April 19, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

FIQIH PENGADAAN HEWAN KURBAN

Bagian Kedua

KH. M. SHIDDIQ AL JAWI, S.Si, MSI

Keempat Wakalah Bil Ujroh

Gambaran faktanya sebagai berikut; pihak muwakkil mewakilkan urusan pembelian hewan kurban kepada pihak wakil, dengan mentransfer sejumlah uang, untuk membayar harga hewan dan ujrah (upah). Pihak wakil lalu membelikan kambing, dan biasanya pihak wakil juga diminta untuk menyembelihkan dan membagikan daging kurban.

Adapun hukumnya boleh, asalkan pihak wakil mengikuti akibat-akibat hukum dari akad wakalah bil ujrah. Diantaranya jika mendapat diskon, maka itu haknya muwakkil, bukan hak wakil. Wakil berhak atas ujrah dari muwakkil, tapi tidak boleh mencari untung dengan mark up harga. Biaya pemeliharaan dan risiko (misal hewan mati), menjadi tanggungan muwakkil, bukan tanggungan wakil, kecuali jika wakil lalai.

Kelima Qardh (pinjam utang)

Gambaran faktanya sebagai berikut: seseorang meminjam kambing dengan akad qardh (pinjam utang), bukan akad ‘aariyah/i’aarah (pinjam pakai), dari orang lain, untuk dikembalikan dengan kambing semisal, dalam waktu jatuh tempo yang disepakati.

Adapun hukumnya boleh, karena dulu Rasulullah SAW juga pernah meminjam seekor unta muda dengan akad qardh (pinjam utang), lalu beliau mengembalikannya dengan unta lain yang lebih besar. (HR Muslim, dari Abu Rafi’ RA).

“Dari Abu Rafi’ RA, bahwa Rasulullah SAW pernah meminjam dari seorang laki-laki seekor unta muda, lalu datang kepada Rasulullah AAW satu ekor unta dari unta zakat, lalu beliau memerintahkan Abu Rafi’ mengembalikan pinjaman unta muda kepada laki-laki itu. Kemudian Abu Rafi’ kembali kepada Rasulullah SAW lalu berkata,”Tidak saya dapati pada unta zakat itu kecuali unta khiyar raba’i (berumur 6 tahun lebih). Maka Rasulullah SAW bersabda,”Berikan unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling baik di antara mereka dalam membayar pinjamannya.” (HR Muslim).

Keenam, Nabung Kurban

Gambaran fakta dari nabung kurban ada dua bentuk :

Pertama, menabung mandiri. Yakni seseorang menabung dengan cara mengumpulkan uang pada dirinya sendiri, bukan kepada pihak lain. Setelah uang terkumpul lalu dia belikan kambing kurban.

Adapun hukumnya boleh, karena menabung mandiri termasuk apa yang disebut iddikhar (menabung, saving), yang hukumnya boleh. Iddikhar adalah :

“Iddikhar (menabung) adalah menyimpan uang untuk suatu kebutuhan dari kebutuhan-kebutuhan [di masa depan].” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 253).

Kedua, menabung pada lembaga kurban. Yakni seseorang menabung kepada suatu lembaga kurban untuk jangka waktu tertentu, lalu setelah uang terkumpul uang itu digunakan membeli kambing kurban dari lembaga tersebut.

Adapun Hukumnya boleh, tetapi dengan 2 (dua) syarat; pertama Pihak penabung wajib diberi khiyar (hak memilih), apakah akan mengambil uang yang terkumpul, atau akan menggunakan uang itu untuk membeli hewan kurban. Sedangkan kedua, jika penabung memilih membeli hewan kurban, wajib ada akad jual beli (ijab dan kabul) dengan lembaga kurban.

