April 20, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

Antara Rezim, Buzzer, Influencer dan Persecutor

Oleh : Taofik Andi Rachman, M.Pd. (Pengisi Tetap Channel Youtube Majelis Baitul Ummah)

Beberapa kali masyarakat mencurigai adanya buzzer atau influencer yang dipekerjakan oleh pemerintah pusat, tetapi selalu saja kesulitan untuk menunjukkan kecurigaan tersebut. Namun akhirnya kecurigaan ini terbukti, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pemerintah mengeluarkan dana sangat besar mencapai Rp 90,45 miliar untuk Influencer bahkan bisa lebih.

Data ini merupakan belanja pemerintah antara tahun 2017-2020 yang dikumpulkan ICW dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di 34 kementerian, 5 lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), serta dua institusi penegak hukum yakni Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang ditelusuri. Peneliti ICW Egi Primayogha mengatakan terdapat jumlah paket pengadaan mencapai 40 dengan kata kunci influencer dan key opinion leader tersebut dari tahun 2017. (kompas.com, 20/08/2020)

Akhirnya, setelah terbelit-belit menolak temuan ICW ini pemerintah mengaku menggunakan influencer. Pengakuan pemerintah dinyatakan oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian ketika menanggapi kritik ICW. Dia menyatakan bahwa penggunaan jasa influencer atau pemengaruh oleh lembaga pemerintah adalah sah untuk mensosialisasikan kebijakan. Influencer ini dipilih sesuai kompetensi dan tidak untuk menyebarkan informasi yang keliru. (mediaindonesia.com, 22/08/2020)

Pengakuan ini semakin memperkuat dugaan bahwa pemerintah menggunakan pihak ketiga dalam menjalankan kekuasaannya, tidak hanya dalam mensosialisasikan kebijakan. Termasuk dugaan kuat menggunakan persecutor dalam menghadapi beberapa ormas yang tidak disukai oleh rezim atau setidaknya pemerintah membiarkan mereka menjalankan aksinya.

Seperti kejadian di sebuah Madrasah di Kecamatan Rembang, Pasuruan, seorang Kiyai sepuh, Zainullah Muslim, dipersekusi oleh massa dari Barisan Ansor Serbaguna (Banser) lantaran terindikasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Kiyai yang dibentak-bentak hanya mengangguk-ngangguk dan tetap tenang menghadapi mereka sampai meminta dilaporkan ke polisi jika beliau dituduh bersalah. Berderanya video viral atas persekusi ini menjadi polemik di tengah masyarakat. 

Namun, tidak diduga Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi, mewakili pemerintah justru mengapresiasi langkah  yang dilakukan massa tersebut. Langkah itu dianggap sebagai tabayun yang mengedepankan cara-cara damai dalam menyikapi gesekan di masyarakat terkait masalah keagamaan.

Apresiasi ini banyak mendapatkan kritikan. Salah satunya dari Sekretaris Umum FPI Munarman. Menurutnya, tindakan tersebut bukan tabayyun melainkan persekusi. Munarman berkata, “Katanya menghormati hukum, kok malah mempersekusi dan mengintimidasi begitu. Itu sangat tidak mendidik.” Kata Munarman sebagaimana di kutip JPNN, Sabtu (22/8).

Begitu juga Sosiolog Musni Umar ikut mengkritik pernyataan Menag ini. Menurutya, Islam tidak mengajarkan untuk membuat kekerasan, membentak, dan melakukan intimidasi kepada ulama atau kepada siapa pun. “Kalau pernyataan Menag ini benar, amat disayangkan, karena Islam tidak mengajarkan untuk membuat kekerasan, membentak, dan melakukan intimidasi kepada ulama atau kepada siapa pun,” ucap Prof Musni sebagaimana dikutip di akunnya di Twitter, Minggu (23/8).

Sehingga banyak yang mempertanyakan konsep tabayyun-nya Menag. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekelas Menag saja tidak paham apa itu tabayyun. Apakah tabayyun ala pemerintah itu seperti bentak-bentak kepada kiyai sepuh dan tidak mengindahkan proses hukum? Akan sangat berbahaya jika kedepan ‘tabayyun’ seperti ini menjadi standar bagi kehidupan masyarakat, padahal ini jelas sebuah persekusi.

A.     Pengadaan Jasa Influencer Rezim Tidak Percaya Diri

ICW menyatakan, pemerintah menyuntikan dana hingga Rp 90,45 miliar untuk pengadaan jasa Influencer. Pada tahun 2017, terdapat 5 paket pengadaan jasa influenser dengan nilai Rp 17,68 miliar. Pada tahun 2018, lebih besar menjadi Rp 56,55 miliar untuk 15 paket pengadaan jasa influencer. Pada tahun 2019, jumlahnya sebesar Rp 6,67 miliar untuk 13 paket pengadaan. Dan pada tahun 2020, mencapai ada 9,53 miliar yang dihabiskan untuk 7 paket pengadaan. (ccnindonesia.com, 20/08/2020)

Lembaga pemerintah yang paling banyak menghabiskan anggaran untuk influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan pengadaan 22 paket dan anggaran Rp 77,6 miliar. Kemudian Kementerian Komunikasi dan Informatika Rp 10,83 Miliar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 1,6 Miliar, Kementerian Perhubungan Rp 195,8 juta serta Kementerian Pemuda dan Olahraga Rp 150 juta. Dan tahun 2020 sendiri, jumlahnya dipastikan semakin meningkat karena ada yang belum dipublikasikan di LPSE.

