March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Mungkinkah SKB 3 Menteri terindikasi Islamophobia? (Bagian 1)

Oleh : Farhan – Intelektual Muslim

Elianu Hia, tidak terima anaknya diharuskan mengenakan jilbab sebutan baju kurung dan kerudung di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 2 Padang. Saat dipanggil oleh pihak sekolah, Kamis (21/1), ia merekam perdebatannya dengan pihak sekolah dan menyebarluaskannya di media sosial secara live.

Setelah itu, Elianu menggunakan jasa pengacara untuk menyelesaikan kasus ini. Tak cukup di sekolah, pengacara pun mengangkat kasus ini ke level nasional dengan cara menyurati Presiden Jokowi. Dia meminta Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang berisi larangan bagi seluruh Lembaga Pendidikan dari tingkat SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi untuk tidak mewajibkan non muslim memakai hijab/jilbab.

Kontan, media-media mainstream mengangkat kasus ini bak sebuah peristiwa besar. Sampai Menkopolhukam Mahfud MD melalui akun twitternya menyampaikan komentarnya “Setelah sekarang memakai jilbab dan Busana Muslim dibolehkan dan menjadi mode. Tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak non muslim memakai jilbab di sekolah”, cuitan Mahfud.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tak kalah reaktifnya. Melalui Instagram pribadinya ia mengunggah video. Ia meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku, segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat.

Tidak hanya itu, pemerintah kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri) Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Dalam Salinan SKB tiga Menteri ini ada tujuh keputusan. Diantaranya, peserta didik, pendidik dan tenaga Pendidikan di lingkungan sekolah berhak untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan agama tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, pemerintah daerah dan sekolah memberikan kebebasan kepada peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan untuk memilih menggunakan  pakaian seragam dan atribut.

Berikutnya, pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, mengimbau, atau melarang pakaian seragam dan atribut dengan kekhasan agama tertentu.

SKB 3 menteri ini juga memuat sanksi bagi pimpinan pemerintah daerah atau kepala sekolah bagi yang tidak melaksanakan keputusan ini. Pemda bisa memberikan sanksi disiplin bagi kepala sekolah pendidik, atau tenaga kependidikan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemendagri juga bisa memberi sanksi kepada gubernur berupa teguran tertulis dan atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Dengan adanya SKB ini, pemerintah daerah dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan atau tanpa kekhususan agama. Pemda dan kepala sekolah diberi waktu 30 hari.

“Karena ada peraturan bahwa itu haknya individu. Berarti kosekuensinya adalah Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan-aturan yang mewajibkan ataupun melarang atribut tersebut paling lama 30 hari sejak keputusan Bersama ini ditetapkan,” kata Nadiem, dalam jumpa pers virtual.

SKB ini dikecualikan untuk Provinsi Aceh. “Peserta didik, pendidik dan Tenaga Kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan Keputusan Bersama ini sesuai kekhususan Aceh berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh,”katanya.

Mencuatnya kasus jilbab di Sumatera Barat ini terasa aneh. Sebab, selama ini tak masalah dengan kebiasaan mengenakan pakaian Muslimah bagi siswi di Padang. Bahkan, kebiasaan ini sudah berlangsung 15 tahun yang lalu.

Tidak pernah ada pemaksaan. Namun seolah sudah menjadi kebiasaan sehingga siswi mengenakannya tanpa ada keberatan. Di SMKN 2 Padang sendiri ada 46 siswi non-Muslim. Dari jumlah tersebut, hanya Jeni Cahyani Hia yang menolak mengenakan pakaian tersebut.

Mantan Wali Kota Padang 2004-2014 mengakui, aturan siswi harus memakai baju kurung dan pakai kerudung di sekolah sudah dibuat sejak dirinya menjabat di tahun 2005 lalu. “Itu sudah lama sekali, kok baru sekarang diributkan ? Kebijakan 15 tahun yang lalu itu,” kata Fauzi Bahar.

