April 20, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Inkonsistensi Dibalik Seruan ‘Benci Produk Luar Negeri’

Oleh : Arviah Hasibuan (Anggota Revowriter)

Presiden Joko Widodo kembali meminta seluruh pemangku kepentingan untuk menggaungkan cinta produk Indonesia. Bukan hanya itu, beliau juga meminta agar didorong kampanye untuk membenci produk asing. Hal itu disampaikannya saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan 2021, dilansir dari akun Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (4/3/2021).

“Branding harus melekat agar masyarakat lebih mencintai produk Indonesia dibandingkan produk luar negeri. Karena penduduk Indonesia, penduduk kita berjumlah lebih dari 270 juta jiwa. Seharusnya adalah konsumen yang paling loyal untuk produk-produk sendiri,” ucapnya. (Detik.com, 4/3/2021)

Jokowi menyebut, kampanye cinta produk Indonesia dan benci produk luar negeri penting dikumandangkan supaya masyarakat loyal terhadap hasil karya anak negeri.

“Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia,” ujarnya.(Kompas.com, 5/3/2021)

Setelah dilontarkan, topik tersebut langsung menjadi trending topik di Twitter. Menurut penelusuran Kompas.com, Jumat (5/3/2021), kata “Benci” telah digunakan lebih dari 28.600 kali hingga Jumat siang. Keriuhan tidak hanya terjadi dalam negeri, media asing juga turut memberitakan tentang Jokowi yang menggaungkan benci produk asing.

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto menilai, pernyataan Jokowi terkait benci produk dalam negeri riskan disalahpahami masyatakat. Menurut dia, seharusnya Jokowi menggunakan komunikasi persuasif untuk merangsang masyarakat memiliki kecintaan pada produk dalam negeri.

“Bukan kata yang menyerang produk negara lain,” ujar Gun Gun.

Gun Gun mengatakan, pola komunikasi yang disampaikan Jokowi untuk membenci produk luar negeri justru bisa menjadi blunder atau berdampak negatif.

“Karena narasi membenci produk asing tak seiring dan sejalan dengan kebijakan membuka pintu bagi produk dan investasi asing kan. Alih-alih mendapatkan tempat dalam pemahaman khalayak dan para pelaku usaha, yang ada malah bisa menjadi blunder yang tak perlu,” ujarnya. (Kompas.com, 4/3/2021).

Inkonsistensi Dibalik Seruan ‘Benci Produk Luar Negeri’

Namun, dibalik seruan benci produk luar negeri ternyata tidak berbanding lurus dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Bahkan hanya terlihat sebagai retorika politik untuk memikat hati rakyat. Hal ini dibuktikan dengan pemerintah berencana mengimpor beras satu juta ton di tengah prakiraan lonjakan produksi padi petani. Rencana ini telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas, bahkan Kementerian Perdagangan sudah mengantongi jadwal impor beras tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebutkan bahwa impor beras ini terbagi menjadi 500.000 ton untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 500.000 ton sesuai kebutuhan Bulog. Menurutnya, stok beras perlu dijaga karena pemerintah melakukan pengadaan beras besar-besaran untuk pasokan beras bansos selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Selain itu, adanya banjir yang menerjang beberapa daerah mengancam ketersediaan pasokan beras. (Kompas.com, 6/3/2021).

Rencana impor yang dilakukan menjelang panen raya sangat tidak tepat dan membuat petani terpukul. Pengalaman puluhan tahun menunjukkan pola tanam padi serentak menghasilkan panen yang ajeg (Musim panen raya Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan musim paceklik (Oktober-Januari).

Saat panen raya, produksi melimpah dan kualitas gabah (beras) menurun diikuti dengan harga yang juga turun. Saat musim gadu, kualitas membaik dan harga gabah (beras) terus naik. Harga gabah (beras) mencapai puncak pada musim paceklik. Selain kualitasnya bagus, jumlah produksi pun terbatas. Akan tetapi, jika impor dilakukan menjelang panen raya maka berpotensi menekan harga ke level terendah.

