April 18, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

POLEMIK HUKUMAN MATI DALAM SISTEM DEMOKRASI

Oleh : Fitri Khoirunisa, A.Md (Aktivis Back To Muslim Identity)

Tindakan kejahatan yang ada di Indonesia saat ini semakin tidak tertangani, baik dari kasus korupsi yang semakin merajalela dan kasus kekerasan seksual yang setiap hari mengintai wanita dan anak-anak. Kita tahu sendiri bagaimana latar belakang hukum dalam sistem demokrasi saat ini, sungguh jauh dari kata layak untuk dipertahankan sebagai aturan bagi masyarakat.

Kejahatan tingkat berat seperti korupsi dan kekerasan seksual masih belum mendapatkan yang memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain, buktinya berbagai kasus serupa terus terjadi dan  tetap merebak. Namun di saat hukuman mati diajukan timbul polemik antara memberikan efek jera dan komitmen dalam penegakan HAM.

Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid telah  mengkritisi pernyataan dari Ketua Komnas HAM yang tidak setuju pemberlakuan hukuman mati terhadap Herry Wirawan, terdakwa kasus rudapaksa terhadap 13 santriwati. Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik Komnas HAM dan pihak lain yang ngotot agar RUU TPKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, tapi menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelaku kejahatan kekerasan seksual terhadap anak-anak. HNW mengingatkan mereka agar konsisten dengan menghormati dan melaksanakan prinsip konstitusi bahwa Indonesia adalah Negara Hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.(tribunnews.com, 15/01/2022).

Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana, menilai secara prinsip dan yuridis positivis, tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus ASABRI, Heru Hidayat oleh jaksa penuntut umum (JPU) tidak memberikan efek jera. Kalau hukuman mati dalam kasus Asabri ini, tidak masuk jika hakim merujuk betul pada Perma Nomor 1 Tahun 2020.

Di sisi lain tindak pidana korupsi dalam kasus ASABRI tidak masuk dalam kategori tindak pidana dalam keadaan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati. Keadaan tertentu tersebut adalah bencana nasional, kondisi krisis ekonomi-moneter dan pengulangan tindak pidana. (jawapos.com, 16/01/2022).

Dari dua kasus di atas sudah sangat terlihat bahwa rasa percaya publik kian hari terus berkurang, bahkan hilang dan tidak tersisa terhadap penegakan hukum dalam sistem demokrasi. Ketika peristiwa kejahatan yang dialami masyarakat justru sering disikapi dengan enggannya masyarakat untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib. Hal ini dikarenakan setiap publik menuntut keadilan, saat itu pula mereka harus menelan pahitnya proses pengadilan.

Pelaku kejahatan tingkat berat, seperti korupsi, dapat sanksi penjara tiga tahun. Kini, pelaku kejahatan seksual yang dituntut hukuman mati malah dianggap tidak sejalan dengan penegakan HAM dan UU KHUP. Sementara, korban tindak kejahatan terus berjatuhan tanpa mendapat perlakuan yang seadil-adilnya.

Oleh karenanya semakin membuktikan bahwa suatu hal yang utopis ketika mengatakan demokrasi mampu menumpas segala tindak kejahatan. Oleh karena itu, karena telah terbukti demokrasi merupakan sesuatu yang utopis untuk memberantas kejahatan, mengapa masih menggantungkan solusi pada system yang gagal ini? Semestinya, publik menyadari sistem gagal tidak akan membawa kebaikan, melainkan kehancuran.

Sungguh sangat mengejutkan “Prestasi” buruk demokrasi, selain banyak memproduksi UU juga tidak mampu memberikan solusi  atas permasalahan rakyat dan negara. Demokrasi juga tidak mampu menciptakan lingkungan aman bagi tempat tinggal manusia. Kejahatan terus meningkat tajam karena terlalu banyak kasus yang harus diselesaikan bahkan berakhir pada tumpukan berkas-berkas di meja pengadilan.

Sistem demokrasi juga meniscayakan manusia membuat hukumnya sendiri. Halal dan haram tidak menjadi standar penilaian. Semuanya dilihat dari segi manfaat. Inilah sebab demokrasi disebut sebagai sistem cacat. Konsekuensinya, hukum akan berubah-ubah sesuai kepentingan para pembuatnya dan manfaat materi yang mereka lihat.

Oleh karenanya, tidak heran jika yang benar menjadi salah dan perkara salah menjadi benar. Hukum pun dapat diperjualbelikan. Semuanya demi uang. Moralitas diabaikan, agama dibuang dari praktik kehidupan. Jika demokrasi merupakan sumber masalah dari berbagai tindak kejahatan, seharusnya kita beralih pada sistem Islam yang menyolusi segala tindak kemaksiatan.

Dalam Islam, kejahatan adalah perbuatan tercela, sedangkan yang tercela adalah apa saja yang dicela oleh Asy-Syari’. Saat syariat menetapkan suatu perbuatan itu tercela, sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. Perbuatan itu dianggap sebagai dosa yang harus dikenai sanksi. Jadi, substansi dosa adalah kejahatan. (al-Maliki, Abdurrahman. (1990). Nizham al-Uqubat. Beirut Lebanon: Dar al-Ummah. hlm. 5).

Sistem hukum pidana Islam disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Firman Allah Swt., “Dalam hukum kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 179). Maksud dari ayat ini adalah terdapat hikmah yang sangat besar dalam hukum kisas, yaitu menjaga jiwa.

Setiap manusia yang berakal sehat akan menyadari bahwa jika ia melakukan pembunuhan, ia terancam mendapat sanksi hukuman mati. Ia pun tidak akan berani melakukan pembunuhan. Di sinilah fungsi pencegahan (zawajir), yaitu mencegah manusia dari tindak kejahatan.

Setiap sanksi dalam Islam telah diatur sedemikian rupa guna mencegah manusia dari berbagai tindakan kejahatan dan menebus dosa pelakunya di hadapan Allah Swt.. Namun, setiap sanksi yang ditetapkan mengharuskan adanya seorang Khalifah dalam institusi Khilafah. Tidak bisa memberlakukan sanksi pidana Islam dalam bingkai demokrasi. Sebab, demokrasi merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam.

Aturan dalam Islam bersifat paripurna, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada satu pun permasalahan yang luput tanpa solusi. Dalam Islam, pemerkosa dijatuhi had zina (sanksi atas perzinaan). Jika pelakunya telah menikah (muhshan), ia dirajam sampai mati. Sementara, jika pelakunya belum menikah (ghayr muhshan), ia dijilid dengan seratus kali dera.[]