March 29, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Bagaimana Seharusnya Kita Menyampaikan Dakwah? (Bagian Kedua)

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Ketujuh, Gaya Bahasa al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Mengajarkan Kesantunan dan Ketepatan dalam Memilih Diksi Ungkapan

Al-Quran dan al-Hadits mengajarkan kepada kita kesantunan dalam bertutur. Al-Quran adalah contoh terbaik ujaran yang “baligh” (bernilai balghah), dimana keduanya memenuhi dua unsur utama, yaitu makna yang “jalil” dan ungkapan bahasa yang fasih yang sesuai dengan situasi kondisi mutakalllim (pihak yang berbicara) dan mukhathab (pihak yang yang diajak bicara). Dengan mencermati uslub (gaya bahasa) al-Quran, maka kita akan simpulkan bahwa nilai balaghah al-Quran terpenuhi karena merupakan kalam yaang fasih serta sesuai maqam (situasi). Situasi dan kondisi yang dimaksud adalah meliputi respon yang diinginkan oleh mutakallim dari mukhathab, kondisi keduabelah pihak, serta kondisi tempat dan situasi waktu disampaikannya suatu ujaran (kalam).

Dalam ilmu Ma’ani (cabang dari ilmu Balaghah), al-Quran kadang berujar dengan ringkas namun mengandung makna yang dalam (al-ijaz), dan kadang panjang lebar (al-ithnab). Berujar dengan orang yang memiliki pengetahuan, dengan yang tidak berilmu, tentu pendekatannya berbeda. Al-Quran kadang berujar dengan dengan qashr, jika hendak memberikan fokus, penegasan, atau penekanan. Penegasan juga kadang dilakukan dengan melakukan pengulangan (takrar). Sebagai bentuk dinamisasi dalam berujar, dalam al-Quran juga kadang terdapat iltifat (pengalihan perhatian), seperti dari kata ganti kedua menjadi kata ganti ketiga. Kritik kepada orang kedua yang diajak bicara dalam bentuk kritik kepada orang ketiga (ghaib) akan terkesan lebih santun.

Dalam kajian ilmu Bayan, gaya bahasa al-Quran dengan menggunakan berbagai bentuk kiasan akan menunjukkan ketinggian gaya bahasa al-Quran. Uslub Bayan ini mencakup perbandingan, persamaan dan ibarat (tasybih, simile), metafora (isti’arah tashrihiyyah) dan personifikasi (isti’arah makniyyah), majaz mursal (hubungan bukan persamaan), metonimi (kinayah), termasuk sindiran (ta’ridh), dll.. Berikut adalah beberapa contohnya:

(1) Al-Quran mengeritik rapuhnya posisi mereka yang menjadikan pelindung selain dari pada Allah dengan menggunakan tasybih (simile).

 “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui” (QS. al-Ankabut: 41)

(2) Al-Quran menjelaskankan balasan bagi orang kafir dengan menggunakan tasybih (simile).

 “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18)

(3) Al-Quran menjelaskankan buruknya kondisi orang munafik dengan menggunakan tasybih (simile).

“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 17-18)

(4) Al-Quran menjelaskankan rendahnya kesyirikan dengan menggunakan metafora (isti’arah tashrihiyyah).

 “Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah: 40)

(5) Al-Quran menggiring opini bahwa orang kafir memusuhi manusia dengan menggunakan majaz mursal (hubungan bukan persamaan)

“Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia (Muhammad).” (QS. Al-Nisa: 53)

(6) Al-Quran mencela orang kafir dengan menggunakan sindiran (ta’ridh).

 “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakan diriku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan? Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selainnya jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagiku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?” (QS. Yasin: 22)

Tujuan kalam pada ayat 22 ini adalah menyindir, yang juga ditunjukkan dengan adanya iltifat (pengalihan dari dhamir orang pertama menjadi dhamir kedua) “wa ilaihi turja’un”. Sesungguhnya yang dituju adalah “kamu”, namun dengan cerita tentang “aku”. Ayat 23 juga merupakan sindiran kepada mereka yang menyembah kepada selain Allah.

(7) Al-Quran mencela orang yang menyerupai orang munafik dengan menggunakan sindiran (ta’ridh).

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaf: 2-3)

Panggilan “wahai orang yang beriman” pada ayat di atas ditujukan kepada orang yang berkelakuan seperti orang munafik, merupakan sindirin kepada mereka.

Uslub kinayah model ta’ridh (sindiran) dapat dijadikan alat menegur, mengeritik, mencela, dan tujuan kontrol sosial lainnya dengan cara yang lebih dapat diterima dan hasilnya akan lebih efektif, dibandingkan dengan kritikan atau celaan secara langsung.