Panen raya merupakan waktu yang dinanti oleh para petani. Perjalanan panjang dari mengolah tanah, menanam, memupuk, dan merawat padi hingga panen merupakan perjuangan berat. Belum lagi ancaman hama dan  penyakit. Bahkan, ketika pupuk subsidi sulit untuk didapatkan, para petani harus mengeluarkan biaya lebih agar tanamannya tumbuh sehat. Harapannya, seluruh perjuangan terbayar saat panen. Keuntungan yang didapat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi juga diperlukan untuk menanam ulang benih-benih padi.

BPS merilis produksi beras Januari-April 2021 dengan perkiraan 14,56 juta ton, lebih tinggi 26,84 persen dari 2020 (11,46 juta ton) dan 6,67 persen pada 2019 (13,63 juta ton). Ini dikarenakan ada kenaikan luas panen. Harusnya pemerintah dapat mengoptimalkan potensi ini, karena peluang besar produksi 2021 lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Artinya, surplus tahun ini berpeluang lebih besar dari 2020 (1,90 juta ton beras). Ditambah akumulasi 2019, surplus kini 7,78 juta ton.

Pertanyaannya mengapa harus impor, jika produksi naik dan melimpah bahkan surplus?. Melansir pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, 0,5 juta ton beras impor untuk cadangan beras pemerintah (CBP) bernama stok besi (iron stock). Stok ini harus ada kapan pun. Sisanya, 0,5 juta ton untuk keperluan Bulog. Jika ini tujuannya, mengapa tidak mengoptimalkan penyerapan produksi domestik?. Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memperbesar penyerapan. Pengalaman puluhan tahun mengajarkan serapan Bulog 65 persen terjadi saat panen raya. Jika panen raya terlewatkan, dipastikan target penyerapan meleset dan peluang menyelamatkan petani saat harga tertekan menjadi pupus.

Namun apalah daya karena impor merupakan kebijakan instan ekonomi liberal. Sejak Indonesia masuk dalam Agreement on Agriculture (AoA) World Trade Organization (WTO) pada 1995. Sektor pertanian berada dalam cengkeraman rezim multilateral melalui kesepakatan liberalisasi pertanian. Kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam AoA berdampak negatif kepada kelangsungan hidup para petani di negara-negara berkembang, khususnya yang tidak mampu bersaing secara langsung dengan produk impor tanpa perlindungan dan bantuan dari pemerintah.

Ketentuan ini lebih menguntungkan negara maju, dan mengancam kebijakan sektor pangan negara berkembang, termasuk di Indonesia. Dengan liberalisasi pertanian, produk impor akan semakin menguasai pertanian Indonesia dan menguntungkan para importir atas dasar mekanisme pasar. Sementara, banyak petani dirugikan dan semakin dimiskinkan tanpa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah. Terlebih dengan adanya peningkatan impor, jelas mengancam ketahanan pangan negara.

Mekanisme Islam Menjamin Ketahanan Pangan

Dalam sistem Islam, kebijakan impor bukanlah solusi penyelesaian masalah pangan. Sistem Islam dalam bingkai institusi khilafah memiliki sejumlah mekanisme untuk menjamin ketahanan pangan. Diantaranya sebagai berikut.

Pertama, mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini.

Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Ketiga, manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.

Keempat, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Kegiatan ekspor impor merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan.

Kelima, prediksi cuaca. Yaitu, kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Sebagai bentuk antisipasi perubahan cuaca ekstrem dalam mempengaruhi produksi pangan negeri.

Keenam, mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya.

Dengan kebijakan yang sistematis, sangat kecil kemungkinan bagi Khilafah menggantungkan diri pada impor, terlebih untuk pangan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyat.[]

Wallahu’alam bii Ash-showab