Sintang Kalimantan Barat yang hingga kini terdapat Istana Al-Mukaromah. Lokasi awal kerajaan Sintang di perkirakan terletak sekitar 500 km dari pusat Kesultanan Pontianak saat itu. (Helius, 2008)

Inilah salah satu bukti bahwa agama Islam masuk ke wilayah Nusantara dengan jalan damai sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah saw dan para Khulafaurrasyidin serta masa-masa Kekhilafahan sesudahnya. Banyak juga tempat-tempat yang menjadi saksi bisu perjuangan kaum Muslimin dalam mendakwahkan agama Islam. Perjuangan tersebut dipenuhi dengan tantangan sebagaimana juga yang pernah di alami Rasulullah saw dalam menyebarkan agama Islam.

Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Sintang diperintah oleh seorang raja bernama Pangeran Agung. Ia merupakan keturunan Raja Sintang yang ke-17. Pada masa itu pengaruh agama Hindu sangat kuat di kalangan raja-raja. Maka Pangeran Agung pun menganut agama Hindu. Ketika itu dua orang mubalig, yaitu Muhammad Saman dari Banjar dan Encik Somad dari Serawak, datang ke Sintang untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Dengan kepiawaian dua orang dai tersebut, Pangeran Agung akhirnya memeluk Islam.

Bagai gayung bersambut, dengan masuk Islamnya Pangeran Agung maka proses sosialisasi Islam di daerah Sintang tidak banyak mengalami hambatan yang berarti. Kegiatan keagamaan (keislaman) dipusatkan di Balai Kerajaan, karena Masjid belum dibangun.

Barulah pada saat Kerajaan Sintang diperintah oleh Sultan Nata Muhammad Syamsudin (Raja Sintang ke-19) dibangunlah sebuah Masjid Jami pada tanggal 12 Muharam 1083 H, meskipun ukurannya terbilang kecil dan sederhana. Namun, setelah Raja Sintang ke-21, yakni pada masa pemerintahan Sultan Abdurrasyid Muhammad Jamaludin, masjid tersebut direnovasi dan diperbesar. Bahkan, masjid ini dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan di Kesultanan Sintang.

Mesjid itu didirikan dekat dengan istana. Besar masjid tersebut cukup untuk menampung sekitar 50 orang. Setelah pembangunan masjid selesai, sholat Jum’at secara berjamaah dimulai pertama kali dengan Penghulu Luwan sendiri selaku Imam. Semua laskar dan rakyat dikerahkan untuk ikut shalat Jumat, dan bagi yang tidak mau turut serta maka akan dihukum dan diancam sebagai “kafir“. Dalam urusan penyiaran dan pelaksanaan hukum Islam, pemerintahan Sultan keras dan tegas. Ia bersama-sama dengan Penghulu Luwan aktif ke berbagai daerah yang masih dalam wilayah kerajaannya untuk menyebarluarkan ajaran Islam khususnya bagi orang-orang Dayak.

Pada masa pemerintahan Sultan Syamsuddin, ia telah menerapkan hukum syara’ dan ia sendiri menyusun hukum adat yang berdasarkan syariah Islam. Dan akan memberikan sanksi hukuman berat bagi para pelanggarnya. Meskipun pemerintahannya tegas terhadap pelaksanaan hukum Islam, namun ia memerintah dengan sangat adil karena menuruti petunjuk-petunjuk Islam. Tambahan pula ia mempunyai menteri-menteri yang cakap, Sina Pati Laket, dan Penghulu Luwan sebagai orang yang keras dan gagah berani. Akhirnya ia dengan sangat mudah menerapkan dan menyebarluaskan Islam kepada orang-orang Dayak dan orang-orang asing yang hidup di dalam Kesultanan Sintang.

Sehubungan dengan kepercayaannya yang kuat kepada agama Islam, ia memerintahkan Penghulu Luwan untuk pergi ke kerajaan Banjarmasin, dalam rangka mencari Al-Qur’an. Di Sintang belum ada Al-Qur’an lengkap 30 juz, yang ada hanya surah-surah yang lepas. Setelah tiga bulan, Penghulu Luwan kembali ke Sintang dan berhasil membawa Al-Qur’an lengkap yang sudah disalin, dan merupakan hadiah dari Sultan Banjarmasin. Dengan Al-Qur’an itu pula Sultan Syamsuddin memerintahkan Penghulu Luwan untuk mengajar rakyat serta dirinya sendiri.

Sultan Syamsuddin menikah dengan Dayang Mas Kuma, putri Pangeran Purba, cucu Sultan Tunggal dari kerajaan Sanggau. Pernikahan itu melahirkan penggantinya kelak, Ade Pikai atau sebagai Sultan Aman Muhammad Jalaluddin. Selanjutnya Kesultanan Sintang hingga berakhir pemerintahannya sekitar tahun 1940an namun tetap mempunyai perhatian terhadap perkembangan dan penyiaran Islam. Kepada para muballig dan ustadz yang datang dari luar Sintang. Mereka memberikan keleluasaan untuk menyiarkan dan mengajarkan Islam di kalangan rakyat, termasuk mendirikan sekolah-sekolah Islam.

Islam adalah agama yang telah sempurna sejak ia di turunkan. Islam mempunyai syariat dengan pedoman jelas yaitu Al-Qur’an dan hadits yang menjadi sumber hukum. Serta Allah dan Rosul-Nya telah memberikan kunci ilmu, sains, bahkan kunci peradaban yang gemilang kepada umat Islam.

Referensi :

[1]. https://duniamasjid.islamic-center.or.id/1186/masjid-jami-sintang-kapuas-hilir/

[2]. Helius Sjamsuddin. 2008. Kerajaan Islam Sintang.HISTORIA: Jurnal Pendidikan Sejarah, IX. Universitas Pendidikan Indonesia : Bandung. (https://ejournal.upi.edu/index.php/historia/article/download/12170/7282)