April 20, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Nestapa Guru Honorer, Potret Buruknya Pembiayaan Pendidikan

Oleh : Khairani (Aktivis Back To Muslim Identity)

Demi memenuhi kebutuhan hidup, apapun profesinya selama itu didapat dengan cara yang halal maka hal tersebut pasti akan ditempuh oleh seseorang. Tidak terkecuali bagi mereka yang memilih berprofesi sebagai guru non-Pegawai Negeri Sipil (PNS) alias honorer.

Namun kesejahteraan guru honerer di berbagai wilayah pelosok negeri sangat mengkhawatirkan, karena mereka menerima upah yang jauh dari kata layak. Pemerintah mencoba mengangkat derajat mereka lewat seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) guru honorer adalah individu yang ditugaskan sebagai guru bukan ASN di satuan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah. Adapun gaji dan tunjungan PPPK diatur dalam PP nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan PPPK pada Pasal 4 (1) yaitu, besaran gaji PPPK 2021 untuk guru honorer yang lulus adalah sesuai dengan tunjangan PNS di instansi setempat. Selain gaji PPPK 2021, guru honorer yang lulus akan mendapatkan 5 tunjangan P3K 2021 sekaligus, yakni tunjangan keluarga, pangan, jabatan struktural, jabatan fungsional, dan lainnya. (detik.com, 19/9/2021)

Peran Penting Guru

Guru memiliki peran yang sangat besar, karena merekalah yang mendidik para generasi sehingga menjadi generasi yang unggul. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935. Jika kita lihat maka rasio rata-rata perbandingan guru dan siswa adalah 1:16. Perbandingan ini merupakan rasio yang ideal dalam pemenuhan layanan belajar.

Namun jika ditinjau dari status kepegawaian para guru, maka terang-benderanglah peran signifikan guru honorer. Mayoritas dari mereka berstatus sebagai guru honorer. Bahkan saat ini baru 1.607.480 orang atau sekitar 47,8 persen dari jumlah guru secara keseluruhan yang memiliki status sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sedangkan 62,2 persen sisanya merupakan guru honorer.

Jelas, jika dilihat dari gaji, guru honorer mendapatkan gaji yang sangat minim dibanding dengan guru yang telah berstatus sebagai ASN. Bahkan tidak sedikit guru honerer mencari kerja sampingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Pemerintah kemudian mengambil langkah untuk memberikan kesejahteraan untuk para guru honorer yaitu dengan mengangkat mereka menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun apakah ini cukup menjadi solusi?

Buruknya Pembiayaan Pendidikan

Kesejahteraan bisa dikatakan sebagai barang langka yang ada pada sistem hari ini. Pasalnya, untuk meraih kesejahteraan diperlukan pengorbanan yang cukup besar. Begitulah kiranya yang dirasakan oleh para guru honerer mengharapkan penghasilan yang lebih menyejahterakan melalui PPPK ini.

Mendapatkan status sebagai PPPK tidak bisa didapat begitu saja. Pengangkatan guru honorer menjadi PPPK dilakukan dengan proses seleksi. Seleksi yang dilakukan menggunakan metode seleksi dengan Computer Asissted Test (CAT) sebagaimana yang dilakukan pada pelaksanaan ujian seleksi CPNS. Seleksi dilakukan dengan mengisi banyak soal dengan waktu yang terbatas dan harus bersaing dengan banyak peserta seleksi lainnya.

Penyeleksian PPPK Guru Honorer inipun menuai banyak kritikan, salah satunya berasal dari Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Irwan Fecho. Dia berpandangan proses pengangkatan guru honorer menjadi PPPK seharusnya dilakukan berdasarkan masa pengabdian seseorang sebagai guru.

