March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Dakwah VS Diayah

Oleh: Zawanah Filzatun Nafisah (Muslimah Ideologis Khatulistiwa)

“Mengembalikan pohon kelapa yang telah tumbang ke tempatnya yang patut, itulah yang dinamai dengan dakwah. Dakwah adalah menyadarkan orang kepada kebenaran.” Demikian ucap dari seorang guru yang mulia, Buya Hamka di dalam buku ‘Prinsip kebijaksanaan dan Dakwah Islam’. Beliau amat faham bahwa kebenaran membutuhkan aktivitas dakwah, bukan aktivitas diayah (propaganda). Dakwah yang dapat dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat dalam rangka membawa kebenaran. Sementara diayah, aktivitas yang berulang-ulang untuk melindungi kezaliman dan kejahatan, hingga hal tersebut dianggap banyak orang sebagai suatu kebenaran.   

Kita hidup di era pertentangan antara dakwah dan diayah. Yaitu disaat organisasi massa (ormas) Islam dan banyak tokoh agama menyuarakan kebenaran Islam namun dibenci, padahal mereka menawarkan solusi atas problem umat dengan solusi Islam. Bahkan tak sedikit yang menampakkan ketidaksenangan.

Meski kebenaran itu kian terbukti. Meski memiliki sandaran ilmiah, histori dan akurasi yang tinggi untuk membuktikan kebenaran, tetap saja ada yang gusar, memutar realitas dengan aktivitas diayah. Propaganda secara harian digulirkan di tengah-tengah umat. Label radikal, teroris, anti pancasila, anti NKRI, pengusung ideologi Khilafah dan sebagainya, seolah tak surut diopinikan untuk memenuhi hawa nafsu politik. 

Kita jadi harus berfikir mendalam, ketika pelaku diayah itu sendiri adalah seorang Muslim. Dimanakah kira-kira letak kegagalan berfikirnya? Zaman yang seharusnya sudah menjadi sangat mudah untuk memisahkan haq dan batil, namun masih juga memilih untuk berada di jalan yang salah. Menjadi sangat benci terhadap ulama dan ormas Islam. Dan amat bengis dengan saudara sendiri yang jelas-jelas hanya berdakwah, padahal dakwah yang dilakukan sudah sangat santun, ilmiah, dan sesuai dengan jalan yang ditempuh Rasulullah saw.

Diayah mungkin tidak akan berefek besar pada umat, akan tetapi jika diayah ini dekat pada kekuasaan, maka amat sangat mungkin segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara didominasi kehendak penguasa dan memiliki pengaruh kepada umat. Dikala yang dibawa oleh ulama dan ormas Islam senada dengan kehendak penguasa, maka akan menjadi partner-nya penguasa. Namun jika sebaliknya, maka siap-siap akan dipersekusi hingga dikriminalisasi oleh penguasa dan diamini atau didiamkan oleh partner yang masih bersama penguasa tadi. Inilah praktik yang terjadi sejak demokrasi dan oligarki menguasai sistem kekuasaan. 

Kekuasaan sejatinya merupakan alat semata untuk menjalankan aktivitas negara. Aktivitas negara dijalankan oleh seorang pemimpin yang memiliki tanggung jawab cukup besar terhadap rakyatnya. Pemimpin tidak hanya ditanya oleh Allah SWT tentang kesejahteraan dan kemaslahatan hidup rakyatnya, tapi juga bertanggung jawab terhadap tegaknya agama di tengah-tengah mereka (Lihat Bab I Kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah Karya Imam Al Mawardi). Dengan kekuasaan, pemimpin bisa membantu melindungi agama dan para ulama. Meski ulama berteriak lantang dalam melakukan amar ma’ruf nahyi mungkar kepada penguasa, namun tetap dilindungi haknya, bahkan akan didengar nasehatnya. 

Sayangnya pada sistem demokrasi dan kapitalisme, kontribusi penguasa terhadap penjagaan agama dan ulama sangatlah rendah. Penempatan agama dan pemukanya hanya menjadi bagian kecil atas penghargaan hak asasi manusia yang dibebaskan beragama dan menjalankan ibadah. Namun ketika agama dan ulama dihina, dicela bahkan difitnah serta dipersekusi, negara justru memberikan jaminan urusan tersebut pada ujung palu hakim.

Memang sudah seharusnya hukum dan konstitusi berdasarkan hukum Allah SWT yang digali secara rinci dari Al Qur’an maupun Al Hadist. Lain perkara jika berdasarkan kepada selain hukum Allah SWT untuk mengadili dan menetapkan konstitusi. Hal ini sangat rentan untuk dipermainkan sesuai dengan keinginan pelapor dan rezim dalam arah pandang dan sistem Sekulerisme.

Hukum Islam juga tidak mengenal dikotomi “agamawan” dan “negarawan”. Pasalnya, baik ulama maupun penguasa kaum Muslim sama-sama menjalankan aktivitas politiknya masing-masing. Penguasa, dengan kekuasaannya, melaksanakan tugas mengurusi urusan umat secara langsung, menerapkan hukum Islam dan mengemban dakwah ke luar negeri. Adapun rakyat, baik ulama maupun bukan, melaksanakan tugas untuk mengoreksi dan menasehati penguasa dalam melaksanakan tugasnya tadi. Semuanya itu merupakan satu-kesatuan sistem. 

Imam Al Ghazali membagi ulama itu ada dua macam, yakni ulama akhirat dan ulama dunia. Ulama akhirat adalah ulama yang mewariskan semangat Nabi menjadikan seluruh hidupnya sebagai ‘abdi’ untuk melestarikan nilai keagamaan dengan ilmu yang dimiliki. Sedangkan ulama dunia adalah ulama yang orientasi penerapan ilmunya hanya digunakan untuk kepentingan dan memuaskan hasrat duniawi.

Melihat definisi ini, ulama akhirat layak saya sematkan kepada Ustadz Ismail Yusanto yang selama ini paling terdepan dalam menjalankan aktivitas dakwah politik Islam dengan totalitas. Kebenaran Islam dan aktivitas nahyi mungkar yang santun serta dengan hujjah yang bernas, senantiasa terlontar dari lisannya. Dakwah yang beliau lakukan ternyata ada pihak yang tidak senang dan tidak mau mendengar nasehatnya. Bahkan mereka balas dakwah beliau dengan diayah dan tindakan hukum. Astaghfirullah. 

Teringat kita ketika Khilafah pernah memimpin dunia, tidak sedikit Khalifah menghadapi sikap ulama yang selalu kritis terhadap kekuasaannya. Namun, Khalifah tersebut mau mendengarkan nasihat mereka. Dan sikap ulama itu pun bukan karena semata-mata untuk jadi oposisi, tetapi karena tekad agar sistem Khilafah ini tetap pada jalur kebenaran.

Salah satu contoh peristiwa tersebut ketika Muawiyah, sahabat Nabi saw menjadi seorang Khalifah. Kebijakannya senantiasa dikoreksi oleh lisan para pendakwah. Diantaranya adalah Abu Muslim al-Khaulani. Di depan publik, Khalifah dianggap salah oleh Abu Muslim tentang pembagian ghanimah. Kritik Abu Muslim yang keras itu awalnya dibalas dengan kemarahan. Dan Muawiyah pun menghilang, ia masuk ke rumah, mandi, lalu keluar menemui khalayak, dan mengatakan, “Abu Muslim benar.” (HR Abu Nu’aim).***

Wallahualam bisshowwab