March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Dakwah Khilafah Menggores Sejarah Agung di Pontianak

Oleh : Zawanah Filzatun Nafisah (Muslimah Ideologis Khatulistiwa) dan Miftahul Jannah, M.Pd (Dosen Pengajar Ilmu Sejarah)

Dakwah Islam dikenal sebagai aktivitas yang mendasar dan wajib bagi umat Islam. Tak heran ketika Islam pernah memimpin dunia dengan sistem Khilafah, dakwah Islam pun tiba di Kalimantan Barat. Tentu perjalanan yang sangat jauh dengan rintangan yang tidak mudah. Melewati lautan hingga anak sungai di tanah khatulistiwa. Amanah penyebaran Islam diserahkan oleh Khalifah kepada para pendakwah dengan berbagai uslub (cara) dan wasilah (sarana) yang kita kenal, misalkan dari perdagangan, perkawinan, pendidikan, hubungan politik atau bantuan kemanusiaan.

Diungkap dengan sangat haru, Ustadz Abdul Shomad dalam kunjungannya ke Kraton Kadriyah tahun 2017, beliau mengatakan, “Dari Hadralmaut (Yaman) sampai ketanah bumi Pontianak ini. Tanah Yaman sama suburnya dengan tanah ini. Yang mereka cari kemari hanya satu yakni menyampaikan risalah datuk mereka Rasulullah Muhammad SAW.”

Al-Habib Hussein (Syarif Hussein Ibn Ahmad Alqadrie) yang masih berusia 22 Tahun dan tiga rekannya melakukan perjalanan dari Kota Tarim, Hadralmaut. Hal itu diungkap Hasanuddin dalam buku ‘Pontianak Masa Kolonial’ (2014:16), bahwa perjalanan tersebut demi memperkenalkan agama Islam. Dakwah mereka amat berarti dalam pendirian Kesultanan Pontianak dan hubungannya dengan Kerajaan Matan dan Kerajaan Mempawah. Karena pernikahan Al-Habib Hussein dengan Putri Nyai Tua yang berasal dari Kerajaan Matan, lahirlah Syarif Abdurrahman Al Qadrie sang pendiri Kesultanan Pontianak. Al-Habib Hussein senidiri menjadi mufti dan patih Tahun 1755 M dan amat disegani di Kerajaan Mempawah.

Masih dikisahkan dalam buku yang sama, kehadiran Syarif Abdurrahman Al Qadrie di Pontianak pada awalnya adalah atas perintah Panembahan Mempawah untuk mengusir para bajak laut di muara Sungai Kapuas dan Landak. Keberhasilannya mengukuhkan tekad untuk bermukim di muara sungai tersebut dengan harapan ada peluang menebarkan syiar Islam kepada penduduk suku dayak disepanjang kedua sungai tersebut. Sehingga pendirian surau (sekarang Masjid Jami’) pun dilakukan dan dibangun pula bangunan besar (sekarang Keraton Kadariyah) dalam satu kawasan.

Megah berdirinya Istana atau Keraton Kadriyah Kesultanan Pontianak pada zamannya, merupakan saksi sejarah bagi kita hari ini. Istana ini dibangun dengan konsep Islam. Balai di bagian depan memiliki jendela kaca yang jumlahnya 30 buah yang sama dengan jumlah juz dalam Al Qur’an. (antaranews.com, 21/09/2018)

Eratnya hubungan Kesultanan Pontianak dengan Kekhalifahan Utsmaniyah diungkap seorang pemerhati sejarah kesultanan, Muhammad Donny Iswara. Beliau menyampaikan bahwa lambang kesultanan Pontianak sangat persis dengan Kesultanan di Turki yakni berupa bulan dan bintang. Lambang tersebut dapat ditemui di pintu masuk Istana Kadriah di Pontianak. “Lambang kesultanan Pontianak dengan Kesultanan Turki itu sama. Menggunakan bulan bintang,” ujar beliau (pontianak.tribunnews.com, 5/6/2018).

Beliau menjelaskan pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, kerajaan-kerajaan di semenanjung tidak hanya ingin Sultan Syarif Abdurrahman menjadi figur atau ulama, tetapi juga mendorong agar ia menjadi Sultan di negeri baru yang akarnya adalah syariah Islam. Beliau juga mengemukakan bahwa, “Orde itu juga sampai pada Habib Hussein, Abah Sultan Syarif Abdurrahman di Mempawah dan betul telah menyampaikan risalah dari Khalifah Ustmani pada masa itu.”

Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan dibantu Mufti pertama kesultanan Pontianak yang menjalankan tugas sebagai ulama dari Kekhalifahan Utsmaniyah dan menyampaikan risalah Islam. Beliau adalah Syekh Mahmoud Syarwani yang mengarang kitab pijakan hukum dan adat di Kesultanan Pontianak. Berisi tentang aturan Islam dari 4 mazhab, yakni Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’idan Imam Hambali. “Kitab ini untuk dijadikan sandaran hukum dari orang lahir sampai wafat kala itu di Kesultanan Pontianak,” tambahnya.

Hasanuddin (2014:26) mengatakan bahwa bagi geneologi, Kesultanan Pontianak berhubungan erat dengan Negara arab (Hadralmaut) sebagai asal nenek moyangnya. Sehingga kekuasaannya yang kharismatik membangun struktur politik yang terdiri dari pangeran ratu untuk membantu tugas-tugas pemerintahan, pangeran bendahara yang mengatur peradilan dan keuangan, pangeran laksamana untuk pengamanan pantai dan memimpin armada angkatan laut serta fungsi syahbandar yang mengawasi arus barang, volume perdagangan dan lain-lain.

Demikian pula kebudayaan Islam di lingkungan Kesultanan Pontianak sebagai peletak dasar perkembangan Islam, pusat pemerintahan dan tradisi kesultanan yang ditata dengan ideologi Islam (Hasanuddin, 2014:202). Sultan mendirikan Perguruan Al Qadriah, mempersilahkan para pedagang mendirikan Perguruan Saigoniyah, Haji Arif mendirikan Perguruan Al Islamiyah, Mubaligh Minangkabau mendirikan Perguruan Muhammadiyah dan pastinya ada pedagang keturunan arab yang mendirikan Raudhatul Islamiyah dan Perguruan Al Hasan.

Berkat dakwah Islam dan pelembagaan pengajaran tersebutlah maka tidak mustahil sejak Islam masuk tahun 977 M ke wilayah Kerajaan Brunei, memberi pengaruh bagi penduduk Kalimantan Barat. Penduduknya pun mulai banyak yang masuk Islam pada pertengahan abad ke-16. Hal ini dijelaskan di dalam Buku Khilafah dan Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara (2009:57).

Sayangnya, modernisasi dari pemerintah Belanda telah menciptakan jurang pemisah muslim Pontianak dengan tradisi pengajaran Islam. Berkembangnya penerapan syariah Islam di Kalimantan Barat adalah sesuatu yang tidak disukai oleh penjajah Belanda, karena merupakan bentuk perlawanan kolonialisasi.

Disebut dalam buku ‘Politik Islam Hindia Belanda’ bahwa Belanda melakukan infiltrasi pemikiran dan politik melalui langkah-langkah yang digagas Snouck Hurgronje. Gagasan tegas bahwa musuh kolonialisme bukan Islam sebagai agama melainkan Islam sebagai doktrin politik (Suminto, 1986: 11). Sehingga rakyat pun mulai beradaptasi bahkan mengadopsi yang diterapkan pemerintah Belanda.

Hal ini makin diperparah dengan runtuhnya Kekhalifahan Ustmaniyah di Turki pada 3 Maret 1924 M. Penjajahan atas umat Islam Pontianak tak jua berakhir. Masih ada Jepang, perang dunia 2, hingga abad globalisasi saat ini pengaruh kolonialisasi masih ada dengan wujud diadopsinya nilai-nilai barat yang berlandaskan kapitalisme, sekularisme dan liberalisme. Semoga paham busuk ini berakhir di masa kita.***

Referensi:

[1] Hasannuddin. Pontianak MasaKolonial. 2014. Ombak: Yogyakarta

[2] Anonim. Khilafah dan Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara. 2019. ThariqulIzzah: Bogor.

[3] https://pontianak.tribunnews.com/2018/06/05/jejak-kekhalifahan-ustmaniyah-di-kesultanan-pontianak.

[4] https://www.antaranews.com/berita/750295/istana-kodriyah-pontianak-cagar-budaya-yang-utuh