March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Kesultanan di Nusantara Ternyata Bagian dari Khilafah Islam

Oleh Joko Prasetyo (Jurnalis)

Perlahan tapi pasti, seiring semakin masifnya dakwah diterima, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha berganti menjadi berbagai kesultanan Islam.

Berbagai Kesultanan Islam di Nusantara tentu saja terkait erat atau bagian dari Kekhilafahan Islam. Bahkan secara mengejutkan, pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuono X mengomfirmasi hubungan Kesultanan Yogyakarta dengan Khilafah Utsmani. 

“Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah, Sultan Demak pertama, sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaaha illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka’bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau,’ ujarnya di hadapan sekira 700 peserta kongres, Senin, 9 Februari 2015 di pelataran Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Duplikatnya, lanjut Sri Sultan, tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki. 
Sri Sultan juga menyebutkan di tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda. “Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara,” tegas Sri Sultan.

Mendengar pidato tersebut, sebagian peserta ada yang terperanjat dan langsung menoleh ke delegasi dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustaz Muhammad Rahmat Kurnia. “Meskipun saya juga kaget, saya hanya senyum-senyum saja,” ujar Ustaz Rahmat kepada Media Umat sehari setelah pidato Sri Sultan.

Pasalnya, panitia sudah mewanti-wanti agar delegasi dari HTI tidak menyinggung kata “khilafah” dalam kongres yang dibuka oleh Wapres Jusuf Kalla dan ditutup oleh Presiden Jokowi itu. Tapi Allah tetap saja memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin generasi sekarang untuk mengetahui fakta yang sebenarnya. 

foto: kerisku.id

Tabir Semakin Terungkap
Catatan sejarah hubungan khilafah dengan Nusantara setidaknya diawali sejak Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Budha yang beribu kota di Palembang tersebut pernah dua kali mengirimkan surat kepada Khilafah Islam. Pertama pada masa Khalifah Muawiyah I (berkuasa 661 – 680 Masehi).  
Bagian pembukaan dari surat pertama dikutip oleh al-Jahiz dalam bukunya _Kitab al Hayawan_ (Buku Fauna) berdasarkan 3 rantai isnad. Kutipan surat itu berbunyi: “(Dari Maha Raja) — yang istalnya berisi ribuan gajah, istananya berkilau emas dan perak, dilayani oleh ribuan puteri raja, yang menguasai dua sungai yang mengairi gaharu — untuk Muawiyah.”  

Dan untuk surat yang  kedua dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (berkuasa 717– 720 M). Surat kedua didokumentasikan oleh Abdul Rabbih (860-940 M) dalam karyanya Al-Iqdul Farid.
Potongan surat tersebut berbunyi: “Dari Rajadiraja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.” 

SQ Fatimi memperkirakan surat-surat itu diterima Khalifah sekira tahun 100H/717. Dua surat itu bisa dikatakan sebagai titik awal  Islam masuk ke Nusantara meskipun juga Raja Sriwijaya beserta jajaran pemerintahannya sudah berinteraksi dengan para pedagang Islam yang datang ke Nusantara.
Perlahan tapi pasti, seiring semakin masifnya dakwah diterima, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha berganti menjadi berbagai kesultanan Islam.

Menurut sejarawan Septian AW, para penguasa Muslim di Nusantara mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekah, dalam bahasa sekarang Gubernur Mekah. Syarif Mekah mendapatkan mandat dari Khalifah yang berkedudukan di Istambul (Turki) untuk melakukan itu.

Catatan sejarah, seperti yang dikutip Azyumardi Azra, mengungkap Penguasa Banten Abdul Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekah. Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 juga mendapatkan gelar Sultan dari Syarif Mekah selanjutnya lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Mekah.

Seperti yang sempat disinggung Sri Sultan, Khilafah Ustmani juga berperan penting dalam perlawanan penjajah di Nusantara. Menurut Septian, catatan sejarah yang relatif lebih lengkap adalah perlawanan di Aceh. Pada Abad 16, dokumen resmi Divan-i Humayun merekam kedatangan utusan Aceh ke Istanbul dan permintaan bantuan militer dari Turki, juga persiapan kunjungan angkatan laut Turki ke Sumatera untuk mendukung Aceh pada 1567.

Pada Abad 19, delegasi Aceh datang ke Istanbul pada 1851 dan 1873. Ada pembaharuan janji loyalitas Aceh pada periode sebelumnya dan permintaan bantuan perlindungan Aceh kepada Turki Usmani.
Pada tahun 1849 Sultan Mansur Syah mengirimkan utusan ke Sultan Abdülmecid dengan membawa surat yang menegaskan kembali status Aceh sebagai negeri di bawah Khilafah  Utsmani, dan meminta bantuan menghadapi Belanda.

Satu tahun kemudia mengirim surat kembali. Yang dihasilkan hanya peninjauan wilayah Aceh. Sultan Usmani tidak bisa mengambil keputusan kecuali melalu Dewan Istana.

Pada tahun 1873 kembali Aceh mengirim delegasinya ke Istanbul untuk mendapatkan dukungan dan menyatakan kesetiaan. Namun sayang, di waktu bersamaan banyak daerah Khilafah Ustmani yang juga dijajah oleh negara-negara Kristen Barat. Sehingga pada 13 Juni 1873, khalifah hanya dapat memberikan bantuan secara keagamaan bukan politik.  

Sebagaimana pemerintahannya, hubungan Khilafah Islam dengan para ulama di Nusantara juga erat. Catatan sejarah yang ditemukan, pada Abad 19-20, Aceh terlibat perang dengan Belanda dalam Perang Sabil. Banyak Khatib yang menyerukan jihad dalam khutbahnya. Juga mengagungkan Turki Usmani dan mengharapkan bantuan datang. 

Namun seperti yang disinggung sebelumnya, di penghujung eksistensinya, Khilafah Ustmani tidak dapat memberikan bantuan politik dan militer karena seluruh wilayahnya juga dijajah hingga akhirnya Khilafah Ustmani runtuh pada 1924.[] 

https://www.tintasiyasi.com/2020/08/kesultanan-di-nusantara-ternyata-bagian.html

Dari berbagai sumber. Dimuat pada rubrik KISAH Tabloid Media Umat Edisi 209 (Awal Desember 2018)