Ia menjelaskan, aturan memakai pakaian Muslimah bagi murid di Kota Padang awalnya hanya bersifat himbauan. Tapi, kemudian bergeser menjadi Instruksi Wali Kota Padang yang mengatur busana di sekolah. Instruksi itu bernomor 451.442/BINSOS-iii/2005 yang dikeluarkan tahun 2005.

Satu poin instruksi itu adalah mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh Pendidikan di sekolah negeri di Padang Tapi digarisbawahi nomenklatur aturan tersebut ditujukan kepada siswi Muslim saja. Tapi pada praktiknya di lapangan siswi non-muslim juga menggunakan jilbab.

Fauzi menjelaskan, aturan siswi Muslim harus menggunakan kerudung yang memperlihatkan kearifan lokal Minangkabau. Karena sejak dulu adat budaya Minangkabau mengajarkan kaum perempuan berbaju kurung dan memakai penutup kepala.

“Menutup kepala, memakai kerudung dan jilbab itu kebudayaan Minangkabau. Kami ingin institusi dunia Pendidikan berbusana Muslim agar itu menjadi cermin dari Sumatera Barat,” katanya.

Selain itu, pakaian itu bisa menghindarkan pelajar perempuan dari aksi kejahatan, khususnya kejahatan seksual. Dan alasan tidak kalah penting, lanjutnya adalah untuk mempersempit jurang pemisah antara murid anak orang kaya dengan anak orang miskin.

Dulu sebelum ada aturan itu terlihat perbedaan aksesoris anak orang kaya dengan anak orang miskin dari perhiasan yang dikenakan. Seperti gelang, kalung dan anting.

Ia menambahkan, dengan memakai jilbab, anak-anak perempuan yang belajar di sekolah negeri menjadi lebih anggun. Ia menegaskan, aturan yang ia buat tidak pernah memaksa siswi non-Muslim juga harus memakai jilbab. Sifatnya, hanya bersifat imbauan.

Beberapa siswi non-Muslim seperti dikutip republika.id, tak mempermasalahkan soal busana ini. Yulia Hia, misalnya, mengatakan ia selalu mengenakan seragam berjilbab karena ingin menyesuaikan dengan teman-temannya yang lain. “Terpaksa memakai jilbab ini sih enggak. Saya hanya menyesuaikan,” kata murid kelas XII SMKN 2 Padang ini.

Bahkan ia sudah mengenakannya sejak masih di Sekolah Dasar. Karena merasa sudah terbiasa, Yulia mengatakan, ia dan keluarga tidak pernah lagi mempermasalahkannya. Menurutnya, busana itu sama sekali tidak mempengaruhi agama dan kepercayaan yang ia yakini.

Alasan yang hamper mirip di sampaikan oleh Elisabeth Angelia Zega. Angel mengatakan ia bisa saja mengusulkan kepada pihak sekolah supaya dapat memakai pakaian yang tidak memakai jilbab. Namun, ia tidak melakukan hal itu karena ia tidak ingin ada perbedaan mencolok dari teman-temannya yang mayoritas beragama Islam dan memakai kerudung.

Terkait dengan adik kelasnya yang keberatan berbusana Muslimah, Angel mempersilakan adik juniornya itu berprinsip. “Silakan saja. Karena dari awal sekolah memang tidak memaksakan.”kata Angel.

Sementara itu Alumnus SMKN 2 Padang menilai selama ini sekolah selalu memberi ruang untuk memilih. Siswi Non-Muslim tidak dipaksa untuk mengenakan jilbab selama sekolah.

Alumnus SMKN 2 Padang Delima Febria Hutabarat merasakan selama tiga tahun belajar, tidak pernah dipaksa berjilbab. “Guru-guru selalu memberi kami ruang untuk memilih. Tidak pernah ada pemaksaan, apalagi intimidasi,” Ucap Delima.

Lagi pula menurutnya, memakai jilbab tidak merusak keimanan sebagai non-muslim. Ia berharap persoalan aturan memakai jilbab di sekolah ini tidak perlu diperlebar, karena sejak dulu tidak pernah menjadi persoalan. Karena, pihak sekolah juga sudah mengeluarkan pernyataan tidak pernah memaksa siswi non-muslim memakai jilbab.