March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Hukum Dropshipper Dalam Islam

Dropshipper adalah orang yang melakukan jual beli dengan sistem dropshipping, yaitu sistem jual beli yang memungkinkan dropshipper menjual barang secara langsung dari supplier/toko kepada pembeli tanpa harus menstok/membeli barangnya terlebih dulu.


Mekanismenya : dropshipper menawarkan barangnya (biasanya secara on line) kepada pembeli, bermodalkan foto barang dari supplier/toko, disertai deskripsi barang tersebut, dengan harga yang ditentukan oleh dropshipper sendiri. Setelah ada kesepakatan, pembeli mentransfer uang ke rekening dropshipper, lalu dropshipper membayar kepada supplier sesuai dengan harga beli dropshipper (ditambah dengan ongkos kirim ke pembeli) dengan memberikan data-data pembeli (nama, alamat, nomor ponsel) kepada supplier. Barang yang dipesan oleh dropshipper dikirim oleh supplier langsung ke pembeli, dengan nama pengirim tetap atas nama dropshipper, bukan atas nama supplier. Jadi, intinya ada 3 pihak dalam dropshipping; dropshipper, supplier, dan pembeli.

Secara umum, model kerjasama antara dropshipper dan supplier/toko ada 2 model:
Pertama, supplier memberikan harga ke dropshipper, lalu dropshipper menjual barang dengan harga yang ditetapkannya sendiri, dengan memasukkan keuntungan dropshipper.
Kedua, harga sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk dropshipper bagi setiap barang yang terjual.

Hukum syariah untuk aktivitas dropshipping di atas menurut kami sbb :
Pertama, dropshiping model pertama, yaitu dropshipper berlaku sebagai penjual karena menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat jual beli salam (bai’ as salam). Jadi di sini diterapkan hukum bolehnya jual beli salam (bai’ as salam) antara dropshipper dan pembeli. Selama memenuhi syarat-syarat jual beli salam, transaksi sebagai dropshipper adalah sah secara syar’i.


Jual beli salam adalah jual beli pada barang yang belum dimiliki penjual pada saat akad dengan pembayaran uang di depan sedang barang diserahkan belakangan. Dalil bolehnya bai’ as salam antara lain riwayat Ibnu Abbas RA bahwasanya :
قَدِمَ النَّبِيُّ r الْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلِفُوْنَ فِي الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ


”Nabi SAW datang ke Madinah sedang mereka [orang-orang Madinah] melakukan salaf (jual beli salam) pada buah-buahan untuk jangka waktu satu atau dua tahun. Maka Rasulullah SAW bersabda,’Barangsiapa yang melakukan salaf (jual beli salam), maka hendaklah dia melakukan salaf pada takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui hingga tempo yang diketahui.” (HR Muslim, Shahih Muslim no 1604). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/293).


Jika pembeli membayar harga di depan secara keseluruhan kepada dropshipper, jual belinya sah. Adapun jika harga dibayar belakangan (setelah barang diterima), atau dibayar dengan sebagian harga, atau dibayar dengan sistem DP (uang muka), jual belinya tak sah. (Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qadimah wa Al Mu’ashirah, hlm. 48).


Namun perlu diketahui, jenis barang yang boleh dijualbelikan dalam jual beli salam bukanlah semua macam barang, melainkan hanya barang-barang tertentu saja, yaitu barang yang ditimbang (al makiil), ditakar (al mauzun), dan dihitung (al ma’duud), semisal bahan-bahan pangan, seperti beras, gula, dsb. Dalilnya hadits Ibnu Abbas RA di atas dengan lafal :
مَنْ أَسْلَفَ فَلا يُسْلِفْ إلا فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ

“Barangsiapa yang melakukan salaf (jual beli salam), maka hendaklah dia tidak melakukan salaf kecuali pada takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui.” (HR Muslim, Shahih Muslim no 1604)


Adapun barang-barang yang tak ditimbang, ditakar, dan dihitung, seperti tanah, rumah, dan mobil, tak boleh dijualbelikan secara jual beli salam (bai’ as salam), melainkan dengan jual beli kontan (cash and carry), atau jual beli utang/kredit (bai’ ad dain), yaitu barang diserahkan di depan, uang dibayar belakangan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/293; Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qadimah wa Al Mu’ashirah, hlm. 57).


Kedua, dropshiping model kedua, yaitu dropshipper tak berlaku sebagai penjual karena tak menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat akad samsarah (perantara jual beli / makelar), yang memang dibolehkan syariah berdasarkan hadits Nabi SAW yang men-taqrir (menyetujui) samsarah di kalangan para shahabat pada masa Nabi SAW. Dari Qais bin Abi Gharazah Al Kinani RA, dia berkata :
كُنَّا نَبْتَاعُ الأَوْسَاقَ فِي الْمَدِيْنَةِ وَنُسَمِّي أَنْفُسَنَا سَمَاسِرَةً، فَخَرَجَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ r فَسَمَّانَا بِاسْمٍ هُوَ أَحْسَنُ مِنِ اسْمِنَا قَالَ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ


“Dahulu kami (para shahabat) berjual beli di pasar-pasar di Madinah dan kami menyebut diri kami para simsar (makelar) (samasirah). Keluarlah Rasululullah SAW kepada kami kemudian beliau menamai kami dengan nama yang lebih baik daripada nama dari kami. Rasulullah SAW bersabda,’Wahai golongan para pedagang, sesungguhnya jual beli sering kali disertai dengan ucapan yang sia-sia dan sumpah, maka bersihkanlah itu dengan shadaqah.” (HR Abu Dawud no 3326; Ibnu Majah no 2145; Ahmad 4/6; Al Hakim dalam Al Mustadrak no 2138, 2139, 2140, dan 2141). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/311; Yusuf Qaradhawi, Al Halal wal Haram fi al Islam, hlm.226).


Jadi di sini dropshipper adalah seorang simsar (perantara) antara pembeli dengan supllier/toko (penjual). Implikasinya, barang yang dikirim wajib diatas namakan supplier, tidak boleh diatas namakan dropshipper. Demikian pula dropshipper tak boleh mencari perantara lagi (kadang disebut reseller), karena ini bertentangan dengan hukum samsarah. Wallahu a’lam.