Penjelasan dalil syarat pertama adalah pihak penabung wajib diberi khiyar (hak memilih), sebab akad antara penabung dengan lembaga kurban adalah akad qardh (penabung meminjamkan uang) yang dilanjutkan dengan akad jual beli. Jika penabung tidak diberi khiyar, berarti akad qardh dari penabung itu akan secara mengikat (mulzim) digabung dengan jual beli, padahal gabungan akad qardh dengan jual beli yang bersifat mengikat, hukumnya haram.

Sabda Nabi SAW : “Tidak halal menggabungkan akad qardh (pinjaman) dengan akad jual beli.” (HR Tirmidzi)

Penjelasan dalil syarat kedua adalah pihak penabung dan lembaga kurban wajib melakukan akad jual beli (ijab dan kabul) jika penabung memilih membeli kurban. Mengapa wajib demikian? Sebab jika tidak ada akad jual beli, yang terlepas dari akad qardh di awal, berarti terjadi penggabungan dua akad (qardh dan jual beli) sejak awal akad. Penggabungan dua akad yang mulzim (mengikat), di mana akad yang satu mensyaratkan akad lain, telah dilarang sesuai hadits Nabi SAW dari Ibnu Mas’ud RA:

“Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqataini fii shafqatin wahidatin).” (HR Ahmad)

Ketujuh, Hewan Kurban Hasil Utang

Gambaran fakta sebagai berikut; Seorang meminjam uang dengan akad qardh (pinjam uang) kepada orang lain sebesar Rp 4,5 juta. Uang tersebut lalu dibelikan seekor kambing untuk dijadikan hewan kurban. Selanjutnya orang tersebut mengembalikan pinjaman tersebut sesuai waktu yang disepakati. Adapun hukum nya boleh, dengan syarat pihak peminjam itu berkemampuan untuk mengembalikan pinjaman tersebut.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya mengenai orang yang tidak mampu berkurban, apakah dia boleh berutang? Ibnu Taimiyah menjawab, “Jika dia mampu membayar utang, lalu dia berutang untuk berkurban, maka itu baik (boleh), namun dia sebenarnya tidak wajib berutang.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, Juz 26, hlm. 305). https://islamqa.info/ar/answers/41696/

*Kedelapan, Arisan Kurban *

Gambaran faktanya terdapat dua kemungkinan : Pertama, arisan kurban antara para peserta sendiri. Dan kedua, arisan kurban antara para peserta dengan seorang penjual hewan. Masing-masing akan dijelaskan faktanya dan kemudian hukum syara’-nya dalam uraian selanjutnya.

Gambaran fakta yang pertama, arisan kurban antara para peserta sendiri. Misalnya arisan kurban kambing seharga Rp 4,5 juta. Yang ikut ada 5 peserta, berarti per orang setoran Rp 900 ribu. Karena diundi setiap tahun, maka masing-masing peserta membayar iuran Rp 75 ribu per bulan. Uang yang terkumpul dalam 1 tahun per peserta = Rp 75 ribu X 12 = Rp 900.000. Uang yang diperoleh pemenang arisan = Rp 900.000 X 5 = Rp 4,5 juta. Uang yang diterima pemenang arisan, lalu dia gunakan untuk membeli hewan kurban berupa kambing.

Hukum arisan kurban antara para peserta sendiri. Hukumnya boleh, sebagaimana hukum arisan uang pada umumnya, asalkan pemenang arisan berkemampuan meneruskan arisan (yakni mampu membayar utang). Arisan dalam bahasa Arab disebut “jam’iyyah al muwazhzhafiin” atau disebut “al quruudh at ta’aawuniyyah” yang secara harfiyah berarti “pinjaman kerjasama/tolong menolong”. Arisan hukumnya khilafiyah, ada ulama yang mengharamkan, ada ulama yang membolehkan. Pendapat yang kuat (rajih) adalah pendapat yang membolehkan, asalkan tidak melanggar hukum qardh (pinjaman uang).

Gambaran fakta yang kedua, arisan kurban antara para peserta dengan penjual hewan kurban. Misalnya arisan kurban kambing diselenggarakan oleh penjual kambing. Harga kambing Rp 4,5 juta. Yang ikut ada 5 peserta, berarti per orang setoran Rp 900 ribu. Karena diundi setiap tahun, maka masing- masing peserta membayar iuran Rp 75 ribu per bulan.

