April 19, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Quo Vadis Amerika dan Politik Pembendungan Cina?

Oleh: Ustadz As’ad Manshur

Kekuatan militer menjadi salah satu jalan Amerika Serikat (AS) dalam menghabisi dan menguasai negara pesaing. Selain itu, dalam hal ini AS juga menggunakan jalan politik dan ekonomi sebagaimana diterapkannya kebijakan pembendungan (containment).Sebagai contoh, AS menyulut Perang Vietnam untuk menghabisi Cina dan mencegahnya menguasai Asia Tenggara. Ketika AS menyadari dirinya menderita kerugian besar dan berada di ujung tanduk, ia pun mengambil langkah politik pembendungan terhadap Cina. Melalui Menteri Luar Negerinya, Henry Kissinger, AS mulai melakukan normalisasi. Kissinger diangkat sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB pada tahun 1971, kemudian diikuti kunjungan Presiden AS, Nixon, pada tahun 1972.Setelah gugurnya Mao Zedong, dimulainya kekuasaan Deng Xiao Ping (1979), serta terjadinya reformasi dan keterbukaan Cina, disepakatilah antara kedua pihak bahwa AS mengakui kesatuan Cina. Dengan begitu, AS menganggap Taiwan bagian dari Cina melalui pendekatan ekonomi dan politik, dan memberikannya hak prioritas dalam transaksi perdagangan.Setelah perusahaan-perusahaan AS masuk ke Cina, surplus perdagangan Cina pun meningkat. AS belum menyadari bahwa hal ini merupakan suatu hal yang salah. Pada saat yang bersamaan, AS mulai fokus pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) sembari menyebarkan paham liberal, demokrasi, dan ide-ide Barat. Dengan itu, terpantiklah semangat para partisipan ide Barat. Namun Cina meluluhlantakkan mereka, seperti yang terjadi pada Peristiwa Tianmen di Lapangan Beijing pada tahun 1989. Meskipun demikian, AS tidak berhenti memberikan Cina hak prioritas dalam transaksi perdagangan demi melanjutkan politik pembendungannya.Selama era Obama, AS memperkuat kerja sama dengan Cina di dua sektor strategis, militer dan politik. Obama mengunjungi Cina pada tahun 2009 dan menyambutnya dalam kancah peran internasional. Demi menyukseskan kebijakan pembendungan, dijalinlah koordinasi dan kerja sama dalam berbagai sektor strategis. Semua itu bertujuan untuk mengawasi dan mendominasi Cina, serta membuatnya bergerak di bawah titah AS.Ketika Cina terus memperkuat eksistensinya di Laut Cina Selatan dan Timur, serta eksistensinya di sektor pengembangan senjata, koordinasi ini terhenti. Langkah ini pun gagal. Pada tahun 2013, Amerika mengumumkan langkah APEC guna mengirimkan 60% kekuatan angkatan lautnya ke wilayah tersebut. Di tahun yang sama, Cina mengumumkan rencana “Belt and Road” untuk membangun jaringan komunikasi darat dan laut yang menghubungkannya dengan negara-negara Asia, Eropa, dan Afrika.Ketika Trump hadir, AS mulai memikirkan jalan lain. AS mendeklarasikan perang dagang terhadap Cina pada 2018, dan mengenakan bea cukai atas barang-barang Cina senilai $200 miliar untuk menjembatani kesenjangan surplus perdagangan di antara keduanya. Kemudian Cina membalasnya dengan mengenakan bea cukai pada barang-barang AS senilai $60 miliar. AS lantas kembali fokus menggembor-gemborkan isu internal Cina, seperti halnya isu Muslim Uyghur yang dianiaya Cina, dan Demonstrasi Hong Kong (2019-2020) terhadap undang-undang ekstradisi dan terhalangnya aksesi Taiwan ke Cina.Belum genap 3 minggu Joe Biden menjabat pada awal tahun ini, AS mulai menunjukkan sikap keras dan permusuhannya terhadap Cina. Pada Rabu (10/2), Biden terus terang mengatakan, “Jika kita tidak mengambil tindakan, Cina akan melalap habis santapan kita.” Lantas AS mengeluarkan dokumen yang bernama “Panduan Strategi Sementara untuk Keamanan Nasional”. Yang di mana 20 halamannya fokus membahas Cina, sedangkan sebagian kecilnya membahas Rusia.Tertulis di dalamnya, “Kita harus siap menghadapi fakta bahwa kursi tampuk kekuasaan di setiap penjuru dunia berubah, yang mana dapat menciptakan ancaman baru.” Dalam dokumen tersebut juga disebutkan, “Cina (secara khusus) menjadi semakin membulatkan tekad. Dialah satu-satunya pesaing yang mampu