 Peneliti ICW Egi Primayogha khawatir meningkatnya penggunaan jasa influencer oleh beberapa instansi pemerintah akan menjadikan pemerintah terbiasa mengambil jalan pintas untuk mempengaruhi opini publik terkait sebuah kebijakan yang kontroversial. Pengerahan influencer itu dikhawatirkan menutup ruang percakapan publik terkait suatu kebijakan. Selain itu, dapat mengaburkan substansi kebijakan yang telah disusun, dan pada ujung akhirnya berakibat pada tertutupnya ruang diskusi.

Data ICW juga menyatakan secara umum pemerintah telah menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,29 triliun untuk keperluan aktivitas digital dari tahun 2014 sampai tahun 2020 ini. Anggaran ini digunakan untuk belanja penyediaan infrastruktur menunjang kegiatan di ranah digital, pengadaan komputer dan media sosial, dan juga membayar jasa influencer. (kompas.com, 20/08/2020)

ICW juga menilai, rezim tidak percaya diri dengan program dan kebijakannya. Hal tersebut terlihat dari upaya pemerintah menggelontorkan banyaknya anggaran yang dikeluarkan untuk influencer. Contohnya dalam penggunaan influencer untuk sosialisasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada 2019. Beberapa artis muncul menjadi influencer seperti Gritte Agatha dan Ayushita WN total anggaran Rp 114,4 juta. Lalu terdapat nama Ahmad Jalaluddin Rumi atau El dan Ali Syakieb yang juga menjadi influencer untuk program tersebut. Kemendikbud juga menggelontorkan Rp 114,4 juta untuk dua influencer itu.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga berbicara, bahwa pengerahan influencer atau buzzer juga bisa menipu publik dengan memburamkan informasi mana yang dipublikasikan bayaran, mana pendapat pribadi diri mereka. “Buzzer secara prinsip tidak mempunyai basis moral untuk ada di suasana demokrasi,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?”, Kamis (20/8/2020).

Hal ini karena, publik tidak bisa membedakan mana yang pendapat pribadi atau mana yang karena iklan yang dibayar. Berbeda jika iklan ditunjukkan oleh media massa seperti televisi atau radio yang memberi batas jelas antara siaran yang bersifat berita inti dengan siaran iklan.

Bahkan Said Didu juga menyatakan bahwa membayar buzzer, menggunakan uang rakyat untuk menyerang rakyat lainnya. Ini kerap terjadi bagi para tokoh yang diserang oleh buzzer ketika mereka mengkritik kebijakan pemerintah. Sehingga beberapa tokoh juga menyoroti influencer pemerintah yang turut serta mengkampanyekan program pemerintah ini. Mereka memandang influencer pemerintah tersebut hanya sekadar ikut bersuara tanpa memahami betul konten yang diankatnya.

B.     Persecutor untuk Ajaran Islam, Tidak untuk Ajaran Komunisme

Tindakan persekusi sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat, karena sudah mencapai tahapan mengancam kebebasan berpendapat dan berkumpul. Persekusi juga dapat mengancam kehidupan bermasyarakat karena sekelompok orang bisa dengan mudah menetapkan seseorang dinyatakan bersalah dan menghukumi tanpa melalui proses hukum atau due proses of law, selama pemerintah mendiamkan hal tersebut.

Politikus senior Amien Rais mengkritik jalannya kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di zaman Presiden Joko Widodo. Menurut Amien saat ini bukan semakin baik, tapi semakin buruk. Beliau menilai hasil pembangunan politik di masa ini telah memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kecurigaan dan ketakutan terhadap umat Islam yang kritis dan korektif terhadap rezim begitu jelas kita rasakan. Bahkan menurutnya Kriminalisasi dan demonisasi, dan persekusi terhadap para ulama yang amar ma’ruf nahi munkar telah menjadi rahasia umum. (detik.com, 13/08/2020)

Amien Rais menggambarkan kondisi berbangsa dan bernegara era Jokowi dengan politik belah bambu. Memihak satu kelompok dan menjatuhkan kelompok yang lain. Para buzzer bayaran, dan para jubir Istana di berbagai diskusi atau acara di banyak stasiun televisi semakin menambah kecurigaan banyak kalangan teradap politik Jokowi yang beresensi politik belah bambu.

