March 28, 2024

Beranda Islam

Terpercaya – Tajam – Mencerdaskan Umat

75 Tahun Demi Apa dan Untuk Siapa?

Oleh : Agus Martamanz / Jalan Literasi

Beberapa hari lagi, peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia akan dirayakan, yang menyatakan diri sebagai bangsa merdeka, merdeka dari penjajahan atas bangsa lain. Kemerdekaan bangsa Indonesia bukanlah hasil pemberian dari negara lain, tetapi dibayar dengan pengorbanan yang luar biasa besarnya. Kemerdekaan adalah hasil pengorbanan dan perjuangan bersama para pahlawan, tokoh masyarakat, ulama, santri dan seluruh rakyat.

Dengan kemerdekaan, berarti negara ini mendapatkan suatu kebebasan. Bebas dari segala bentuk penindasan, kesengsaraan dan penjajahan bangsa asing. Bebas menentukan nasib bangsa sendiri. Dengan kata lain, bangsa yang berdaulat menuju pintu gerbang masyarakat yang merdeka, adil dan makmur.

Merdeka bukan berarti perjuangan telah usai, justru merupakan awal perjuangan rakyat untuk melanjutkan dan mempertahankan kemerdekaan. Masyarakat harus terus berjuang untuk dapat kehidupan yang makmur dan sejahtera. Meskipun sudah menjadi bangsa yang merdeka, ternyata tidak semua rakyatnya telah benar-benar merasakan kemerdekaan.

Menjelang 75 tahun perayaan kemerdekaan, kondisi suram dan kelam dengan berbagai permasalahan serta polemik di dalam negeri penganut demokrasi-libelarisme ini masih menyelimuti. Berkutat pada permasalahan yang tidak tahu menahu untuk siapa, dan demi apa, sehingga, seringkali menimbulkan gejolak krisis, baik itu ekonomi, politik, sosial, konflik antar sesama, bahkan kriminalisasi terhadap ulama.

Bebas dari segala bentuk penindasan, kesengsaraan dan penjajahan bangsa asing, bebas menentukan nasib bangsa sendiri mungkin hanya sebuah hiasan kata-kata. Namun kenyataannya negeri penganut demokrasi ini masih bergantung kepada negara komunis dan negara liberal.

Anggota Majelis Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego menyatakan bahwa ada tiga kelemahan penerapan demokrasi di Indonesia. Di negara ini, masih terdapat budaya politik feodalistik dan komunalisme, demokrasi kita juga mengarah pada otoritarianisme mayoritas, dan kelemahan terakhir demokrasi kita adalah absennya ideologi dari partai politik. (Samego, 2012)

Kelemahan demokrasi Indonesia yang pertama, yaitu masih terdapatnya budaya politik feodal dan komunalistik, hal ini bisa dilihat dari berbagai macam idiom-idiom yang digunakan partai politik dan tokohnya dalam berkampanye. Akibatnya, usaha partai politik untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya didasarkan pada penilaian yang subjektif ketimbang objektif.

Sedangkan yang paling berbahaya dalam budaya politik feodal dan komunal ini adalah potensi konflik yang akan muncul jika seseorang kalah dalam kontestasi demokrasi. Dalam berbagai kasus pemilihan kepala daerah, kita bisa melihat kenyataan bahwa perdamaian baru merupakan jalan yang dipilih hanya jika tuntutan suatu kepentingan politik dipenuhi.

Kelemahan kedua munculnya otoritarianisme mayoritas akibat terlalu liberalnya demokrasi Indonesia. Hal ini, semakin membuat sulitnya sebuah keputusan politik diambil secara mufakat. Karena begitu sulitnya musyawarah dilakukan, maka setiap pembuatan keputusan diserahkan ke mekanisme pasar politik.

Kelemahan demokrasi yang ketiga adalah dikesampingkannya ideologi dalam partai-partai di Indonesia, karena partai politik lebih mengutamakan pertimbangan pragmatis dan jangka pendek, yaitu memenangkan kontes politik.