menyatukan kekuatan ekonomi, diplomatik, militer, dan teknologi, serta menentang tatanan internasional yang terbuka dan stabil.”Untuk itu, AS mulai menghidupkan kelompok baru atau memperbaharui kelompok lamanya. Seperti Quad yang terdiri dari AS, Jepang, Australia, dan India untuk memberhentikan intimidasi dan rencana ekspansi Cina di wilayah Samudra India dan Pasifik. Presiden AS dan para pimpinan anggota kelompok ini menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi pada Jumat (12/3).Menteri Luar Negeri dan Pertahanan AS melakukan kunjungan kepada negara-negara tersebut untuk memperkuat organisasi ini. AS kemudian mengumumkan diadakannya dialog bilateral bersama Cina di Alaska pada Kamis (18/3), yang berujung pada kegagalan Amerika.Pada konferensi tersebut, Cina mengambil posisi tegas pada campur tangan AS dalam urusan internal Cina dan melancarkan serangan keras terhadap AS. Cina menuduh AS melanggar HAM di luar dan dalam negeri, memaksakan hegemoni, dan memeras negara lain. Padahal konferensi diadakan secara terbuka, di mana AS tidak bisa mempersingkat atau menutup konferensi tersebut di depan awak media. AS mulai mengangkat isu bahaya komunis Cina, perbedaan budayanya, serta perbedaan nilai hidupnya hingga menjadikannya sebagai benturan peradaban dan ideologi, agar dapat memimpin dunia kapitalis dalam menghadapi Tiongkok dan mengepungnya.AS mulai menekan negara-negara Eropa untuk meminimalisir hubungan dengan Cina dan membatalkan beberapa perjanjian perdagangan serta pertukaran teknologi. Seperti halnya yang dilakukan AS tahun lalu ketika menekan Inggris untuk membatalkan partisipasi Huawei dalam jaringan 5G. AS menggunakan tekanannya tersebut kepada negara-negara Eropa lainnya agar terus berpihak kepadanya dan terikat persekutuan dengannya.Biden memulai kunjungannya ke Eropa pada Rabu (9/6), dimulai dari Inggris. Dia menghadiri KTT G7 di Cornwall, Inggris, yang dimulai pada Jumat (11/6) dan berlanjut selama tiga hari untuk membuktikan kepemimpinan Amerika di Barat dan memastikan Eropa berada di bawah hegemoninya.Seperti yang diprediksikan, Biden akan berhadapan dengan bahaya Cina terhadap Barat. Biden memosisikan Eropa berada di belakang AS untuk menghadapi Cina, juga Rusia. Meskipun begitu, Biden melakukan pertemuan dengan Presiden Rusia, Putin, pada Rabu (16/6) di Jenewa, sebagai upaya memperalat Rusia guna menghadapi Cina.Dengan begitu, kebijakan pembendungan berakhir. Kebijakan konfrontasi dan penyerangan pun dimulai dengan berbagai metode, sebagai upaya membatasi Cina serta memaksakan hegemoni AS atas wilayahnya, terutama di Laut Cina Selatan.Cina –dalam kebijakannya di era Xi Jinping– ingin melanjutkan kebijakan keterbukaan, reformasi, serta mengembangkan hubungannya dengan negara lain terutama dalam rencana Belt and Road-nya, untuk memaksakan eksistensi dan pengaruhnya di negara-negara tersebut dengan menjerat mereka ke dalam hutang. Dengan begitu, Cina bisa mengoperasikan proyek yang didirikannya selama beberapa dekade. Cina menggunakan cara-cara yang kolonial, bahkan bersedia menghabiskan banyak uang untuk hal itu, juga untuk mengembangkan persenjataannya. Ia menghindari konfrontasi dengan AS dan Barat, akan tetapi ia berkehendak membuat kesepakatan bersama tanpa mengorbankan tujuan-tujuannya.Kedua belah pihak, baik kubu Cina maupun kubu AS, seluruh negara Barat, termasuk Rusia, sama sekali tidak baik untuk umat manusia. Bahkan, melalui tangan-tangan merekalah kejahatan itu merebak. Maka wajib hukumnya menegakkan Khilafah yang sesuai metode kenabian untuk membebaskan dunia dari kejahatan, penjarahan atas kekayaan-kekayaan rakyat, pertumpahan darah rakyat, dan pemaksaan dominasi atas mereka.Diterjemahkan dari Surat Kabar Ar-Rayah edisi 345, terbit pada Rabu, 19 Dzulqa’dah 1442 H/30 Juni 2021 MSumber : https://www.alraiah.net/index.php/political-analysis/item/6163-america-and-the-policy-of-containing-china-where-have-you-reachedhttps://mediamuslimtimurtengah.wordpress.com/2021/07/19/quo-vadis-amerika-dan-politik-pembendungan-cina/#more-433