March 28, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

FIQIH PENGADAAN HEWAN KURBAN

Bagian Pertama

KH. M. SHIDDIQ AL JAWI, S.Si, MSI

Akad-Akad pengadaan hewan kurban diantaranya dapat terdiri dari; pertama, jual beli kontan atau angsuran. Kedua, jual beli lalu titip kepada penjual. Ketiga, jual beli pesan (bai’ as salam). Keempat, wakalah bil ujrah. Kelima, qardh (pinjam utang hewan kurban). Keenam, nabung kurban. Ketujuh, hewan kurban dibeli dengan uang hasil utang. Kedelapan, arisan kurban. Kesembilan, hewan kurban berasal dari hewan temuan (luqathah). Kesepuluh, hewan kurban dibeli dengan harta haram.

Hewan qurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih wajib berupa harta yang sudah sah menjadi milik seorang muslim, melalui sebab-sebab kepemilikan secara syar’i. Jika seseorang memperoleh hewan kurban melalui akad muamalah yang diharamkan syariah, berarti tidak terwujud kepemilikan hewan kurban bagi orang tersebut.

Maka dari itu jika orang tersebut menyembelih hewan kurban tersebut, maka secara hukum syara’ dia berdosa karena memanfaatkan harta yang tidak sah kepemilikannya, Namun sembelihannya sah sebagai ibadah qurban asalkan memenuhi segala syarat dan ketentuan hukum qurban. Hukum syara’ tersebut sama dengan orang yang sholat di atas tanah rampasan, atau orang yang naik haji dengan harta haram.

Jumhur ulama menyatakan sholat orang itu sah selama memenuhi segala rukun dan syarat sholat, tetapi dia berdosa. Haji orang itu juga sah selama memenuhi segala rukun, syarat, dan wajib haji, tetapi dia berdosa. Lihat pembahasan hukum haji dengan uang haram, yang dihukumi sah oleh jumhur ulama selama memenuhi segala rukun dan syarat haji, tetapi orangnya berdosa, dalam beberapa referensi sbb : Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd Al Muhtar, 3/453; Al Qarafi, Al Furuq, 2/85; Al Wansyarisi, Al Mi’yar, 1/440; Al Hithab, Mawahib Al Jalil, 3/498; An Nawawi, Al Majmu’, 7/51; Ibnu Rajab, Al Qawa’id, hlm. 13.

Berbagai Akad Pengadaan Hewan Qurban

Berikut ini akan dijelaskan beberapa akad muamalah pengadaan hewan kurban, yang terdapat di tengah masyarakat, antara lain :

Pertama, Jual Beli Kontan Dan Angsuran.

Gambaran faktanya yakni seseorang membeli hewan kurban di kandangnya (hewan sudah ada / dimiliki penjual), dan pembeli membeli hewan yang ada dari penjual dengan akad jual beli kontan atau angsuran. Hukumnya sah selama memenuhi segala rukun dan syarat jual beli. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 305-309)

*Kedua, Jual Beli Lalu Titip Ke Penjual. *

Gambaran faktanya adalah seseorang membeli hewan kurban di kandangnya (hewan sudah ada/dimiliki penjual), namun setelah akad jual beli, hewan dititipkan kepada penjual. Pembeli baru akan mengambil hewan itu pada hari tertentu, misal H minus satu (sehari sebelum raya Idul Adha). Adapun hukumnya boleh, asalkan memenuhi 3 (tiga) syarat sebagai berikut:

Pertama, ada hak khiyar bagi penjual. Artinya, penjual berhak memilih antara menerima atau menolak titipan tersebut. Jika penjual tidak diberi hak khiyar, yakni diharuskan menerima titipan, maka akan terjadi penggabungan dua akad ke dalam satu akad secara mengikat, yaitu akad jual beli dengan akad titipan (wadi’ah) secara mengikat (mulzim).

Hal ini tidak dibolehkan secara syariah, sesuai hadits Nabi SAW yang melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (HR. Ahmad, dari Ibnu Mas’ud RA). Hadits yang dimaksud adalah hadits Nabi SAW dari Ibnu Mas’ud RA yang telah berkata: “Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fii shafqatin wahidatin).” (HR Ahmad)

Dalam hadits ini terkandung larangan syara’ untuk menggabungkan dua akad secara mulzim (mengikat), di mana akad yang satu mensyaratkan adanya akad lain. (Taqi Utsmani, Fiqh Al Buyu’, Juz I, hlm. 505; Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qadimah wa Al Mu’ashirah, hlm. 27).

Kedua, biaya pakan hewan selama titipan ditanggung oleh pemilik hewan, yaitu pihak pembeli, bukan penjual. Tidak ada khilafiyah di kalangan fuqoha, bahwa barang titipan yang memerlukan nafaqah (biaya), maka nafaqah itu menjadi tanggungan pemilik (yang menitipkan), bukan tanggungan pihak wadii’ (yang dititipi). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 43, hlm. 28).