Persatuan kaum muslimin di Indonesia pun kini terbelah. Akibatnya ada muslim atau ormas yang sesama muslim sering terlihat galak dan keras, namun terhadap yang sejalan bermuka manis bahkan bergandengan tangan bekerja sama meskipun berbeda agama. Sampai-sampai bersinggungan dengan prinsip akidah sekalipun dianggap tidak masalah, seperti menjaga tempat ibadah non muslim, memberikan selamat atas hari besar agama lain, hingga doa bersama dan shalawatan ditempat ibadah mereka.

 Namun sikap ini berbeda jika terhadap sesama saudara seakidah yaitu umat Islam sendiri yang hanya beda ijtihad dalam masalah furu’iyah, seringkali menunjukkan semangat permusuhan. Sampai menggambarkan sebuah simbolisasi dengan ciri-ciri kelompok yang harus dimusuhi, misalnya dengan celana cingkrang, berjenggot panjang, jidadnya hitam, cadar, aktivis hijrah dan aktivis Khilafah. Padahal jika ijtihad furu’iyah tersebut berbeda maka cukup saling menghargai saja sebagai saudara. Kalaupun ada pendapat salah maka itu bagian hukum Syariah dan masing-masing mendapatkan satu ganjaran, tidak berdosa sebagaimana dosanya fitnah kekufuran.

Di sisi lain disaat Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama umat melakukan penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan meminta untuk dilakukan pengusutan kepada para inisiator RUU yang bercorak menghidupkan kembali paham komunisme, ormasi ini tidak melakukan pergerakan ‘tabayyun’ sebagaimana yang ditujukan kepada Kiyai sepuh di Pasuruan.

Bahkan MUI juga mendorong adanya “masirah kubro” dari umat Islam di seluruh pelosok, jika Maklumat Penolakan RUU tidak diindahkan oleh DPR atau Pemerintah. Namun hal ini juga tidak menggerakkan mereka sama sekali.

Inilah contoh rendahnya persatuan umat Islam yang harus segera diperbaiki. Semangat persatuan ini terus diuji sejak dari dulu, dan akan selalu ada sebagian umat Islam yang terus memperbaiki sampai terbentuknya bangunan kuat persatuan dan kesatuan seperti satu tubuh.

C.     Kepemimpinan Islam Mandiri dan Melayani

Pemerintah mana pun tidak akan kehilangan dukungan dari rakyat terhadap kebijakan yang diambil dan tidak memerlukan buzzer untuk mempengaruhi rakyat agar bisa menerima kebijakan itu, jika pemerintah membuat kebijakan yang baik dan membela kepentingan rakyat. Maka kebijakan apapun walaupun tanpa influencer  akan selalu didukung oleh rakyat asalkan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.

Dana miliyaran yang dikeluarkan pemerintah untuk para buzzer seharusnya dapat dipergunakan untuk hibah kepada masyarakat kecil atau pengembangan ekonomi rakyat seperti pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Karena kontribusi UMKM sebagai penopang perekonomian rakyat.

Pada tahun 2019 UMKM memberikan kontribusi besar dengan angka 65% bagi PDB Indonesia (bisnis.com, 19/01/2019). Apalagi pada saat pandemi Corona yang belum selesai, keberadaan UMKM sangat terpukul dan sangat memerlukan bantuan dari pemerintah. Data dari Deputi Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemkop UKM) di bulan Juni tahun ini, ada sebanyak 2.322 koperasi dan 185.184 pelaku UMKM yang terkena dampak pandemi. (beritasatu.com, 8/06/2020)

Dalam kepemimpinan Islam merupakan kepemimpinan yang mandiri, memiliki kekuasaan yang sempurna dan tidak dapat diintervensi asing, serta selalu ada dalam melayani kebutuhan rakyat. Saat ini kepemimpinan yang ada di negeri-negeri muslim dipengaruhi oleh intervensi asing bahkan sampai dalam tataran penyusunan Undang-Undang (UU).

Di Indonesia sendiri berdasarkan sumber Badan Intelijen Negara pada tahun 2010 selama 12 tahun masa reformasi, terdapat puluhan UU yang dipengaruhi intervensi asing.  Bahkan 76 undang-undang draftnya dilakukan pihak asing. Intervensi ini merupakan upaya liberalisasi sektor vital di Indonesia, seperti UU terkait Kelistrikan, Migas, Pertanian, Perbankan dan Keuangan, sumber Daya Air dan lain-lain (tempo.co, 20/08/2020). Apalagi pada tahun 2020 saat ini tentu saja angkanya bisa saja meningkat.

Kepemimpinan Islam juga selalu menjadikan dirinya sebagai junnah atau perisai bagi umat. Fungsinya untuk menjaga, melayani dan menyelesaikan problematika umat serta senantiasa mengurusi urusan umat dan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, kepemimpinan Islam dapat bertahan hingga 1300 tahun lamanya. Hal ini tidak mungkin dapat terjadi kecuali selama itu umat Islam selalu ada bersama pemimpin mereka, membela dan menyokongnya. []

Wallahualam.