March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Kritik Kontekstualisasi Fiqh: Kompromi Syariat Islam Dengan Pemikiran Barat

Oleh: Mia Purnama, S.Kom

Kementerian Agama menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 dengan tema “Islam in a Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy”, atau reaktualisasi fikih dan kaitannya dengan berbagai kebijakan publik. (Antaranews.com, 24/10/2021)

Di pembukaan acara tersebut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih atau ortodoksi Islam dalam rangka merespons tantangan zaman. “Penting bagi kita saat ini untuk membuka ruang bagi pemikiran dan inisiatif yang diperlukan untuk membangun peran konstruktif bagi Islam dalam kerja sama menyempurnakan tata dunia baru ini,” terangnya. (Kemenag, 25/10/2021)

Menurut Menag, ada empat alasan pentingnya rekontekstualisasi ortodoksi Islam. Pertama, bahwa pengamalan Islam adalah operasionalisasi dari nilai-nilai substansialnya atau pesan-pesan utamanya, yaitu tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmah (rahmat).

Kedua, bahwa model operasionalisasi tersebut harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar praktik-praktik yang diklaim sebagai pengamalan Islam tidak justru membawa akibat yang bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri. Alasan ketiga tentang pentingnya rekontekstualisasi fikih adalah bahwa dakwah Islam harus berjalan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan.

Keempat, bahwa walaupun tidak menjadikan nonmuslim berpindah (identitas) agama menjadi muslim, pengadopsian nilai-nilai substansial Islam sebagai nilai-nilai operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya. (Muslimahnews.com, 3/11/2021)

Kontekstualisasi fiqh yang disampaikan kemenag harus dipahami oleh umat islam. Apakah hal tersebut sejalan dengan syariat islam atau tidak? Oleh karena itu penting bagi kita untuk mentelaah satu demi satu alasan yang di sampaikan oleh kemenag untuk rekontekstualisasi ortodoksi Islam. Juga tidak kalah pentingnya adalah kita harus memahami maksud dari dilakukannya kontekstualisasi fiqh tersebut.

Untuk alasan pertama, memahami Islam secara substansial atau kontekstual bukan lagi tekstual merupakan ciri khas orang-orang liberal sekuler mengompromikan Islam dengan kondisi sekarang. Islam ditafsirkan tidak selaras dengan isi kandungan nash-nashnya, dengan tujuan agar dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang yang rusak. Padahal seharusnya, masyarakatlah yang harus diubah agar sesuai dengan Islam, bukan sebaliknya.

Sedangkan maksud dari ortodoksi Islam yang disampaikan telah menganggap “syariat jadul” dan sudah tidak relevan lagi dengan zaman. Artinya, Islam harus tampil mengikuti arus modernisasi kehidupan saat ini. Seolah hukum Islam itu “jadul” dan tidak cocok dengan zaman sekarang. Mereka menganggap bahwa agama sebatas norma yang cukup terealisasi dalam nilai-nilai (substansi) saja.

Anggapan semacam ini berangkat dari sekularisasi dan liberalisasi yang merasuk sekian lama di tubuh umat. Sehingga upaya untuk menyesuaikan syariat islam sesuai dengan kondisi sekarang menjadi suatu keharusan. Padahal Allah menurunkan syariat Islam untuk diterapkan oleh seluruh manusia tak mengenal masyarakat, tempat dan waktu. Justru menjadi suatu keharusan bagi kita untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan ajaran yang sebenarnya, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu, dan tempat.

Untuk alasan kedua, Menag seakan tidak meyakini penerapan syariat Islam “klasik” yang telah memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Padahal tidak ada dalam sejarah bahwa pengamalan Islam bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Kalaulah ada, yang salah bukan Islamnya, tetapi orang yang mengamalkannya. Adapun syariat Islam sudah sempurna karena berasal dari Zat Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. Sehingga tidak perlu lagi adanya rekontekstualisasi fiqh.

Adapun alasan ketiga, dakwah Islam harus berjalan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat. Apakah harmoni yang dimaksud adalah kompromi dengan ide-ide Barat, seperti moderasi atau sekularisasi? Jika demikian, ini sama saja mencampuradukkan antara yang hak dan batil karena mengkompromikan hukum Islam dengan hukum versi Barat.

Pemikiran semacam ini secara tidak langsung memang tidak menganggap Islam itu tidak sempurna. Tapi menganggap bahwa Islam tidak mampu berdiri sendiri sehingga butuh penyelarasan dengan pemikiran lainnya. Padahal, kesempurnaan Islam telah Allah jamin dengan aturan lengkap yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah. Sehingga tidak perlu lagi menggunakan rumusan lain yang justru menghancurkan Islam itu sendiri.

Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 19)

Mengenai alasan keempat, bukankah dakwah yang kita sampaikan kepada non muslim itu ialah dakwah untuk menyeru agar mereka menerima Islam. Selain itu dakwah yang wajib kita lakukan saat ini adalah dakwah untuk menerapkan kembali aturan Islam dalam kehidupan, dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Dalam islam memang ada yang dikenal dengan istilah ijtihad. Penggalian suatu hukum berdasarkan nash-nash syariah. Tapi faktanya kontekstualisasi fiqh ini sangat berbeda dengan ijtihad. Kontekstualisasi fiqh menafsirkan sesuatu berdasarkan akal bukan nash. Suatu hukum yang telah dijelaskan dengan tegas di dalam al-qur’an malah dikontekstualisasikan.

Contohnya hukum waris yang dikontekstualisasi dengan feminisme, yang akhirnya melahirkan hukum yang salah. Contoh lain, terkait khamr. Dikatakan bahwa keharaman khamr bersifat sekunder dan kontekstual. Karenanya Vodka di Rusia bisa jadi halal karena situasi di daerah itu yang sangat dingin.

Jadi kontekstualisasi fiqh jelas-jelas bertentangan dengan Islam karena merusak hukum-hukum yang sudah jelas maknanya di dalam Islam. Karena itu gagasan untuk rekontekstualisasi fiqh harus kita tolak. Tidak pantas rasanya kita sebagai hamba-Nya yang lemah malah mengutak-atik hukum sesuai selera atau kepentingan kita dan kekuasaan. Padahal Islam sudah sangat jelas membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

“Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.” (QS Al-Baqarah: 42).

Terakhir yang harus dipahami bahwa fikih bukanlah produk pemikiran sebagaimana pendapat pemikir atau filosof, melainkan merupakan pemahaman terhadap wahyu, yaitu dalil syara dengan kaidah yang telah syariat tetapkan pula. Fikih pasti mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Mudarat justru terjadi manakala umat menjauhkan diri dari Islam dan pemahaman fikih yang sahih. Karena itu, mari kita bersama-sama memperjuangkan penerapan Islam agar dapat ditegakkan kembali secara total dan menyeluruh untuk menjadi solusi dan memberikan maslahat bagi manusia.

Wallahu’alam bisshowwab