April 17, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Menyiapkan Muhammad SAW menjadi Nabi dan Rasul (3) : Kehidupan sebagai Pedagang

Dulu Makkah merupakan kota yang paling menonjol aktivitas perdagangannya. Hal ini disebabkan karena kondisi geografisnya merupakan rute kafilah-kafilah dagang. Dan Ka’bah menjadi tempat tujuan mereka yang ingin berhaji. Selain itu, di sana juga terdapat majelis dan pasar-pasar syair yang kemudian menyuburkan perdagangan balaghah dan bayan selain perdagangan komoditas barang-barang.

Ketika Rasulullah Muhammad saw berumur 12 tahun, beliau berfikir untuk mulai berdagang agar dapat membantu pendapatan keluarga pamannya Abu Thalib. Beliau mendapati kesempatan tersebut ketika melihat pamannya bersiap-siap berangkat untuk berdagang ke Syam. Abu Thalib lalu menyetujui permintaan Rasulullah saw untuk ikut bersama kafilah dagang pamannya.

Di dalam perjalanan, tibalah kafilah dagang di Bushra, Syam. Rasulullah saw dan pamannya beristirahat di bawah sebuah pohon besar. Tidak jauh dari pohon, ada tempat pertapaan rahib. Saat itu, seorang rahib yang bernama Buhaira melihat seperti ada cahaya memancar dari wajah Rasulullah saw, yang akhirnya memanggil keduanya. Buhaira bertanya kepada Abu Thalib tentang banyak perkara, dan bertanya tentang identitas Rasulullah saw. Informasi tersebut mendorong rahib Buhaira langsung melontarkan pertanyaan kepada Rasulullah saw tentang Latta dan Uzza, lalu dijawab, “Jangan engkau bertanya kepadaku tentang Latta dan Uzza, karena demi Allah tidaklah aku membenci sesuatu melebihi kebencianku kepada keduanya”.

Setelah melihat tanda-tanda kenabian pada diri baginda Rasulullah saw, Buhaira pun menasehati Abu Thalib untuk membawa pulang Rasulullah saw kembali ke Makkah. Ia berkata, ”pulanglah engkau bersama anak saudaramu ini ke negerinya, waspadalah terhadap Yahudi, karena demi Allah jika mereka melihatnya dan mengetahui darinya apa yang telah aku ketahui maka sungguh pasti mereka akan menimpakan keburukan kepadanya. Sungguh pada anak saudaramu ini terdapat perkara yang besar, maka bersegeralah bersamanya untuk kembali ke negerinya”.

Setelah peristiwa tersebut, Rasulullah saw bertekad berdagang di dalam kota Makkah. Tidak lama beliau memulainya, lalu tampaklah aktivitas para pedagang di Makkah.  Beliau mendapati sebagian besar mereka hanya mempertimbangkan keuntungan dan meraih harta semata. Sedangkan, bagaimana mereka mendapatkan harta, dengan cara apapun mereka memperolehnya, tidaklah diperhatikan. Mereka tidak segan-segan untuk menimbun komoditas barang, lalu menaikkan harganya untuk meraih keuntungan yang besar. Kenyataan inipun membuat Rasulullah saw murka karena jiwa kemanusiaannya menolak kebiasaan tersebut.

Profil Rasulullah saw sebagai pribadi dan pedagang yang jujur, amanah dan berakhlak baik telah dikenal masyarakat Makkah sejak usia muda. Informasi ini kemudian sampai kepada Khadijah binti Khuwailid, sehingga membuatnya tertarik untuk meminta Rasulullah saw ikut dalam kafilah dagangnya ke Syam. Rasulullah saw pun menyetujuinya.  Khadijah meminta Maisarah untuk menemani beliau saw. Peristiwa ini yang menjadi muqaddimah pernikahan Rasulullah saw dengan Khadijah, seorang janda bernasab mulia dan kaya.

Begitulah ri’ayah ilahiyah. Rasulullah saw tidak pernah kehilangan kasih sayang dari rumah tempat tinggal beliau, termasuk di rumah paman beliau Abu Thalib. Pengalaman beliau ikut berdagang dengan pamannya menambah wawasan beliau di luar Makkah. Selain itu, pertemuan beliau dengan rahib Buhaira telah mengungkapkan kehanifan beliau yang sangat membenci Lata dan Uzza. Selanjutnya pengalaman beliau berdagang di Makkah juga menyingkap kebiasaan para pedagang di Makkah yang sangat bertentangan dengan jiwa beliau. Hingga akhirnya Allah SWT memberikan nikmat-Nya, dengan mencukupkan kehidupan Rasulullah saw. Khadijah ra memberikan semua hartanya kepada Rasulullah saw, mengalihkan dan menyerahkan pengurusan bisnisnya kepada Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah SWT

وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ

Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. (TQS. adh Dhuha; 8)

Wallahu a’lam bi ash shawab

Rujukan:

Ibnu Hisyam, as Sirah an Nabawiyah

‘Ali Muhammad Muhammad ash Shallabi, as Sirah an Nabawiyah Samih ‘Athif az Zain, Khatam an Nabiyyin