Kepentingan jangka pendek dan pragmatis inilah yang memunculkan politik uang, hanya karena ingin memenangkan pemilu suatu partai atau calon kepala daerah harus membayar rakyat untuk memilih gambar tertentu dalam lembar pencontrengan saat pemilu. Akibatnya, bergesernya fungsi ideal partai dari penghubung antara negara dan rakyat menjadi sarana pengumpul suara dan dana. Jika tujuan partai hanya memenangkan pemilu dan mengumpulkan dana maka sulit berharap partai menjadi lembaga demokrasi yang bisa diandalkan. (Lipi, 2/3/2012)

Islam sendiri memiliki tatanan pemerintahan yang tidak bersumber dari manusia melainkan bersumber dari Allah SWT yang tertuang di dalam Al-Quran. Islam sejak dahulu telah melaksanakan konsep melebihi dari demokrasi, jauh sebelum adanya demokrasi Yunani. Konsep Islam lebih jelas dari pada demokrasi yang berasal dari Yunani.

Sejarah mengungkap bahwa secara de facto masyarakat muslim di Madinah telah tumbuh sebagai suatu kenyataan, dan dengan Rasulullah saw sebagai utusan Allah SWT telah menjadi pemimpin masyarakat tersebut. Undang-undang dasarnya adalah wahyu Illahi yang tentunya tidak boleh diganggu gugat, tetapi pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan Rasulullah saw sebagai kepala dan pemimpin masyarakat.

Sesungguhnya di dalam islam terdapat konsep musyawarah yang sering disamakan dengan demokrasi, akan tetapi islam sendiri lebih cenderung memaknai musyawarah dengan syura. Beberapa pendapat  telah menyatakan bahwa syura bukanlah demokrasi. Namun, seakan-akan ada persamaan tapi sebenarnya terdapat perbedaaan, persamaan itu tertuang pada konsep nilai.

Contoh syura yang dianggap sebagai demokrasi telah dilakukan oleh Rasulullah saw pada waktu menentukan strategi pada Perang Badar Al-Kubra. Beliau berpendapat untuk memenangkan pertempuran pasukan harus menguasai tempat tertentu, tetapi kemudian ada seorang sahabat, Khubab bin Mundhir, bertanya apakah hal ini pendapat beliau ataukah wahyu dari Allah. Apabila wahyu maka tidak akan dibantah, tetapi apabila hal ini pendapat nabi, maka Khubab mengusulkan untuk menempati sebuah wadi (oase) di medan Badar.

Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa hal ini adalah pendapat beliau pribadi, dan kemudian beliau menarik pendapatnya kemudian menerima pendapat Khubab. Sebab, Khubab adalah orang yang tinggal di daerah tersebut dan merupakan orang yang paling kenal dengan medan pertempuran.

Anggapan Islam dan demokrasi terdapat persamaan diantaranya juga adalah defenisi demokrasi menurut Abraham Lincoln. Beliau menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pengertian ini pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif. Maksudnya adalah bahwa kedaulatan tertinggi adalah milik Allah, akan tetapi yang menjalankannya adalah rakyat dan untuk kemaslahatan rakyat itu sendiri.

Demokrasi memiliki dasar-dasar politik atau sosial tertentu misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan. Semua hak tersebut juga dijamin dalam Islam. Mengutamakan persamaan hak dan kewajiban dalam berbagai bidang kehidupan, namun syariah menjadi batasan dan asasnya adalah aqidah, sedangkan demokrasi batasannya adalah manfaat atau tidak manfaat. Akan diterapkan jika bermanfaat.

Perbedaan Islam dan demokrasi lainnya, terutama demokrasi yang sudah populer di Barat, yaitu mendefinisikan bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku, bahasa dan adat-adat yang telah mengakar dan mengkristal. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia menjadi bagian dari warga negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.

Tujuan-tujuan demokrasi Barat adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan materi. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan berupaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan dan peningkatan kekayaan. Adapun Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan sangat fundamental.

Walhasil, tatanan pemerintah dalam Islam lebih jelas dan lebih terkonsep dalam setiap aspek kehidupan umat. Namun dengan syarat syariah Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah. Kemajuan peradaban Islam didukung oleh penguasaan teknologi spektakuler namun tetap menjaga keluhuran budi dan aspek kemanusiaan yang begitu tinggi semakin menegaskan bahwa hanya peradaban Islam yang layak memimpin dunia. Karena mengembalikan Khilafah ke tengah-tengah kehidupan adalah kewajiban syariah, jalan kemuliaan, dan kebutuhan dunia yang mendesak untuk dipenuhi.