Menurutnya, guru yang telah cukup masa mengabdinya seharusnya tidak mengikuti proses seleksi lagi karena akan mengalami kesulitan bersaing dengan guru yang masih muda masa pengabdiannya. Irwan menyayangkan pemerintah masih membiarkan guru-guru honorer yang cukup masa pengabdiannya mengikuti proses seleksi PPPK serta CPNS hanya untuk memperoleh kesejahteraannya. Dia pun mempertanyakan perhatian Mendikbud Ristek Nadiem Makarim terhadap dedikasi para guru, apalagi ketika tahu ada yang gagal menembus ambang batas seleksi (passing grade). (nasional.sindonews.com, 19/9/2021)

Sedih melihat para guru honorer senior yang sudah mengabdi puluhan tahun mendidik anak bangsa harus mengikuti tes seleksi hanya karena mereka ingin mendapat penghidupan yang lebih layak. Mereka harus bersaing dengan peserta lain yang merupakan guru honerer Fresh Graduate dan memiliki usia yang terpaut sangat jauh dengan usia mereka. Ditambah mereka yang sudah lanjut usia tentunya harus bersusah payah mengikuti tes tersebut dengan segala keterbatasan kompetensi yang mereka miliki.

Islam Menyejahterakan Para Guru

Pengangkatan guru honorer dengan program PPPK pada dasarnya menegaskan buruknya sistem hari ini dalam menyediakan layanan Pendidikan bagi rakyat, memfasilitasi Pendidikan dengan jumlah guru yang memadai dan berkualitas serta membiayai kebutuhan Pendidikan termasuk dengan menempatkan secara terhormat dan menggaji secara layak para pendidik.

Hal ini berkebalikan dengan sistem khilafah yang menempatkan Pendidikan sebagai hak dasar publik. Pendidikan akan melahirkan para cendekiawan, manusia-manusia bertakwa dan generasi terbaik yang akan membawa kebermanfaatan pada agama, bangsa dan negara. Oleh sebab itu, pendidikan adalah hal yang sangat diperhatikan oleh negara.

Islam juga memerintahkan untuk memuliakan para guru, dan siapa saja yang memuliakan gurunya maka balasannya adalah surga. Nabi SAW bersabda seperti yang dikutip dalam Lubab al-Hadits oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi, “Barangsiapa memuliakan orang berilmu (guru), maka sungguh ia telah memuliakan aku. Barangsiapa memuliakan aku, maka sungguh ia telah memuliakan Allah. Barangsiapa memuliakan Allah, maka tempatnya di surga”.

Islam tidak mengenal istilah guru honorer atau guru tetap. Karena semua guru adalah sama didalam Islam. Mereka harus ditempatkan secara terhormat dan diberi gaji secara layak.

Tercatat dengan tinta emas sejarah kegemilangan Islam, sistem pendidikan Islam sangat memuliakan posisi guru. Kesejahteraan guru sangat diperhatikan. Sangat masyhur bagaimana pada masa Khalifah Umar bin Khattab, gaji pengajar adalah 15 dinar/bulan atau sekitar Rp. 36.350.250,- .

Atau di zaman Shalahuddin al Ayyubi, guru mendapatkan gaji lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar. Sehingga wajar, para guru menjadi bersemangat dan fokus dalam mendidik generasi tanpa disibukkan mencari tambahan penghasilan di luar mengajar seperti para guru honorer saat ini.

Dengan sistem politik-ekonomi yang berlandaskan pada Islam, negara dapat memberikan pembiayaan Pendidikan secara maksimal, sehingga dapat memfasilitasi seluruh keperluan demi terpenuhinya pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat.

Maka mengharapkan sistem pendidikan terbaik hanya dapat dijumpai pada sistem pemerintah Islam yakni Khilafah Islamiyah, yang telah terbukti kegemilangannya. Pendidikan berkualitas, semua rakyat terpenuhi hak pendidikannya dan para guru mendapatkan penghargaan yang sangat mulia atas jasa yang telah mereka berikan untuk mendidik generasi terbaik. Wallahu a’lam bish-shawab.[]