March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Demokrasi Sistem Kufur Yang Merusak Dan Bertentangan Dengan Islam

BerandaIslam.com– Buku How Democracies Die menjadi ramai jadi perbincangan dikarenakan telah dibaca oleh Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Dikutip dari The Jakarta Post (23/11) tampak foto Gubernur Jakarta Anies Baswedan sedang membaca buku pada Minggu pagi telah memicu perdebatan di kalangan pengguna media sosial.

Bahkan beberapa orang mengklaim bahwa foto itu adalah tusukan halus pada pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Dalam foto viral yang diposting di halaman Instagram resmi Anies, gubernur terlihat membaca How Democracies Die, buku terlaris yang ditulis oleh ilmuwan politik Amerika Daniel Zibllat dan Steven Levitsky. Dan buku itu secara luas ditafsirkan sebagai manual untuk melawan kecenderungan otoriter Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (TheJakartaPost.com, 23/11)

Jauh sebelum itu, Syaikh Abdul Qadim Zallum sudah menjelaskan bahwa demokrasi adalah sistem kufur. Umat Islam haram mengambilnya, menerapkannya dan menyebarluaskannya. Dalam buku Demokrasi Sistem Kufur (1990) telah dipaparkan penjelasan ringkas tentang demokrasi.

Diantara penjelasannya adalah bahwa demokrasi merupakan buatan akal manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Demokrasi juga lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan, yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara yang berlandaskan pada dua ide dasar yakni kedaulatan di tangan rakyat, dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Demokrasi juga dianggap sistem pemerintahan mayoritas. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan, serta pengambilan keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut diklaim diambil berdasarkan pendapat mayoritas.

Asas demokrasi kedaulatan di tangan rakyat dan menjadikan manusia menjadi sumber hukum inilah yang menjadi masalah. Termasuk masalah dalam pilar utama demokrasi yaitu empat macam kebebasan, diantaranya ; kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan kepemilikan (freedom of ownership), kebebasan bertingkah laku (personal freedom).

Dalam praktiknya demokrasi juga penuh dengan paradoks. Demokrasi adalah ide khayal (utopia), tidak sesuai dengan realitas, dan telah melahirkan dampak-dampak yang sangat buruk dan mengerikan terhadap umat manusia.

Misalnya ide bahwa pemerintahan adalah dari, oleh, dan untuk rakyat dan bahwa kepala negara dan anggota parlemen merupakan wakil dari kehendak rakyat dan mayoritas rakyat. Faktanya, tidak seperti itu. Mustahil seluruh rakyat menjalankan pemerintahan. Karena itu, penggagas demokrasi membuat sistem perwakilan, sehingga rakyat harus diwakili oleh wakil-wakilnya di parlemen.

Kepala negara, pemerintah dan anggota parlemen yang diklaim dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; dewan perwakilan yang diklaim sebagai penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan majelis perwakilan yang juga diklaim sebagai representasi (wakil) mayoritas rakyat, pada hakikatnya sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat, bukan mayoritas rakyat. Alasannya, seorang anggota wakil rakyat yang duduk di parlemen sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Oleh karena itu, jumlah suara para pemilih di suatu daerah harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih “suara mayoritas” para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut. Konsekuensinya, para wakil rakyat yang terpilih sebenarnya hanya mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan suara mayoritas rakyat.

Belum lagi terdapat fakta bahwa kepala negara dan anggota parlemen di beberapa negara asal demokrasi seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis. Karena sangat besar biaya untuk menjadi wakil rakyat di AS. Lalu, siapa yang menanggungnya? Jelas bukan rakyat dan calon bersangkutan. Para kapitalislah yang membiayai semuanya! Fakta ini sudah terkenal di Amerika. Sedangkan di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari Partai Konservatif yang mewakili para kapitalis raksasa.

Apakah seorang kepala negara yang dipilih parlemen benar-benar menyuarakan atau memperhatikan aspirasi rakyat? Ternyata juga tidak. Contoh-contoh yang pernah ada dalam sejarah mengenai penguasa yang bertindak sendiri, tanpa persetujuan mayoritas parlemen, seperti Sir Anthony Eden (Inggris), John Foster Dulles (AS), Charles De Gaule (Perancis), dan Raja Hussein (Yordania).

Dampak buruk penerapan demokrasi juga dipaparkan. Kebebasan hak milik (sebagai prasyarat demokrasi), telah melahirkan kapitalisme yang akhirnya menjadi sarana negara-negara Barat untuk menjajah dan mengeksploitir berbagai bangsa di dunia. Akibat kapitalisme itu terutama adalah semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara penjajah yang kafir. Kebebasan bertingkah laku yang dijajakan Barat, juga telah menimbulkan kebejatan moral yang mengerikan di Barat dan juga di negeri-negeri Islam yang mengekor Barat.

Islam, sangatlah berbeda jauh dengan demokrasi. Islam dibangun di atas landasan Akidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah –yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Akidah Islamiyah– dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Bukan atas asas akal manusia. Akidah Islam menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

Islam juga menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Allah SWT berfirman,

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS Al An’aam: 57)

Dalam hal kekuasaan, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat. Prinsip ini diambil dari hadis-hadis mengenai baiat, yang menetapkan adanya hak mengangkat Khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda,

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Barang siapa mati sedang di lehernya tak ada bai’at (kepada Khalifah) maka dia mati jahiliyah.” (HR Muslim)

Terikat dengan hukum syara’ bagi seorang muslim adalah wajib dan sekaligus merupakan pertanda adanya iman padanya. Allah SWT berfirman,

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An Nisaa’: 65).

Alhasil sekali lagi Demokrasi adalah sistem kufur, sehingga haram mengambil, menerapkan dan menyebarluaskannya. Jadi bukan karena keberadaan buku How Democracies Die kita menolak demokrasi, melainkan karena Aqidah Islam. Selamat membaca. []

Wallahu’alam bisshowwab