April 18, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Covid-19 Tidak Dapat Diselesaikan Dengan Otokrasi, Tetapi Khilafah

Oleh : Yuyun Maria Ulfa, S.Pd (Aktivis Muslimah Malang)

Baru-baru ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menyebut Negara dengan sistem otokrasi dan oligarki yang terpusat pada satu atau sekelompok orang akan lebih mudah menangani Covid-19. “Seperti China dan Vietnam mereka menangani dengan lebih efektif karena mereka menggunakan cara-cara yang keras karena pemegang kedaulatan bukan rakyat, bukan demokrasi,” ungkapnya. (Okezone.com, 3/9/2020)

Sebelumnya, Vietnam merupakan salah satu negara yang berhasil menangani penyebaran wabah asal Wuhan, China. Hal itu dicapai akibat ketatnya penanganan yang dilakukan otoritas negara itu. Bahkan, akibat penanganan tersebut, Vietnam melaporkan tidak ada kematian akibat COVID-19. Bahkan Vietnam menjadi negara dengan nol kasus Covid selalah 100 hari virus ini ditemukan. Namun, pencapaian itu berubah setelah kasus Danang ditemukan. Sabtu (1/8/2020), seorang pria berusia 70 tahun yang berasal dari pusat Kota Hoi An menjadi kasus kematian pertama akibat COVID-19 di negara itu, sebagaimana dilaporkan sejumlah media.

Sedangkan di China, nol kasus corona dapat dicapai setelah 6 bulan, Seperti dilansir AFP dan kantor berita Xinhua News Agency, Sabtu (23/5/2020), Komisi Kesehatan Nasional China (NHC) melaporkan nol kasus baru atau tidak ada tambahan kasus dalam 24 jam terakhir. Tetapi Otoritas China melaporkan kembali adanya kasus baru konfirmasi virus corona (Covid-19) di Kota Wuhan setelah satu bulan dinyatakan tidak ada kasus dan penemuan ini menjadi ancaman gelombang kedua wabah.

Vietnam dan China adalah negara otoriter yang hanya memiliki satu partai, yakni Partai Komunis. Kunci sukses penanganan covid-19 kepada sistem Beijing yang terpusat, pemerintahan satu partai yang tak memungkinkan perbedaan pendapat, hingga memobilisasi sumber daya untuk satu isu. Hal ini yang dijadikan alasan bahwa otokrasi atau oligarki sistem yang baik.

Oligarki diartikan sebagai  bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Sedangkan Otokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya. dipegang. oleh satu orang. Otokrasi berasal dari bahasa Yunani autokrator, yang berarti berkuasa sendiri.

Meskipun demikian Narasi sistem otokrasi dan oligarki yang menghasilkan kepatuhan masyarakat sebagai prasyarat penanganan krisis, dipandang sebagai pernyataan menyesatkan. Mengingat, sepanjang sejarah penerapan otokrasi menjadikan kehidupan rakyat menderita. Bangsa ini juga telah mengalami sejarah kelam pada tahun 1965-1966 ketika partai komunis ini masuk. Pembantaian dan pemenjaraan menjadi hal yang terus terjadi.

Kepatuhan yang terjadi dalam sistem otokrasi dan oligarki merupakan hasil dari rasa takut dan keterpaksaan dan sifatnya tidak permanen. Hal ini akan membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa karena menjadi luka dan dendam terhadap penguasa, dan akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun. Ini juga telah terbukti dalam sejarah penerapannya.

Disisi lain pernyataan tersebut menunjukan  gagalnya negara-negara demokrasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan, dan menimbulkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap upaya pemerintah dalam menghadapi wabah Covid-19. Sebagaimana dilansir melalui CNN Indonesia (27/7), survey menunjukkan turunnya kepercayaan masyarakat atas pemerintahan di seluruh dunia, setelah lebih dari setengah tahun melawan pandemi global infeksi virus Corona (Covid-19), kepercayaan masyarakat mulai turun kepada pemerintah. Hal ini terjadi di seluruh dunia.

Seperti dilansir AFP, rilis survey terbaru menyebutkan banyak pemerintah di dunia kehilangan kepercayaan publik dalam menangani pandemi virus corona. Lembaga resmi kesehatan dunia mencatat ada lebih dari 280 ribu kasus baru dalam dua hari terakhir.

