March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Narasi Radikalisme : Alat Penjajahan dan Strategi Pecah Belah Umat Islam

Para pembaca sekalian, masih ingat di benak kita Menag, Facrul Razi berulang kali menyatakan pernyataan yang kontroversial sekaligus menyakiti hati umat Islam. Menuduh PAUD sudah terpapar radikal hingga permasalahan celana cingkrang dan cadar.

Bahkan di awal tahun, merevisi materi Khilafah dan kurikulumnya hanya dari sisi fikih menjadi materi sejarah, tapi ketika ada film JKDN (Jejak Khilafah di Nusantara) yang berdasarkan sejarah malah ditolak. Baru-baru ini beliau menyatakan paham radikalisme muncul dari remaja yang berpenampilan menarik (good looking), memiliki kemampuan bahasa arab yang baik dan Hafiz Quran.

Di sisi lain, Al-Quran telah dilecehkan dan dihina. Kelompok yang nyata-nyata gerakan radikal anti-Islam telah merobek-robek, meludah bahkan membakar Al-Quran di Swedia hingga menyebar ke Norwegia, Skandinavia. Namun, Menag diam seribu bahasa, tak ada satupun pernyataan yang keluar dari mulut beliau.

Hal ini menjadi bukti bahwasanya narasi radikalisme telah menjadi standar ganda yang diperuntukkan dan ditujukan kepada umat Islam dan ajarannya. Umat islam dianggap pihak radikal dan ajaran Islam khususnya Khilafah termasuk paham yang berbahaya.

Padahal, kalau kita mau merujuk pengertian radikalisme dalam situs Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki tiga arti. Radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, atau sikap ekstrem dalam aliran politik. Selain itu, pengertian radikalisme yang lain adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Menurut penelitian Faiz Yunus (2017) beberapa definisi radikalisme memiliki makna yang positif, yakni memiliki makna tajdid (pembaharuan) dan islah (perbaikan), suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Artinya pandangan/cara berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan perdamaian lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya dapat hidup rukun dan tenteram.

Artinya pemahaman terhadap radikalisme saat ini sudah dilencengkan ke arah yang negatif, itupun dilakukan dengan sikap diskriminasi terhadap seseorang atau kelompok tertentu karena berlawanan dengan kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Padahal yang didiskriminasi tidak pernah sekalipun melakukan praktik kejahatan apalagi tindakan kekerasan.

Apabila kalau kita mau terbuka dengan jujur sebenarnya yang dihalangi adalah ide terhadap penerapan syariah dan Khilafah. Pertanyaannya kenapa syariah dan Khilafah jadi masalah? Karena dengan penerapan syariah dan Khilafah maka akan menutup habis dominasi Barat dan sekutunya terhadap negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.

Barat dengan ideologi sekulerismenya, telah mengambil sumber daya alam serta menjadikan negeri-negeri muslim sebagai konsumen dari pasar peradaban dan produknya. Oleh karena itu, mereka tidak ingin apabila umat Islam itu bangkit dengan ide syariah dan Khilafah. Mereka juga memahami dan menyadari bahwa yang bisa menghentikan dominasi dan penjajahan mereka adalah aktivitas politik dalam bentuk perjuangan tegaknya Khilafah.

Upaya penghadangan juga sudah dilakukan sejak Khilafah Turki Utsmaniyah diruntuhkan. Pada tahun 2000-an aktivitas tersebut semakin gencar dilakukan dengan slogan War on Terorism. Bahkan mereka juga melakukan kajian serta riset yang mendalam tentang kebangkitan Khilafah. Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat, NIC (National Intelegent Council) pada akhir tahun 2004 membuat laporan terkait hal tersebut. Maka dari itu mereka tidak berhenti untuk menghalangi tegaknya Khilafah.

Menurut Ahmad Sastra (2018), salah satu postulat yang ditebarkan oleh Barat melalui berbagai corong media mereka saat ini adalah atribut “Islam radikal” atau istilah radikalisme. Sebagai strategi adu domba sesama Muslim, maka Baratpun membuat istilah tandingan kontra radikalisme yang disebut dengan “Islam moderat”. Baik Islam radikal maupun Islam moderat, keduanya adalah istilah yang diproklamirkan Barat untuk menyerang Islam. Istilah-istilah inilah yang digunakan sebagai narasi menghalangi Khilafah.

Narasi radikalisme memang sengaja dilakukan untuk beberapa tujuan diantaranya menumbuhkan keraguan (skeptis) pada umat Islam akan kebenaran Islam serta menghilangkan rasa kebanggaan terhadap ajaran Islam dengan cara memberikan stigma buruk terhadap Islam. Dan hal ini beberapa diantaranya berhasil, umat Islam pun terpengaruhi. Tujuan lainnya adalah agar Umat Islam mau mengambil dan memuja permikiran serta peradaban Barat, akhirnya mengambil perundangan-undangan dan aturan dari Barat untuk mengatur segala aspek kehidupan kaum Muslim.

Alhasil, bukankah menggunakan ‘istilah radikalisme’ untuk menghalangi penerapan syariah dan tegaknya Khilafah termasuk radikal? Atau sikap ekstrem dengan tindakan tuduhan, paksaan ketetapan hukum, serta persekusi terhadap individu-individu aktivisnya hingga kelompok yang memperjuangkannya merupakan tindakan radikalisme? Sedangkan bagi yang ingin menerapkan syariah dan Khilafah, radikalnya semata-mata untuk perbaikan dengan aktivitas pemikiran, membentuk masyarakat yang tenteram dan berkah dengan aktivitas dakwah tanpa kekerasan apakah layak dikatakan radikal?

Maka, sebagai sesama Muslim perlu untuk saling nasehat-menasehati. Allah SWT telah menjelaskan tentang penentang Al-Quran dan senantiasa membuat narasi buruk terhadap Al-Quran. Allah SWT berfirman yang artinya : “Lalu dia berkata, “(Al-Quran) ini hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dulu). Ini hanyalah perkataan manusia.” (TQS al-Muddatstsir [74] : 24 – 25). Artinya sejak dulu, sudah terdapat narasi untuk menjatuhkan Al-Quran sebagaimana narasi radikalisme digunakan untuk mencitraburukkan Islam dan ajarannya.

Rasulullah saw juga bersabda “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia,” para sahabat bertanya “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Para ahli Al-Quran. Merekalah keluarga Allah dan hamba pilihannya” [HR Ahmad].

Para ulama juga sudah menjelaskan bahwa yang dimaksud ahlul Quran bukan sekedar menghafal dan membaca saja, namun mengamalkan Al-Quran, yakni menjalankan perintah dan menjauhi larangan, serta tidak melanggar batasan-batasan yang digariskan Al-Quran. Mereka itulah ahlul Qur’an. Oleh karena itu, jika seseorang menyepelekan batasan-batasan dari Al-Quran maka ia bukan termasuk ahlul Quran.

Akhirnya, daripada kita menentang Al-Quran atau ingin mencitraburukkan Islam dan ajarannya, pasti akan dapatkan kehinaan dan bukan bagian dari ahlul Quran. Tentu saja lebih baik kita menjadi pembela Al-Quran dan bersama-sama menerapkannya, dan itu semakin sempurna dengan institusi Khilafah. Selamat Membaca. []