March 28, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Problem Geopolitik Seputar IKN, Tidak Merangkul Kemajemukan?

Penulis: Neng Erlita N., S.TP (Aktivis Muslimah)

Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) sekaligus Sekretaris Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Tanjungpura Pontianak, Dr. Yulius Yohanes, M.Si menyampaikan pandangannya mengenai penyelarasan geostrategi dalam menjalankan geopolitik berbasis kebudayaan Dayak.

Konsep geostrategi pembangunan nasional dalam penjabaran geopolitik yang ada sebelumnya terkesan jawasentris. Salah satu alasannya karena Ibu Kota Negara Indonesia di Jakarta berada di Pulau Jawa. Maka di masa mendatang, dengan ditetapkannya Provinsi Borneo Timur sebagai lokasi Ibu Kota Negara Indonesia yang baru, maka konsep geostrategi pembangunan nasional dalam berbagai aspek idealnya dengan pendekatan berbasis Kebudayaan Dayak.

Diplomasi kebudayaan dari aspek pertahanan negara adalah mempelajari bagaimana pengelolaan sumber daya dan kekuatan nasional baik pada saat masa damai, perang, dan sesudah perang. Serta dalam menghadapi segala bentuk ancaman dari dalam negeri maupun luar negeri.

Strategi-strategi dalam mempersatukan bangsa dari ancaman, baik dari luar maupun dalam, tidak terlepas dari doktrin-doktrin (kearifan lokal) yang ada dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. Untuk itulah, dibutuhkan keberadaan kebudayaan sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia, termasuk Kebudayaan Suku Dayak, sebagai budaya strategis bangsa Indonesia.

Kebudayaan Suku Dayak mesti dijadikan salah satu akar dari kebijakan-kebijakan yang dibuat Pemerintah Republik Indonesia, dalam menentukan masa depan bangsa.

“Kaitan Ibu Kota Negara yang di pindahkan dari Jakarta ke Provinsi Borneo Timur, maka trilogi peradaban kebudayaan masyarakat di Benua Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara, dapat dijadikan nafas di dalam menyusun konsep geostrategic,” ungkap Yulius Yohanes. (www.suarapemredkalbar.com, 30/5)

Seperti yang dinyatakan oleh Dr. Yulius di atas, bahwa salah satu yang menjadi pendorong perpindahan IKN adalah agar pembangunan tidak terkesan Jawa Sentris tapi menjadi Indonesia Sentris. Kenyataannya memang demikian. Sebagai bukti, Sri Mulyani menyampaikan bahwa 60% perputaran uang hanya terfokus di Jakarta saja. (www.cnbcindonesia.com., 24/03).

Sedangkan, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang P.S Brojonegoro mengatakan, apabila dilihat dari kondisi kesenjangan wilayah yang ada, sekitar 80% kontribusi wilayah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional berasal dari KBI khususnya Pulau Jawa dan Sumatra. (www.mbisnis.com, 22/03)

“Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, begitulah kira-kira peribahasa yang menggambarkan bahwa adat istiadat dimana kita berada harus kita hormati. Ketika IKN berpindah ke Kalimantan, maka artinya pembangunan harus memperhatikan adat istiadat setempat. Pembangunan harus selaras dengan Kebudayaan yang terdapat di dalamnya.

Namun, tentu saja kita harus melihat bahwa kemajemukan Indonesia terepresentasikan juga di bumi Borneo ini. Di dalamnya tidak hanya ada suku Dayak, akan tetapi terdapat suku-suku lain yang hidup berdampingan.

Ketika kita kaitkan dengan dorongan Indonesia sentris tersebut, maka artinya pembangunan harus mengakomodir kemajemukan yang ada di Indonesia. Perbedaan suku, agama, ras, budaya tidak boleh dibeda-bedakan satu sama lain. Artinya, dimanapun IKN berada, maka geostrategi pembangunan harus mengakomodir kemajemukan nusantara.

Tidak ada yang menafikan bahwa Indonesia memiliki berbagai potensi, dari mulai potensi SDAE, militer, demografi, geopolitik, bahkan ideologi. Namun, harus dirancang geostrategi yang tidak hanya akan mengakomodasi kesejahteraan, namun juga kedaulatan bangsa dan negara dari intervensi asing. Sehingga rancangan IKN harusnya memperhatikan aspek-aspek tersebut.

Sayangnya, saat ini yang dijadikan sebagai landasan pembangunan negeri ini, bukan hanya berpihak pada satu adat saja namun sejatinya tidak lepas dari landasan kapitalisme-liberal. Semua kebijakan geopolitik termasuk perpindahan IKN ditakar dengan sudah pandang untung dan rugi. Keuntungan yang ada pun hanya mengalir pada segelintir orang yang disebut para kapital dan para oligarki.

Maka dari itu landasan kapitalisme-liberal tidak bisa dijadikan landasan dalam geopolitik negara dan pembangunan. Karena hanya menghasilkan sikap-sikap mementingkan sebagian golongan dan kelompok tertentu saja. Terlebih lagi akan menjadikan negara ini semakin terjebak di dalam dominasi kepentingan global Barat baik dari sisi politik, ekonomi maupun geopolitik, dan tidak memiliki kemandirian.

Oleh karena itu Islam hadir sebagai solusi untuk menghentikan kapitalisme-liberal. Islam tidak hanya sebatas agama. Namun Islam adalah sistem kehidupan. Tidak ada satupun aspek kehidupan yang luput dari gambaran Islam, termasuk dalam kehidupan bernegara.

Ketika sebuah negara menjadikan Islam sebagai rujukan, maka pembangunan yang akan diwujudkan tidak memihak pada satu pihak seraya mengesampingkan pihak lain. Namun, pembangunan akan diimplementasikan secara adil, dari pusat sampai daerah, semua harus mendapatkan pemerataan sebagai wujud keadilan. Karena merupakan kewajiban di dalam Islam.

Tidak hanya itu, sistem Islam akan mensublimasi segala macam perbedaan di tengah masyarakat secara adil. Islam juga dapat mengatasi berbagai macam kemajemukan tanpa melebihkan satu golongan di atas golongan yang lain dari aspek keadilan, kesejahteraan dan kehidupan publik lainnya. Semua mendapatkan hak yang sama. Namun untuk kehidupan pribadi diserahkan kepada masing-masing individu terkait akidah dan ibadah agama maupun adat istiadat tanpa ada paksaaan.

Sejarah telah membuktikan hal tersebut selama lebih dari 13 abad ketika Islam hadir di 2/3 dunia dengan berbagai kemajemukan. Sistem Islam akan membuat negara terjaga integritas dan kedaulatannya karena hal tersebut adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar, perintah ilahiyah yang harus diwujudkan secara optimal oleh negara.[]

Wallahualam