April 19, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Masihkah Mempertahankan Demokrasi?

Oleh : Nanis Nursyifa

Perhelatan demokrasi di negeri ini semakin menggila. Apalagi hiruk pikuknya sudah dikumandangkan dimana-mana. Ada yang sibuk tebar pesona, ada juga yang sibuk memilih calon presidennya. Semua tak lepas dari semakin kerasnya atmosfer kompetensi orang-orang yang ingin berkuasa di negeri ini.

Demokrasi dicitrakan sebagai antitesis sitem pemerintahan diktator.  Dalam demokrasi rakyat diklaim berdaulat penuh baik dalam politik, ekonomi maupun sosial budaya; politik akan berpihak kepada rakyat; kehidupan rakyat pun makin maju dan sejahtera secara merata. Namun nyatanya, “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanya kata-kata semata. Jika dilihat semua kebijakan yang dibuat bukan lagi untuk rakyat tapi untuk mereka yang punya hajat.

Ya, siapa lagi kalau bukan para korporasi dan oligarki. Tentunya hal ini memberikan kerugian untuk umat yang sudah memberikan suara dan berharap suaranya di dengar, meskipun nyatanya suara rakyat hanya menjadi batu loncatan mereka untuk menggapai kedudukan setinggi-tingginya.

Banyak yang berpendapat bahwa kita memerlukan kepemimpinan baru untuk menuju perubahan, tapi benarkah demikan?? Sedangkan faktanya negara Indonesia sudah beberapa kali memilih dan memilah presiden akan tetapi hasilnya tetap sama, kesenjangan sosial, problematika umat belum bisa dituntaskan bahkan semakin hari semakin bertambah.

Semua yang terjadi bukan tanpa sebab, jika kita sudah berkali-kali memilih dan mengganti pemimpin negeri akan tetapi masih tetap tidak ada solusi, berarti masalahnya bukan lagi pada individu pemimpinnya tapi dari segi sistem yang dipakai oleh negara.

Demokrasi, dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan.  Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Sesuatu itu masih dapat berupa slogan-slogan dan janji (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih” dan “sederhana”), kadang bergandengan dengan publik figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang popular. Yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat pada lunturnya ideologi partai.  Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak dibenak mereka. Mereka terpaku pada sesuatu yang “populer dan electable”.

Dari sisi waktu prosedural, demokrasi juga memberikan waktu jabatan yang begitu singkat kepada siapapun yang menjabat. Sedangkan untuk melakukan sebuah perubahan, tentu saja membutuhkan waktu yang panjang tidak hanya 4 atau 5 tahun saja. Namun, tentu diperlukan pondasi yang benar untuk melakukan perubahan.

Rasulullah saw. yang mampu merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam jangka waktu sepuluh tahun pemerintahannya yang dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu tidak mudah mengukir tonggak keberhasilan dalam waktu singkat, apalagi untuk menunjukan kepada rakyat sebagai pemilih agar rakyat memperpanjang mandatnya. Karena itu tak sedikit yang memilih jalan politik pragmatis yaitu mengejar kemanfaatan jangka pendek.

Tidak aneh jika sekarang kita lihat orang atau partai yang awalnya terlihat sederhana tiba-tiba setelah menjabat hartanya berlipat ganda. Faktor inilah yang membuat demokrasi hanya menguntungkan segelintir orang. Demokrasi di Indonesia tidak membuat sejahtera.

Teringat teori politik ala Machiavelli (1469-1527) teraplikasi secara faktual dalam sistem ini. Bagi Machiavelli, seperti terungkap dalam bukunya, II Principe, dunia politik itu bebas nilai. Artinya, politik jangan dikaitkan dengan etika (moralitas). Yang terpenting dalam politik demokrasi adalah bagaimana seorang raja/penguasa berusaha dengan berbagai macam cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan agar menjadi selanggeng mungkin meskipun cara-cara tersebut inkonstitusional bahkan bertentangan dengan nilai-nilai moral demi keunttungan dan kepentingan pribadi dan kelompok.

Menghalalkan segala cara dalam demokrasi itu adalah hal yang biasa. Mau sampai kapan berharap kepada demokrasi?? .[]

Wallahu’alam bisshowwab