April 20, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

HUKUM MENYEWAKAN LAHAN PERTANIAN

Oleh : KH. Hafidz Abdurrahman

Pemilik tanah pertanian tidak dibolehkan menyewakan tanah pertaniannya untuk bercocok tanam maupun ditanami pohon. Karena kedua-duanya termasuk dalam pengertian muzara’ah. Hukumnya dinyatakan haram dengan tegas oleh syara’.

Dalilnya adalah sejumlah hadits yang menyatakan larangan menyewakan tanah. Antara lain, hadits yang dinyatakan dalam Sunan an-Nasa’i, “Rasulullah saw telah melarang untuk menyewakan tanah. Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, jika kami menyewakannya dengan imbalan biji-bijian?” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya dengan imbalan jerami?” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh.” Ada yang bertanya lagi, “Jika kami menyewakannya dengan imbalan hasil tanaman yang ditanam di sungai kecil.” Baginda SAW menjawab, “Tidak boleh. Tanamilah, atau serahkan kepada saudaramu.” [HR An-Nasa’i]

Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah ra, berkata, Nabi SAW bersabda, “Siapa saja yang mempunyai sebidang tanah [pertanian], maka hendaknya menanaminya, atau memberikannya kepada saudaramu. Jika dia tidak mau [seperti itu], maka hendaknya dia menahan tanahnya.” Dalam riwayat lain, dari Jabir, “Rasulullah saw. melarang Muhaqalah, Muzabanah, dan Mukhabarah.” [HR Muslim]

Makna, “Maka hendaknya, dia menahan tanahnya.” adalah untuk ditanami sendiri. Itulah yang dimaksud oleh konteks kalimat ini. Karena itu, keharaman menyewakan lahan ini jelas dinyatakan dengan tegas dalam sejumlah hadits.

Mengenai dalil-dalil yang menyatakan kebolehannya, antara lain, yang digunakan oleh mazhab Syafii, “Kami menggunakan penduduk Khaibar untuk mengerjakan tanah perkebunan Khaibar, dengan upah tanaman maupun buah-buahan.” Yang memberi peluang kedua-duanya bisa dilakukan, yaitu Muzara’ah dan Musaqat, maka membawa hadits tersebut pada konotasi Musaqat jelas lebih kuat, karena adanya riwayat lain yang dinyatakan oleh ‘Aisyah ra, bahwa Nabi SAW memberikan hasil panen dari tanah Khaibar kepada para istrinya berupa buah-buahan.

Karena itu, makna musaqat, lebih kuat dibanding makna muzara’ah. Dengan kata lain, menggunakan makna musaqat adalah bentuk penggunaan dalil [istidlal] dengan dalil, bukan istidlal dengan syubhat dalil. Sedangkan menggunakan konotasi muzara’ah, dalam konteks ini, adalah bentuk istidlal dengan syubhat dalil. Perlu dicatat, syubhat dalil itu kadang berupa dalil Alquran dan as-Sunnah, tetapi dalalah yang digunakan adalah dalalah yang marjuhah [lemah], bukan dalalah yang rajihah [kuat].

Adapun larangan menyewakan lahan untuk pertanian tersebut meliputi dua konteks. Pertama, lahan tersebut digunakan untuk bertani [muzara’ah], yang ditanami tanaman yang tidak mempunyai pohon. Kedua, lahan tersebut digunakan untuk perkebunan [tasyjir], juga tidak boleh.

Mengenai kebolehan musaqat, dijelaskan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin, dalam nasyrah [21/12/1969], bahwa musaqat adalah melakukan akad ijarah terhadap pohon dengan upah berupa buahnya, atau menyewakan pohon berikut tanah yang digunakan untuk tumbuh, dengan upah sebagian dari buahnya, atau tanaman [zuru’], dengan syarat, jumlah pohonnya lebih banyak. Adapun menyewakan tanah untuk ditanami pohon, maka ini termasuk muzara’ah, bukan musaqat. Karena itu, tetap tidak dibolehkan.

Karena itu, tidak diperbolehkan memberikan tanah pertanian untuk disewa orang lain, agar dia tanami dengan pohon. Yang boleh adalah, seorang pemilik tanah menanami sendiri tanahnya dengan pepohonan dan tanaman yang lainnya, kemudian diijarahkan dengan orang lain yang mengurusnya, dengan upah berupa buah yang dihasilkannya. Inilah yang disebut musaqat. Wallahu a’lam. []

Sumber : Tabloid Mediaumat Edisi 235