March 28, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Omnibus Law Ruu Ciptaker : Memberangus Cipta Kerja Dan Sinyal Otoriter (Bagian 2)

Oleh : Taofik Andi Rachman, M.Pd.

Pengisi Tetap Channel Youtube Majelis Baitul Ummah

C. Dengan Omnibus Law RUU Ciptaker, Rezim Makin Otoriter

Hasil kajian terhadap RUU Ciptaker, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengeluarkan kertas kebijakan berjudul “Omnibus Law Cipta Kerja: Obsesi Pembangunan yang Merampas Ruang dan Mengorbankan Pekerja”. Tulisan yang merupakan kritik, dan rekomendasi LBH Jakarta kepada pemerintah dan DPR RI terkait Omnibus Law Ciptaker. (Tirto.id, 26/08/2020)

Kajian dari LBH Jakarta tersebut mengkritik dua hal yaitu metode legislasi dan substansi dalam Omnibus Law Ciptaker.

Pertama, dari segi metode legislasi yang digunakan pemerintah untuk membuat produk RUU Ciptaker tidak biasa. Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2019, metode Omnibus Law tidak dikenal.

Mereka juga menyatakan bahwa di berbagai belahan dunia, “metode Omnibus Law dianggap sebagai cara yang tidak-demokratis (undemocratic) bahkan despotis (despotic).” Padahal, pemerintah harusnya mengawali RUU Ciptaker dengan memberikan perlindungan maksimal bagi kaum pekerja untuk merealisasikan iklim kerja yang produktif dan berkualitas. (Tirto.id, 26/08/2020)

Kedua, dari segi substansi. LBH Jakarta menyoroti tiga isu utama substansi yang terkandung dalam Omnibus Law Ciptaker. Satu “memangkas aturan” yang menurut LBH jumlahnya mencapai 516 peraturan. Menurut LBH, hal itu justru malah akan melahirkan banyak peraturan pelaksanaan yang baru. Akibat dari jumlah peraturan pelaksana yang besar ini membuktikan bahwa hipotesis pemerintah tentang efektivitas RUU Ciptaker sebagai cara menyelesaikan tumpang tindihnya regulasi di Indonesia tidak terbukti.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mencatat setidaknya akan diperlukan 493 peraturan pemerintah, 19 peraturan presiden, dan 4 peraturan daerah baru demi RUU ini bisa berjalan. Sehingga totalnya diperlukan 516 peraturan pelaksana. (Tirto.com, 16/02/2020)

Sementara dua isu lain yang disorot LBH adalah ketenagakerjaan; serta perkotaan dan masyarakat urban. Menurut LBH, Omnibus Law hanya akan melahirkan ketidakadilan berupa pengorbanan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, penghilangan hak-hak pekerja perempuan, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang PHK massal, hingga penghapusan pidana perburuhan.

Ditambah ada pasal-pasal di RUU Ciptaker (Pasal 170 dan 166) yang menabrak dan melanggar konstitusi. Pasal 170 RUU Ciptaker mengatur bahwa Peraturan Pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang. Hal itu bertentangan dengan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang.

Sedangkan pada Pasal 166 RUU Ciptaker menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi. (Kompas.com, 18/02/2020)

Omnibus Law ini akan terlalu banyak memberikan delegasi kepada eksekutif melalui pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) dan/atau Peraturan Presiden (Perpres) untuk membuat Undang-Undangan. Sehingga pemerintah akan semakin otoriter dengan bebas mengubah dan mengatur Undang-Undang sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka.

D. Ilusi Demokrasi, dan Kekuasaan dalam Islam ada Batasan Tegas

Inilah ilusi negeri demokrasi. kedaulatan di tangan rakyat hanya sebagai slogan belaka dan tidak ada realitasnya. Hal ini dibuktikan dengan setiap akhir sebuah cerita, rakyat harus mengalah pada para pemilik kekuasaan dan para pemilik modal. Tingginya pangkat penguasa mempengaruhi tinggi pengaruhnya terhadap kekuasaan. Semakin banyak modal maka semakin banyak pula suaranya dan daya pengubahnya. Sementara rakyat semakin tidak diperhatikan sama sekali suaranya.

 Adagium ‘dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat’ itu tidak ada. Justru yang ada ‘dari perusahaan oleh perusahaan untuk perusahaan’. Demokrasi selalu melihatkan kenyataan dirinya yang selalu bertolak belakang dengan keinginan dan harapan rakyat. Kita bisa lihat bagaimana kebijakan atau pembuatan regulasi di negeri ini justru tidak mewakili aspirasi rakyat. Contohnya, dari kenaikan tarif BPJS Kesehatan, kenaikan harga BBM, revisi UU KPK dan banyak lagi.

Begitu juga kredo demokrasi berupa Trias Politica, yakni kekuasaan negara dibagi menjadi kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, telah mengalami distorsi dalam praktiknya menjadi Trias Cleptomaniaca yang tidak mengabdi untuk kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan diri sendiri. Pemilik kekuasaan bisa membentuk kekuatan kleptokrasi (pemerintahan penjarah), yang memindahkan kekayaan nasional dari rakyat kepada lapisan atas yang berkuasa.

Sistem demokrasi yang disebutkan sebagai pemerintahan rakyat sejatinya bisa berubah ke format yang berbeda sebuah sistem oligarki dan korporatokrasi. Kini kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga kekuatan yaitu, pengusaha, elit dan penguasa. Kekuasaan seperti inilah yang ada di negeri-negeri kaum Muslim, khususnya di Indonesia.

Akhirnya, untuk menghentikan semua kekacauan politik dari cengkeraman oligarki dan pemerintahan korporasi hanya bisa terjadi jika dengan menghancurkan demokrasi. Kekuasaan mereka hanya bisa tumbuh subur di dalam dunia demokrasi. Kemudian menggantinya dengan sistem  pemerintahan baru, yakni Khilafah Islamiyah. Khilafah Islamiyah memiliki tatanan politik yang menjamin praktik perpolitikan dari kejahatan oligarki dan korporatokrasi. Khilafah akan menerapkan syariah Islam, sehingga tidak akan ada ruang bagi kejahatan korporatokrasi dan semua turunan dari demokrasi. Islam mewajibkan Khalifah menjadi pelayan urusan rakyat saja.

Posisi kekuatan pengusaha akan terbatas karena Islam telah membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Pengusaha tidak akan bisa mengeksploitasi barang tambang berlimpah atau minyak di laut lepas karena itu semua milik umum. Khilafah mengelolanya kemudia hasil usahanya diberikan kembali kepada kepentingan dan kebutuhan rakyat.

Penguasa di dalam Islam juga dibatasi oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tidak bisa dilewati. Jika dilewati maka rakyat dan Qadhi Mazhalim yang akan menurunkannya. Sehingga mereka tidak bisa sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaan. Ditambah lagi ada kontrol muhasabah lil hukam pada diri rakyat dan partai politik Islam. []

Wa Allahu A’lam