March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Benarkah Medical Tourism Solusi Perbaikan Ekonomi?

Oleh: Ong Hwei Fang (Pemerhati Isu Politik)

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyarankan pemerintah fokus memperbaiki konsep pelayanan kesehatan di dalam negeri ketimbang mempermudah impor dokter asing seperti yang diwacanakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) Luhut Binsar Panjaitan memerintahkan BKPM yang dikepalai oleh Bahlil Lahadalia mendatangkan rumah sakit asing ke dalam negeri. Permintaan ini diiringi dengan rencana pemerintah untuk mengizinkan dokter asing lebih banyak di Indonesia.

Sebagaimana dilansir pada laman CNBC, bawah berdasarkan analisa PCW di tahun 2015, Indonesia merupakan negara asal wisatawan medis dengan jumlah 600.000 orang, terbesar di dunia mengalahkan Amerika Serikat dengan 500.000 orang wisatawan medis di tahun yang sama. Melihat potensi dan berbagai pertimbangan fakta maka melalui wisata medis ini harapannya pemerintah Indonesia akan melakukan diversifikasi ekonomi, menarik investasi luar negeri, penyediaan lapangan pekerjaan, pembangunan industri layanan kesehatan di Indonesia serta menahan laju layanan kesehatan serta devisa agar tidak mengalir ke negara-negara yang lebih sejahtera. (CNBC Indonesia, 29/8).

Bagaimana Mutu Pelayanan Kesehatan dalam Medical Tourism?

Wisata kesehatan atau yang pada umumnya sering disebut dengan medical tourism merupakan bentuk baru pariwisata (Heung et al. 2011), atau suatu perjalanan yang terorganisir ke luar lingkungan lokal individu untuk pemeliharaan, peningkatan, dan pemulihan kesehatan dengan melakukan intervensi medis (Carl dan Carrera, 2010). Lebih lanjut Heung telah mengidentifikasi bahwa negara-negara seperti India, Malaysia, Singapura, Thailand, telah menjadi negara yang telah menerapkan peluang bisnis medical tourism dengan menarik lebih dua juta wisatawan medis pada tahun 2005. Sedangkan negara Hongkong, Hungaria, Israel, Yordania, Filipina, Brasil, Kosta Rika, Meksiko, dan Turki juga sedang dalam penerapan menarik wisatawan medis khususnya di bidang bedah.

Wisata medis dipandang sebagai sebuah proses penyediaan pelayanan kesehatan medis dengan biaya efektif bagi pasien melalui kerja sama dengan industri pariwisata. Sehingga para wisatawan yang menggunakan perjalanan dengan medical tourism mendapat keuntungan yaitu tidak hanya menjalani perawatan medis namun dapat sambil menikmati perjalanan dan tinggal di salah satu tujuan wisata wisata populer di dunia (Gupta, 2008), meski demikian sering juga para wisatawan hanya melakukan perjalanan semata untuk pelayanan kesehatan.

Peran pemerintah sangat diperlukan pada medical tourism sebagai regulator atau pengambil kebijakan karena menurut Cohen (2012) wisata medis dapat terdiri dari tiga kelompok terpisah, yakni:

  1. Populasi pasien berdasarkan tiga kategori besar :
    a. Populasi pasien yang membayar dengan biaya sendiri atau out of pocket,
    b. Perusahaan asuransi swasta sebagai pendorong adanya medical tourism. Dalam hal tersebut asuransi dalam bentuk khusus hanya mencangkup layanan luar negeri tanpa pemberian insentif apapun, sedangkan, dalam cakupan yang lebih umum asuransi menawarkan kepada individu untuk mendapatkan perawatan di luar negeri dengan pembayaran insentif kepada pihak asuransi.
    c. Pemerintah sebagai penyelenggara medical tourism.
  2. Jenis layanan yang dicari berdasarkan legalitas :
    a. Medical tourism untuk layanan ilegal di negara asal dan negara tujuan (seperti pembelian organ di Filipina).
    b. Medical tourism untuk layanan ilegal di negara asal tetapi tidak berlaku di negara tujuan (seperti euthanasia, stem cell tourism).
    c. Medical tourism untuk layanan legal di negara asal dan tujuan. Penyebabnya karena biaya lebih rendah, keahlian teknologi yang tinggi di luar negeri, dan tidak adanya waktu antrian.
  3. Jenis masalah hukum atau etika yang timbul akibat dari medical tourism bagi negara asal dan tujuan menimbulkan masalah, yaitu:
    a. Mengekspos pasien negara asal ketika mendapatkan perawatan yang buruk di luar negeri.
    b. Doktrin acara perdata di negara asal pasien dan pilhan hukum yang berlaku di negara tujuan, yang masih terdapat kurangnya perlindungan terhadap pasien dan pengabaian hak atas kompensasi terhadap malpraktik medis yang terjadi setiap kejadian medical error.
    c. Keamanan yang menjamin perawatan pasien medical tourism setelah kembali dari negara tujuan dan bersedia bertanggung jawab untuk tiap komplikasi yang terjadi.
    d. Efek dinamis pada pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah termasuk kemungkinan regulasi.
    e. Efek negatif terhadap medical tourism terhadap akses pelayanan perawatan medis oleh negara tujuan yang buruk, jika terjadi adanya jaminan bea normatif dari negara asal atau badan internasional untuk memperbaikinya.