Masyarakat di Perancis, Jerman, Inggris, Jepang, Swedia dan AS percaya angka kematian dan infeksi sesungguhnya lebih tinggi dari yang dicatat. Hal ini disebutkan oleh sebuah penelitian yang mensurvei 1.000 orang di setiap negara. “Bulan ini, di sebagian besar negara, dukungan untuk pemerintah nasional menurun,” kata laporan konsultasi komunikasi Kekst (CNC). (CNN Indonesia, 27/7/2020)

Sebagaimana dikutip dari sumber yang sama, di tengah infeksi yang meningkat di Perancis, Perdana Menteri Jean Castex mengumumkan pelaksanaan pengujian kesehatan di tempat bagi para pelancong yang datang dari 16 negara berisiko tinggi. Tetapi dia mengatakan kepada surat kabar Nice Matin bahwa Perancis tidak akan kembali menutup penuh kegiatan di negaranya karena kerusakan ekonomi yang terjadi. Tak hanya ekonomi, ada kerugian psikologis yang diderita banyak orang.

Sedangkan di Indonesia kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani kasus Corona berdasarkan survey pun ikut menurun. Bahkan indonesia menjadi negara yang gagal dalam penanganan covid-19 ini, sampai hari ini peningkatan kasus tetap melonjak dan tidak terkendali.

Data terbaru menunjukkan adanya penambahan pasien positif Covid-19 sebanyak 3.307 orang dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu membuat pasien Covid-19 di Indonesia mencapai 203.342 orang sejak kasus perdana diumumkan 2 Maret lalu. Sementara pasien meninggal dunia akibat Covid-19 juga bertambah 106 orang dalam 24 jam terakhir. Total pasien yang meninggal dunia akibat Covid-19 kini berjumlah 8.336 orang. Dari kondisi Indonesia ini menjadikan warga negara Indonesia ditolak masuk di 59 negara.

Dalam situasi seperti ini harusnya Pemerintah  meningkatkan kepercayaan rakyat dengan kebijakan yang berpihak pada publik, tidak mengistimewakan segelintir kelompok, kemudian menjalankannya secara konsisten dan adil.  Tetapi yang kita saksikan adalah adanya penguasa dengan vulgar mempertontonkan kecurangan dan ketidakmampuan mengatasi masalah.

Hasilnya, rakyat makin hilang kepercayaan pada penguasa. Jadi sesungguhnya  ini sebagai penyakit bawaan dalam rezim demokrasi di mana pun berada. Dan ini menjadi  bukti bobroknya demokrasi. Pernyataan Tito  hanyalah upaya menutupi cacat sistem hari ini dan mencoba menutup mata negeri ini dari kebutuhan akan perubahan mendasar terhadap sistem kehidupan yang berjalan.

Wabah memang akan dapat terjadi kapanpun, dalam sistem manapun. Yang menjadi perhatian harusnya adalah bagaimana sistem ini dapat menangani wabah. Maka dunia saat ini butuh sistem alternatif, bukan bemokrasi, bukan otokrasi. Sistem alternatif tersebut adalah sistem yang dapat mewujudkan terselenggaranya fungsi negara secara konsisten oleh penguasanya.

Sebagai pengayom dan penanggung jawab, negara akan bekerja optimal mengatasi krisis dan mensosialisasikan protokol kesehatan untuk dijalankan rakyatnya. Bukan karena dorongan materi yang bersifat relatif atau takut diprotes rakyat, tetapi karena ingin mendapat kemuliaan akhirat. Rakyat akan mematuhi protokol karena trust.

Sistem alternatif yang dibutuhkan tersebut ada pada Islam. Wabah juga pernah terjadi pada masa Islam. sistem Islam telah memiliki seperangkat aturan untuk menangani wabah ini. Solusi Islam dalam mengatasi wabah tidak bisa dilepaskan dari komprehensivitas ajaran Islam. Berikut ini beberapa paradigma Islam tentang manusia, masyarakat dan negara.

Pertama, ri’ayah (mengurusi dan mengayomi rakyat). Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Rasulullah saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dia pimpin.” (HR al-Bukhari).

Kedua, wajib menjaga nyawa manusia (hifzh an-nafs). Di antara maqashid asy-syari’ah (tujuan syariah) adalah hifzh an-nafs, yakni menjaga jiwa, Dengan demikian dalam pandangan Islam, nyawa manusia harus diutamakan, melebihi ekonomi, pariwisata, atau pun lainnya.