(8) Rasulullah menegur orang yang menyelisihi syariat dengan bentuk pertanyaan retoris (istifham inkariy). Dari Aisyah ra, beliau berkata, Bahwa orang-orang Quraisy pernah digemparkan oleh kasus seorang wanita dari Bani Mahzum yang mencuri di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tepatnya ketika masa perang Al Fath. Lalu mereka berkata: “siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Siapa yang lebih berani selain Usamah bin Zaid, orang yang dicintai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?”. Maka Usamah bin Zaid pun menyampaikan kasus tersebut kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, hingga berubahlah warna wajah Rasulullah. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu hendak memberi syafa’ah (pertolongan) terhadap seseorang dari hukum Allah?”. Usamah berkata: “mohonkan aku ampunan wahai Rasulullah” (HR. al-Bukhari dan Muslim. Lafazh Muslim)

Kedelapan, Bererapa Ayat al-Quran dan Hadits Melakukan Kritik atau Celaan secara Langsung Namun Tetap Menjaga Nalar Argumentasi dan Sesuai Situasi Kondisinya

Celaan yang keras dan langsung setidaknya terjadi dalama tiga kondisi:

(1)Kepada orang kafir yang ingkar dan lalai. Allah SWT berfirman,

 “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf: 179). Orang kafir disebut binatang ternak karena tidak menggunakan akalnya untuk memahami ayat Allah. Demikian juga, mereka tidak menggunakan mata dan telinganya untuk melihat dan mendengar ayat Allah. Binatang ternak juga masih dirasa terhormat dari pada binatang najis atau yang diharamkan. Dalam ayat lainnya,

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. Al-Lahab: 1-5)

Ungkapan, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” merupakan balasan atas ucapan abu Lahab yang mengatakan, “Apakah hanya karena itu kamu mengumpulkan kami? Sungguh kecelakanlah bagimu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Allah hendak menegaskan bahwa Abu Lahablah yang sebenarnya akan binasa, bukan nabi Muhammad SAW. (2) Dalam situasi perang. Di antaranya kisah perjalanan beliau SAW ke Hudaibiyah dan perjanjian Hudaibiyah yang disampaikan Imam al-Bukhari dalam hadits yang sangat panjang, diantara isinya adalah:

Lalu Urwah mendatangi Rasulullah SAW, dan mulailah ia berbicara kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW menjawab seperti yang beliau sampaikan kepada Budail. Maka Urwahpun, ketika itu berkata: “Wahai, Muhammad, bagaimana pendapatmu, bila engkau habiskan perkara kaummu, apakah engkau pernah mendengar seorang dari bangsa Arab menghancurkan seluruh keluarganya sebelummu? Namun bila sebaliknya, sungguh aku tidak melihat orang-orang dan aku yakin orang-orang campuran tersebut, pasti akan lari dan meninggalkanmu”. Maka Abu Bakar berkata kepadanya: Sedot kemaluannya Latta! Apakah mungkin kami akan lari dan meninggalkannya? Maka Urwahpun menyahut: “Siapa itu?” Mereka menjawab: “Abu Bakar,” lalu Urwah berkata,”Seandainya bukan karena jasa baikmu kepadaku dahulu (yang) menghalangiku, tentu aku akan menjawab (pernyataan)mu ini.” (HR. Al-Bukhari)

Lanjutan hadits di atas,

Urwah kembali berbicara kepada Rasulullah SAW. Setiap kali berbicara, maka ia memegangi jenggot Rasulullah. Dan al-Mughirah bin Syu’bah berdiri di belakang kepala Nabi SAW membawa pedang dan mengenakan tutup kepala besi, sehingga setiap kali Urwah menggerakkan tangannya ke arah jenggot Nabi SAW, maka al-Mughirah memukulnya dengan gagang pedang, dan berkata: “Tahan tanganmu dari jenggot Rasulullah SAW,” lalu Urwah pun mengangkat kepalanya dan berkata: “Siapa ini?” Mereka menjawab,”Al-Mughirah bin Syu’bah,” maka Urwah pun berkata: “Wahai, penghianat! Bukankan aku telah berusaha menghilangkan (kejelekan) pengkhianatanmu?” (HR. Al-Bukhari) (3) Ketika menghadapi orang zhalim yang melampaui batas dari kalangan ahli kitab. Allah SWT berfirman,

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS. Al-Ankabut: 46)

Ayat ini berisi larangan mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani melainkan dengan cara yang baik dan metode yang benar, yaitu dengan dakwah menggunakan argumentasi yang jelas. Hal demikian dikecualikan terhadap orang-orang yang zhalim di antara mereka yang melakukan penentangan dan kesombongan serta mengumumkan perang terhadap kaum muslim. Maka terhadap mereka diperlakukan secara tegas, seperti dihadapi dengan perang, hingga mereka menyerah atau membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa orang zhalim yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran. Mereka buta, tidak dapat melihat bukti yang jelas dan ingkar serta sombong. Maka jika sudah sampai pada tingkatan tersebut, cara berdebat tidak dapat dipakai lagi, melainkan melalui jalan kekerasan, dan mereka harus diperangi agar jera dan menjadi sadar.

Kesembilan, Sikap Kepada Penguasa yang Zhalim dan Menyengsarakan Rakyat

Penguasa zhalim yang menyengsarakan rakyat harus dikoreksi (muhasabah). Muhasabah adalah kewajiban dari setiap muslim. Hadits Nabi SAW menyifati mereka dalam bentuk celaan yang keras.

Nabi SAW bersabda dalam beberapa hadits berikut ini,

“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zhalim.” (HR. Al-Tirmidzi)

 “Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda). Dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah): Orang tua yang berzina, Penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR. Muslim)

“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” Dalam lafazh yang lain disebutkan, “Ialu ia mati dimana ketika matinya itu dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) “Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim). []