Dari uraian di atas, apakah wisata medis ini layak untuk dilanjutkan mengingat resiko yang akan berimbas terhadap rakyat dan juga negara menjadi taruhannya? Sedangkan mengatasi pandemi saja belum menemui titik terang. Dalam hal ini, pemerintah seolah fokus pada peningkatan ekonomi daripada menuntaskan urusan hajat hidup rakyat yang kacau karena wabah secara efektif.

Medical Tourism dalam Islam

Investasi merupakan komitmen untuk menahan sejumlah dana dengan tujuan memperoleh keuntungan. Kegiatan investasi secara eksplisit maupun implisit tertuang pada sejumlah ayat di dalam Al-Quran dan sunnah nabi Muhammad saw.

Pada dasarnya, investasi dalam syariah pada semua bentuk muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya, yaitu apabila ditemukan kegiatan terlarang dalam suatu kegiatan bisnis, baik objek produknya maupun proses kegiatan usahanya yang mengandung unsur haram, gharar, maysir, riba, tadlis, talaqqi al rukban, ghabn, dara, rishwah, maksiat dan zulm, maka tidak boleh ada investasi atau muamalah apapun. Dalam investasi, terdapat aturan syariah mengenai akad apa saja yang dibolehkan, apa yang dilarang, dan risiko yang timbul sebagai bagian integral dari kegiatan investasi.

Memang tidak ada salahnya bila Indonesia ingin mewacanakan medical tourism, namun tentunya perlu persiapan matang. Mengingat, kondisi negara sedang dilanda wabah dan butuh penanganan darurat mengentaskan pandemi tersebut. Apabila pemerintah fokus pada investasi apakah nilainya akan sebanding untuk memakmurkan rakyat atau justru membuat persaingan di dalam negeri? Inilah yang patut diwaspadai.

Sebagai contoh, ketika Islam berjaya dibawah naungan Khilafah Islamiyyah, pemerintahan mampu memenej kesehatan masyarakat dengan rumah sakitnya yang baik. Dokter-dokter Islam adalah yang pertama kali mendirikan rumah sakit dalam pengertian modern.

Pada zaman pertengahan, hampir semua kota besar di era Khilafah memiliki rumah sakit. Di Cairo rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien. Rumah sakit ini juga sudah digunakan sebagai pusat pendidikan dan riset dibidang kedokteran. Dan semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi dengan test-test kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obatnya, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien dengan penyakit tertentu.

Bahkan rumah sakit Islam menjadi favorit pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya. Namun pada hari keempat jika tidak terbukti sakit, meraka akan disuruh pergi karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.

Melihat kondisi kekinian Indonesia sebagai salah satu negeri muslim yang sangat jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Thailand atau Singapura yang notabenenya adalah negara kapitalis yang memilih potensi rumah sakit dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata andalan. Asia menjadi salah satu wilayah yang cukup gencar dalam mempromosikan wisata medis.

Menurut riset yang dirintis AM Mind Power Solutions, wisata medis asia bisa menyedot 10 juta pasien pada tahun 2015. Angka itu dua kali lipat dibanding tahun lalu.

Maka, berkembangnya wisata medis di Asia saat ini, tak heran jika pasien dari Negara-negara maju melirik kawasan benua kuning sebagai tempat untuk berobat sambil berwisata. Biaya murah plus fasilitas mewah yang ditawarkan membuat prediksi industri wisata medis di Asia semakin menggiurkan.

Sementara, Indonesia saat ini masih menjadi penyumbang besar pada jumlah pasien wisata medis di Asia, terutama di Malaysia dan Singapura. Ini karena biaya berobat yang dinilai masih mahal dibanding negeri tetangga itu.

Intinya bukan wisata yang ingin dicari, tapi pelayanan kesehatan yang mejamin serta biaya murah yang ingin didapatkan. Oleh karena itu harus ada sinergi yang besar antara komponen pemerintah dengan komponen pendukung seperti tenaga kesehatan yang dihasilkan dari kurikulum pendidikan yang cerdas dengan budaya risetnya yang unggul serta masyarakat yang terus menurus diedukasi akan pentingnya hidup sehat agar kedepannya kita akan menjadi umat yang unggul ditengah modernitas kesehatan global.

Maka, jauh sebelum menjadikan Indonesia sebagai negara dengan medical tourism, alangkah baiknya jika negara mau berkaca pada kejayaan Islam untuk dipetik pelajaran bahwa kesejahteraan rakyat dalam suatu negara menjadi tujuan utama dan bukan sebagai peluang mencari keuntungan belaka.

Wallahua’lam