Ketiga, berbasis syariah. Dalam Islam setiap perbuatan dapat bernilai ibadah selama memenuhi dua kriteria, yakni perbuatan tersebut dilaksanakan karena Allah SWT (untuk meraih ridha Allah SWT) dan dilaksanakan sesuai dengan syariah. Demikian pula dalam ikhtiar mengatasi wabah. Harus dengan mengikuti syariah, yakni mengikuti Rasulullah saw. Hal itu bukan hanya agar wabah tertangani, tetapi juga agar bernilai ibadah.

Keempat, mekanisme anggaran yang fleksibel dan cepat dalam penanganan masalah. Ajaran Islam dalam urusan birokrasi dan administrasi sangat fleksibel, sehingga untuk menangani wabah atau lainnya dapat dikerjakan sangat cepat.

Kebijakan Praktis Khilafah

Dalam hal ini, pendekatan dilakukan secara komprehensif, yaitu dari sisi negara dan dari sisi rakyat. Kedua-duanya dijalankan dengan maksimal. Negara dan umat sama-sama melaksanakan kewajibannya masing-masing.

Dari sisi Negara.

Negara dan pemimpin harus memainkan peran yang paling penting. Pemimpin dan negara harus mengacu pada syariah Islam yang sudah sangat jelas. Beberapa hal yang dapat dilakukan negara antara lain menentukan tes dan tracing dengan cepat. Selain itu, pusat wabah harus segera ditentukan dengan cepat dan menjaga secara ketat agar wabah tidak meluas dan menyebar.

Berikutnya negara menjamin semua kebutuhan dasar masyarakat di daerah yang diisolasi. Merawat, mengobati dan melayani orang-orang yang sakit di daerah wabah, dan menjaga wilayah lain yang tidak masuk zona tetap produktif. Negara juga memperkuat dan meningkatkan sistem kesehatan baik itu terkait fasilitas, obatan-obatan, SDM, dan lain-lain. Negara juga akan mendorong para ilmuwan untuk menemukan obat/vaksin dengan cepat. Dan diberikan langsung kepada masyarakat yang dilakukan secara gratis.

Dari sisi rakyat.

  • Mentaati segala protap dengan dasar ketakwaan kepada Allah.

Protap dan aturan yang telah diputuskan oleh Imam (Khalifah) yang dibaiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya wajib ditaati. Masyarakat yang taat bukan hanya akan terhindar dari wabah sehingga mata rantai wabah segera berakhir, tetapi mereka juga mendapatkan pahala yang besar dari Allah SWT karena taat kepada pemimpin Islam. Sebaliknya, melanggar keputusan imam (khalifah) adalah perbuatan maksiat yang akan mendapatkan siksa dari Allah (QS an-Nisa’ [4]: 59).

  • Sabar dan ikhtiar, tidak putus asa bagi yang ditimpa musibah.

Masyarakat Islam menyadari bahwa berbagai musibah adalah qadha dari Allah SWT. Mereka menerima dengan ridha, sabar, tidak panik, apalagi putus asa. Rasul saw. bersabda, “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman. Semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya) dan ini hanya ada pada seorang mukmin. Jika dia mendapatkan kesenangan, dia bersyukur. Itu adalah kebaikan bagi dirinya. Jika dia ditimpa kesusahan, dia bersabar. Itu adalah kebaikan bagi dirinya.” (HR al-Muslim).

  • Masyarakat saling membantu dengan dorongan keimanan.

Islam mengajarkan masyarakat untuk saling membantu, apalagi pada saat wabah. Beberapa orang yang seharusnya mengisolasi diri, tetapi miskin dan negara tidak menjangkau, maka masyarakat di sekitarnya harus membantunya. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang. sedangkan tetangganya kelaparan sampai ke lambungnya. Padahal ia (orang yang kenyang) mengetahui.” (HR al-Bukhari).

Demikianlah bagaiman Islam dan sistemnya menjaga, melindungi dan mengurusi urusan rakyat. Peran tersebut ada pada negara dan pemimpin sebagai penanggung jawab urusan tersebut. Selain itu masyarakat yang mendukung dan taat kepada pemimpin semata-mata karena perintah Allah SWT. Semuanya dilakukan dalam koridor aturan syariah Islam. Dan penyempurna pelaksanaan syariah adalah institusi Khilafah.

Wallahualam Bishowwab