Adapun hukumnya jika saat awal arisan, hewan belum ada (belum dimiliki penjual), berarti akadnya jual beli salam (pesan). Hukum jual beli salam (pesan) untuk hewan adalah haram, menurut pendapat yang kami rajihkan. Apalagi akad ini dibayar secara angsuran, maka hukumnya juga haram, bagi yang membolehkan jual beli pesan untuk hewan, karena jual beli pesan wajib dibayar lunas di muka (tidak boleh diangsur).

Adapun hukum jika saat awal arisan, hewan sudah ada (sudah dimiliki penjual), hukumnya boleh, tetapi dengan 2 (dua) syarat : Pertama, pihak pemenang arisan wajib diberi khiyar (hak memilih), apakah akan mengambil uang yang terkumpul, atau akan menggunakan uang itu untuk membeli hewan kurban. Dan kedua, jika pemenang arisan memilih membeli hewan kurban, wajib ada akad jual beli (ijab dan kabul) dengan penjual hewan kurban. Penjelasan dalilnya, lihat kembali hukum Nabung Kurban yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kesembilan, Hewan Kurban Dari Hewan Temuan

Gambaran faktanya sebagai berikut; seseorang menemukan hewan sapi yang tersesat (hilang) (luqathah), baik hewan itu ditemukan di tempat yang sepi dan jauh dari pemukiman penduduk, misalnya di hutan atau padang sahara, atau di tempat ramai dekat pemukiman penduduk. Adapun hukumnya jika hewan itu ditemukan di tempat yang jauh dari pemukiman penduduk, seperti di hutan, atau di padang sahara (ash shahra`), maka hewan tersebut dapat langsung dimiliki oleh penemunya. Dengan demikian, dia boleh boleh menyembelihnya sebagai hewan kurban, karena sudah menjadi miliknya.

Dalilnya, adalah sabda Rasulullah SAW ketika ditanya mengenai domba yang hilang (dholatul ghanam) : Rasulullah SAW bersabda,”Kambing yang hilang itu untukmu, atau untuk saudaramu, atau untuk serigala.” (HR Bukhari, dari Zaid bin Khalid Al Juhani RA, nomor 2249).

Adapun jika hewan itu ditemukan di tempat yang dekat dengan pemukiman penduduk, maka penemunya mempunyai 3 (tiga) pilihan sebagai berikut :

Pertama, menyembelih hewan itu, dan penemunya itu menanggung harganya sebagai jaminan (dhoman) jika datang penemunya.

Kedua, mengumumkan hewan itu, dan selanjutnya menjual hewan itu, serta menyimpan uangnya selama satu tahun hijriyah. Jika setelah satu tahun tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya, maka uang itu menjadi milik penemu.

Ketiga, mengumumkan selama 1 (satu) tahun hijriyah, jika setelah satu tahun tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya, maka hewan itu menjadi milik penemu.(Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz IV, hlm. 629-630)

Kesepuluh, Hewan Kurban Dari Harta Haram

Gambaran faktanya adalah seseorang melakukan korupsi, misalnya memperoleh uang suap atau gratifikasi dari rekanan. Uang hasil suap itu lalu dibelikan hewan kurban dan disembelih sebagai hewan kurban. Adapun hukumnya adalah orang tersebut berdosa memanfaatkan uang haram tersebut dan tidak mendapat pahala kurban. Namun kurbannya sah selama memenuhi segala ketentuan dan syarat kurban.

Dalilnya, sabdَa Rasulullah SAW :
“Barangsiapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia bersedekah dengan uang itu, maka dia tidak mendapat pahalanya, dan bahkan dia mendapat dosanya.” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim. Hadits shahih).

Wallahu’alam Bisshowwab

Sumber : https://t.me/NgajiShubuh/250