Ketiga, segala akibat hukum dari titipan, baik yang menguntungkan, seperti anak yang dilahirkan hewan itu, atau yang merugikan, seperti kematian hewan, menjadi hak atau tanggungan pihak pemilik (pembeli). Kecuali jika kematian hewan diakibatkan oleh kelalaian pihak yang dititipi. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz 43, hlm. 22-24).

Ketiga, Jual Beli Pesan

Gambaran faktanya adalah pembeli membeli kambing dari seorang penjual, padahal kambingnya belum ada atau belum dimiliki oleh penjual. Spesifikasi kambing dan harga kambing dijelaskan secara rinci, misal harga kambing kurban dengan berat antara 27-30 kg harganya Rp 2.150.000. Pembeli membayar lunas harga kambing pada saat akad. Adapun hukumnya terdapat khilafiyah ulama mengenai boleh tidaknya jual beli pesan untuk hewan.

Jumhur ulama, yakni ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, membolehkan jual beli pesan untuk hewan. Alasannya : Pertama, karena sifat-sifat hewan dapat dijelaskan secara rinci (berat, kualitas, dll). Kedua, diqiyaskan dengan bolehnya qardh pada hewan, sebagaimana HR Muslim dari Abu Rafi’ RA, karena sama-sama menjadikan hewan sebagai objek tanggungan (dzimmah) dalam utang (qardh).

Dari Abu Rafi’ RA, bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam dari seorang laki-laki seekor unta muda, lalu datang kepada Rasulullah SAW satu ekor unta dari unta zakat, lalu beliau memerintahkan Abu Rafi’ mengembalikan pinjaman unta muda kepada laki-laki itu. Kemudian Abu Rafi’ kembali kepada Rasulullah SAW lalu berkata,”Tidak saya dapati pada unta zakat itu kecuali unta khiyar raba’i (berumur 6 tahun lebih). Maka Rasulullah SAW bersabda,”Berikan unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik di antara mereka dalam membayar pinjamannya.” (HR Muslim).

Sedangkan ulama Hanafiyah, juga Imam Tsauri Imam Al Auza’i, dan Imam Ibnu Hazm, mengharamkan jual beli pesan pada hewan. Alasannya :

Pertama, karena terdapat hadits yang melarangnya. Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwa Nabi SAW telah melarang jual beli salaf (salam) pada hewan. (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, dan Ad Daraquthni, dalam Sunan Ad Daraquthni, 3/71, hadits shahih menurut Imam Al Hakim).

Kedua, meskipun hewan dapat dijelaskan spesifikasinya secara rinci, tetap saja ada perbedaan (tafaawut) antara satu hewan dengan hewan lainnya. (Dubyan Muhammad ad Dubyan, Mu’amalat Maliyah Ashalah wa Mu’ashirah, Juz 6, hlm. 168). Demikian sekilas uraian pendapat masing-masing. Bagi yang ingin mendapatkan rincian dalil masing- masing silakan merujuk kitab Syekh Dubyan Muhammad ad Dubyan, Mu’amalat Maliyah Ashalah wa Mu’ashirah, Juz 6, hlm. 164-168.

Pendapat yang rajih (lebih kuat), pendapat yang mengharamkan, karena hewan tidak termasuk ke dalam barang-barang yang boleh dijualbelikan dengan jual beli salam (pesan), yaitu barang yang ditakar (al makiil), ditimbang (al mauzuun), dan dihitung (al ma’duud), seperti kurma, gandum, dll. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyyah, Juz 2, hlm. 290, Bab Laa Yajuuzu Bai’u Maa Laisa ‘Indaka; Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qadiimah wal Mu’ashirah, hlm. 121, Bab Bai’u Maa Laisa Inda Al Insan).

Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani jual beli salam (pesan) hanya dibolehkan secara terbatas pada barang- barang yang ditakar (al makiil), ditimbang (al mauzuun), dan dihitung (al ma’duud), seperti kurma, gandum, dll.

“Dengan merujuk pada nash-nash syara’, kami dapati bahwa salam boleh pada setiap barang yang ditakar dan ditimbang, sebagaimana boleh pada setiap barang yang dihitung.” (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyyah, Juz 2, hlm. 293).

Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, hewan tidak termasuk pada barang-barang yang ditakar (al makiil), ditimbang (al mauzuun), dan dihitung (al ma’duud).

“Adapun apa-apa yang tidak disyaratkan penerimaan (al qabdhu) untuk kesempurnaan kepemilikannya, yaitu selain barang yang ditakar, ditimbang, dan dihitung, seperti hewan, rumah, dan tanah dan yang semisalnya, maka boleh bagi penjual menjualnya sebelum menerimanya.” (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyah Al Islamiyyah, Juz 2, hlm. 290).

Wallahu’alam Bisshowwab

Sumber : https://t.me/NgajiShubuh/250