March 23, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Dekonstruksi Pragmatisme (3)

3. Kritik Terhadap Pragmatisme

Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :

a. Kritik dari Segi Landasan Ideologi

Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehi¬dupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V – XV M), yakni keharusan menun¬dukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filsuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterika¬tannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa.
Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemi¬kiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.
Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang eksistensi Al Khaliq atau pembahasan mengenai peraturan yang ditetapkan Al Khaliq untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal.
Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil –termasuk dalam hal ini Pragmatisme– pada hakekatnya adalah batil juga.

b. Kritik dari Segi Metode Berpikir

Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial. Ini adalah suatu kekeliruan.
Metode Ilmiah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serang¬kaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah/Rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiah. Sebab, Metode Ilmiah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiah, atau dengan kata lain Metode Ilmiah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point :
a. Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiah.
b. Bahwa Metode Ilmiah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/materi¬al yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.

c. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri

Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan prak¬tis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisn¬ya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasi¬lan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan prak¬tis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuas¬kannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifika¬si instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengu¬jian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.

Bersambung ke bagian 4

Kembali ke bagian 2